Sudah lebih dari tiga bulan aku tinggal di negeri orang. Aku mulai menikmati kehidupanku yang baru. Sepekan sekali Mas Anas mengantarku mengikuti kajian ibu-ibu. Aku senang, sebab berkumpul bersama mereka membuatku merasa dekat dengan tanah air. Beliau-beliau pula yang membuat aku jadi banyak kegiatan sehingga tak terlalu kesepian.
Ya, saat keikutsertaanku yang pertama, aku membawa tiga nampan jajan pasar dan kudapan lain yang akrab di lidah orang Indonesia. Juga dua jumbo susu jahe. Semua hasil bikinan tanganku sendiri. Mas Anas yang meminta, sekalian perkenalanku sebagai 'anak baru', begitu katanya.
Satu dua ibu memuji, lalu satu dua lainnya bertanya di mana aku beli. Saat kujawab semua bikinan tanganku sendiri, mereka mulai memesan padaku. Sejak itu aku sering mendapat pesanan dari ibu-ibu atau teman Mas Anas. Alhamdulillah, selain ada kegiatan, aku jadi dapat tambahan buat menabung atau jajan."Ki, kamu nggak capek, kah?" tanya Mas Anas setelah dari agak siang sampai bakda isya sibuk di kampus.
Aku sendiri baru selesai memasukkan puding ke kulkas. Lalu mencuci tangan dan menemaninya duduk di sofa.
"Capek ngapain deh, Mas?"
"Kulihat baju dan perlengkapannya anak-anak udah siap semua di lemari. Tas buat persiapan bersalin udah ready. Box bayi juga wangi. Kamar rapi. Tapi barusan kamu masih sempat bikin pesanan puding buat besok pagi. Kamu juga masih sering banget dapat pesanan. Tiap hari masih masak buat aku, mana menunya selalu ganti-ganti.
"Aku nggak mau kamu kecapaian, Sayang. Apalagi kehamilanmu udah mulai masuk bulan ke sembilan. Berhenti dulu lah nerima pesanannya, persiapan buat kelahiran anak-anak kita, terutama fisikmu."
"Nggak apa-apa, Mas ganteng. Ki baik-baik aja kok. Malah jadi lebih sehat karena banyak gerak. Ada yang dipikirkan dan dikerjakan. Nggak kebanyakan ngelamun yang ujung-ujungnya selalu galau mikir gimana pas melahirkan nanti. Udah gitu bisa nambah-nambah gendut tabungannya Ki juga."
Aku berusaha memberi jawaban yang membuatnya tenang. Nyatanya memang begitu yang kurasakan. Aku enjoy dan happy. Kalau nggak ada kegiatan malah bikin aku kepikiran pas melahirkan nanti. Apa masih dikasih umur panjang, apa anak-anak kami akan lahir sehat, dan semacamnya.
"Yang dari aku kurang ya?"
Pertanyaan Mas Anas terasa menusuk telinga, juga hatiku.
"Apa sih, Mas? Kok ngomongnya gitu, sih! Ki kan nggak pernah masalahin soal uangnya, Mas. Itu tadi kan Mas bahas Ki capek apa nggak. Ki nggak capek, Ki seneng. Kan mas tahu sendiri hobinya Ki memang masak. Kalaupun dapat uang, itu kan bonus yang Allah kasih. Bukan berarti yang Mas kasih ke Ki kurang. Suudzon banget sih sama istri sendiri." Aku ngegas. Lalu bangkit dan menuju ke kamar. Kesal.
"Lho, Ki. Aku kan cuma bercanda, Sayang." Dia mengejarku, memegang kuat-kuat sikutku.
"Ya tapi candaan Mas tuh nggak lucu. Ki nggak suka kayak gitu." Kukibaskan tangannya, meski gagal melepas cengkeramannya.
Aku sendiri nggak tahu kenapa, tiba-tiba saja merasa benci ketika Mas Anas bicara seperti itu tadi.
"Oke. Aku salah. Aku janji nggak ngomong begitu lagi. Tapi tolong kamu jangan marah. Aku lagi capek dengan urusan kampus dan penelitian, Ki. Aku butuh kamu untuk menjadi penghiburku."
"Hih, Mas nih, emangnya Ki wanita penghibur?"
Dia terlihat menahan tawa, "Ya udah, kita diem-dieman aja sebentar. But please, aku tetap boleh peluk kamu. Tetap sambil diem-diem kok."
"Tapi janji, tangannya juga diem-diem aja."
Tawanya berderai. Ia menarikku ke dalam dekapan.
"Syarifa Tazkiya, kamu paling bisa bikin aku jatuh cinta. Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Kekonyolanmu selalu mengingatkanku pada waktu aku memintamu untuk mendampingiku jadi guru ngaji. Eh, malah keterusan jadi pendamping hidupku."
![](https://img.wattpad.com/cover/207889026-288-k597159.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Fiksi UmumMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...