16. Fakta Terungkap

6.4K 812 75
                                    

Tubuhku masih menegang dengan pikiran yang dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan kekhawatiran. Tentang apa? Tentu saja tentang tangisan dari ibu Mas Anas. Kalau haru, yang lain juga tadi terlihat haru, tapi berganti tawa ketika Mas Harits menutup dengan canda. Lha tapi, kenapa ibunya Mas Anas malah tangisnya makin menjadi?

Kulihat Mas Anas merangkul ibunya, dan Pak Abdul Aziz mengelus lembut tangan istrinya. Mereka berdua mencoba menenangkan Bu Abdul Aziz. Dua pria dewasa yang wajahnya mirip-mirip pun turut mendekati sang ibu, mungkin saudara kandung Mas Anas. Yang satu berjongkok di hadapan ibunya, yang lain berdiri dekat Mas Anas dan entah bicara apa dengannya. Benar-benar tipikal keluarga bahagia yang masih lengkap.

"Duh, kok gak ada yang menenangkan aku sih. Padahal kan aku juga lagi nggak tenang. Tegang nih."

"Mohon maaf nggih, Bu Wahid, Nak Harits dan semuanya. Ibunya Anas ini memang suka mellow, padahal juga nggak pernah nonton sinetron lho." Lagi, semua tertawa mendengar kata Pak Abdul Aziz.

"Apalagi ini tentang Anas, ibunya makin drama deh. Mohon dimaklumi nggih, karena bagi kami sekeluarga Anas itu memang paling istimewa. Kesayangan semua. Mungkin karena dari kecil dia memang beda." Ibu Mas Anas mulai tenang, sedang bapak seperti bersiap hendak cerita.

"Saya masih ingat betul, waktu itu kakak-kakaknya menolak mati-matian saat mau kami masukkan pesantren, yang sulung malah sampai kabur dari rumah. Eh, Anas justru malah minta sendiri untuk masuk pesantren saat itu juga. Mungkin ngayem-ngayemi kami yang pengen anaknya masuk pesantren. Kami bahkan sudah melepasnya jauh dari rumah sejak dia kelas empat SD sampai lulus Aliyah.

"Di pondok pun setiap kali kami sambang, Abah sama Umik dan para pengasuhnya itu selalu muji-muji Anas. Baik lah, pintar lah, santun lah, Alhamdulillah, semua yang baik-baik. Waktu kuliah pun begitu, kalau kami berkunjung cerita dari teman-temannya tentang Anas juga alhamdulillah semua yang baik-baik."

"Masya Allah, ternyata Mas Anas anak kuliahan juga."

"Masya Allah, jadi Dik Anas ini lulus pesantren langsung kuliah ya?"

"Iya, Nak Harits. Dan selama kuliah juga dia sudah mandiri, apa-apa dia penuhi sendiri. Kuliah hampir selalu dapat beasiswa, sudah belajar cari uang sendiri dengan jadi asisten dosen, jualan, nulis, macem-macem lah. Pokoknya dia nggak pernah ngerepotin kami."

Jantungku memompa darah tiga kali lebih cepat. Berkali kutelan saliva. Mengkeret. Aku merasa levelku makin jatuh ke dasar jurang jika disandingkan dengan Mas Anas.

"Dan dari awal kuliah juga Anas nggak pernah yang namanya ngekost, dia lebih milih tinggal di masjid."

"M-maksudnya jadi marbot?!" tanya Mbak Nina rada ngegas.

"Iya. Dari dulu dia memang udah jadi marbot. Bahkan sampai kuliah pasca sarjana pun dia masih lanjut jaga masjid."

"APA?! Pasca sarjana?! Maksudnya Mas Anas ini mahasiswa S2 gitu?"

Tubuhku rasanya membeku. Bukan lagi berada di dasar jurang, sekarang aku malah sudah berada di dasar laut. Kupilin-pilin ujung jilbabku, kutundukkan wajah dalam-dalam, tak berani mengangkatnya.

"Ya Allah, harusnya aku nggak nerima lamaran Mas Anas. Aku bukan siapa-siapa kalo harus bersanding sama dia. Kenapa feelingku payah sih? Harusnya kan curiga, masa ada marbot sepintar dan seluwes itu. Wawasannya luas pul. Bodohmu lho, Ki!"

"Oh, jadi Dik Anas sekarang ini kuliah S2?" Mas Harits tetap tenang, tapi wajahnya tak bisa berbohong kalau dia pun kaget. Aku menangkap itu dari sudut mataku.

"Emm, s-saya s-sudah lulus, Mas," jawab Mas Anas. Baru kali ini kudengar dia gugup. Tapi aku tetap saja tak berani mengangkat muka.

"Berarti sekarang...,"

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang