Suasana di ruang tamu mendadak hening. Ibu dan Mas Harits terlihat tegang, sedang Mas Anas tetap tenang walau berkali menghela napas panjang.
"Azki, duduk! Anas belum selesai bicara." Mas Harits menarikku agar kembali duduk.
Mas Anas sekali lagi menghela napas, kemudian melanjutkan kembali bicaranya, "Sungguh, nggak ada sedikit pun niat saya untuk bercanda. Pernikahan adalah sebuah sunnah, anjuran dari baginda Rasulullah. Bagaimana bisa saya menggunakannya sebagai bahan candaan?
"Sejujurnya saya cukup tau diri, siapa saya dan siapa Mbak Azki. Tapi yang namanya hati, kadang-kadang memang tidak bisa diajak diskusi. Sekali lagi saya mohon maaf jika Ibu dan keluarga tidak berkenan, khususnya Mbak Azki.
"Sebenarnya saya ingin mengajak serta kedua orang tua saya, Bu. Tapi saya inginnya ketika beliau berdua datang, yang saya dapatkan adalah jawaban 'ya' dari Mbak Azki. Maka dari itu saya lebih dulu datang ke mari untuk menyampaikan apa yang menjadi maksud saya tadi. Supaya Mbak Azki bisa memikirkan dulu dan membicarakan dengan keluarga.
"Demikian, Bu. Jadi sekali lagi, maksud kedatangan saya adalah untuk melamar Mbak Azki, memintanya untuk menjadi istri saya. Tentu saja jika Bu Wahid dan Mas Harits menyetujui. Dan terutama Mbak Azki, saya sangat berharap Mbak Azki mau menerima saya, yang mohon maaf, ya cuma seperti ini."
Ah, lagi-lagi aku sedih setiap kali Mas Anas menyinggung dirinya yang cuma marbot. Sungguh, aku sama sekali tak ingin menganggap itu pekerjaan yang remeh. Meski itu pula yang selalu membuatku galau kalau membayangkan masa depan bersamanya. Eh, lha kok sekarang dia melamar aku, dan ngakunya pula enggak bercanda.
Aku mengangkat kepala, kulihat semua menatap ke arahku. Mas Harits yang tersenyum, Mas Anas yang berharap, Ibu yang terlihat bingung tapi senang, juga Mbak Nina yang menggoda dengan melempar kode mengangguk-anggukkan kepala.
Aku mendadak merasa pening. Ingin bilang "IYA!" tapi masih banyak bimbang yang tersimpan. Ingin bilang "ENGGAK!" kenyataannya bukan itu yang ingin kukatakan. Mendadak aku ingin menjauh sejenak dari setiap orang.
"A-aku, eh s-sa-saya...," Aku berdiri lagi, lalu berlari masuk ke kamar dan membanting tubuhku ke atas tempat tidur. Kuselipkan wajah ke bawah bantal dan kutumpahkan tangis di sana. Bingung.
Sebentar kemudian, kurasakan seseorang mengelus punggungku. Aku bangun, membuang bantalku, lantas mengelap air mata lengkap dengan ingus yang menyertainya. Kulihat Mbak Nina di hadapanku. Ia tertawa, lalu meraihku dalam peluknya.
"Azki, adikku. Kamu udah besar, udah dewasa, udah ada yang ngelamar, meminta kamu jadi istrinya. Masa iya malah ngambek masuk kamar gitu aja. Kalo Anas berubah pikiran gimana?
"Insya Allah Mbak ngerti apa yang kamu pikirkan, apa yang bikin kamu masih bimbang. Tapi Mbak juga tau kok, kalo kamu punya perasaan yang sama dengan Anas. Kamu cuma butuh meyakinkan dirimu sendiri. Dan itu bisa kita bicarakan, dengan Ibu, juga Mas Harits.
"Yuk keluar dulu. Kamu nggak mau kan bikin Anas mati penasaran. Nggak mau juga kan Anas berubah pikiran."
"Eh, emm, yaa... ng-nggak mau, Mbak," cetusku malu-malu.
"Tapi, Mbak. Mas Anas itu terlalu baik dan pintar buat orang cupu macam Ki gini. Apa pantes Ki bersanding sama Mas Anas?"
"Ki, Anas mungkin cuma marbot, tapi dia dengan percaya diri berani dateng ke ibu untuk meminta kamu jadi istrinya. Meskipun secara status mungkin dia nggak seberuntung kita, tapi dia bukan orang bodoh, Ki. Dia punya karakter yang kuat. Dan orang seperti Anas nggak mungkin asal melamar orang begitu saja.
"Dia itu seperti Mas Harits dulu. Muda, pinter, berkarakter, dan... nekat. Makanya Mbak yang nyusul kamu ke sini, karena Mbak inget waktu Masmu tiba-tiba datang ke rumah dan meminta Mbak jadi istrinya. Persis kaya Anas gini. Bedanya cuma Masmu calon dosen, sedangkan Anas marbot. Jadi mungkin level kegalauanmu sedikit di atas Mbak. Dan untuk yang satu ini Mbak cuma bisa bilang, derita elo, Ki!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Fiksi UmumMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...