Pagi ini cuaca begitu cerah, secerah hatiku. Rok panjang hitam polos dipadukan dengan tunik dan kerudung warna putih telah melekat di badanku. Aku bersiap menyambut hari yang kunanti. Hari yang siap atau tak siap harus kuhadapi, ialah hari dimana aku akan melakoni sidang skripsi.
Semalam Mas Harits sudah panjang lebar memberiku tutorial menghadapi penguji. Kali ini gantian Mas Anas, bukan cuma panjang lebar tapi juga tinggi alias lebih banyak lagi petunjuk, arahan, dan motivasi yang disampaikan padaku mengenai bagaimana menghadapi sidang skripsi. Padahal aku juga biasa saja, nggak tegang-tegang amat. Mungkin karena mereka berdua sama-sama akademisi, pun sering jadi penguji, jadinya malah mereka pula yang rada heboh waktu manusia kesayangan mereka ini mau maju sidang skripsi. Duh duh duh.
06.35, Mas Anas baru saja menyudahi wejangannya ketika terdengar ada yang mengucap salam dari arah teras rumah.
"Waalaikumussalam," jawab Mas Anas, melangkah keluar kamar menuju sumber suara. Lantas terdengar suara percakapan, sebelum akhirnya Mas Anas kembali masuk ke kamar.
Dia mengambil tanganku, mengecupnya lembut, lalu menarikku ke pelukannya.
"Kenapa sih, Mas? Nanti dandananku berantakan gimana?"
"Halah, nggak pa-pa, dandanmu kan cuma buatku."
"Ya bukan gitu juga kali maksudnya."
"Iya, iya. Maafin aku ya, Ki."
"Loh, kenapa emang? Mas salah apa?"
"Emm, ada berita lelayu dari salah satu warga kampung RT belakang. Aku diminta bantuan untuk ikut ngurus segala keperluan dan ngurus jenazah juga." Mendengar jawabannya aku rasanya sudah mau nangis.
"Kan udah direncanain dari lama kalo Mas mau nemenin Ki sidang. Ini baru datang minta bantuan, masa trus Ki dikalahkan?"
"Ki, urusan kita memang sudah lama kita rencanakan, tapi kalo yang namanya musibah nggak ada yang direncanakan. Mencari orang yang bisa membantu mengurus hal-hal begini juga bukan sesuatu yang mudah, Ki. Insya Allah kamu bisa, kita udah persiapkan sejak lama. Aku mohon pengertianmu ya, Sayang." Aku bergeming, tak membuka mulut sedikit pun. Kembali ditariknya aku ke pelukannya.
"Kalo mau nangis, nangis dulu. Insya Allah setelah lega kita siap-siap. Kamu berangkat sidang, aku berangkat ke tempat yang kena musibah. Harusnya kita banyak bersyukur, Ki, kita masih dikasih sehat sampai detik ini. Masih boleh bersama sampai saat ini.
"Jangan sedih ya. Alhamdulillah, kita masih dikasih kesempatan untuk bermanfaat bagi orang lain. Ini jadi pengingat juga buat kita, bahwa kematian itu pasti datangnya, tapi bekal kita untuk kehidupan kita setelahnya itu yang belum pasti. Apakah amal kebaikan kita diterima, atau justru keburukan yang lebih banyak mengisi catatan amal kita.
"Jadi selama ada kesempatan untuk berbuat baik, harus kita manfaatkan semaksimal mungkin. Dengan kamu mengikhlaskan aku untuk tak bisa mendampingi kamu, insya Allah kamu juga kebagian pahalanya, Ki."
Apa yang dikatakan Mas Anas ada benarnya. Aku justru harus banyak bersyukur, karena punya suami seistimewa dia. Bukan cuma urusan nguji skripsi, bahkan urusan merawat jenazah pun dia menguasai.
"Iya, Mas. Maafkan Ki ya. Insya Allah Ki siap." Kuberikan senyuman terbaik untuk suami teristimewaku. Dihapusnya basah dari wajahku. Pelukannya yang menenangkan membuatku siap menghadapi sidang sendiri, bahkan merasa lebih siap dari sebelumnya. Masya Allah.
Setelah berpamitan dan meminta doa restu pada ibu, Mas Anas, dan kakak-kakakku, segera kupacu Honda Jazz putih menuju kampus. Tak lupa menjemput Nur, salah satu teman dekatku, untuk membantu menghandle yang lain-lain saat aku maju sidang.
![](https://img.wattpad.com/cover/207889026-288-k597159.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Ficción GeneralMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...