Adzan maghrib nan merdu mendayu terdengar dari masjid. Sebentar lagi pasti disusul suara ibu. Seperti biasa aku menghitung, pada angka ke berapa suara ibu akan muncul. Biasanya sih tak sampai hitungan kesepuluh.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam ....
"Azki, ayo ke masjid." Nah, benar kan.
"Ki solat di rumah aja, Bu."
"Kebiasaan kamu tuh. Apa sih beratnya solat di masjid. Jamaahnya rame, bacaan imamnya bagus-bagus, habis salat bisa ikut nyimak dan dengerin orang-orang ngaji baca Quran, masjidnya juga adem. Banyak pahala pokoknya. Daripada di rumah, habis solat pasti buru-buru pegang hape," ceramah ibu panjang lebar ngalah-ngalahin Mamah Dedeh.
"Bu, keburu iqomat lho. Itu udah ditunggu juga sama Han." Aku mengingatkan ibu sambil menunjuk ke arah Hanafi, keponakanku. Sebenarnya sih biar ibu nggak kelamaan nyeramahin aku.
Entah kenapa aku paling malas kalau disuruh salat berjamaah di masjid. Tapi biarpun begitu, salat lima waktuku tak pernah bolong, bahkan selalu kuusahakan untuk tepat waktu. Meskipun ya itu tadi, bukan di masjid, kecuali terpaksa, sedang dalam perjalanan misalnya.
Sebenarnya di dalam komplek perumahanku juga ada masjid, tapi keluargaku lebih memilih salat di masjid kampung yang terletak di seberang gerbang perumahan. Bukan apa-apa, cuma karena rumah kami di blok A nomor 1, paling depan sendiri dekat dengan pos satpam dan gerbang masuk komplek, sedangkan masjid perumahan ada di Blok N nyaris paling ujung dari komplek perumahan tempatku tinggal.
Tapi ya itu tadi, biar dikata tinggal ngesot juga udah sampai masjid, tetap saja aku lebih memilih salat di rumah. Praktis. Enggak harus ribet ganti baju, pakai jilbab, pakai sandal, dan sebagainya. Mohon jangan ditiru ya.
***
Hari ini Mbak Nina, istri kakakku sekaligus mama dari Hanafi, sakit hingga harus opname di rumah sakit. Aku bersepakat dengan ibu, sore sampai habis isya ibu menemani di sana, nanti habis isya sampai besok pagi gantian aku yang giliran menjaga.
Lha suaminya di mana?
Suami Mbak Nina adalah kakak sekaligus saudara kandungku satu-satunya. Saat ini dia sedang menyelesaikan kuliah doktoralnya setelah mendapatkan gelar master dengan nilai nyaris sempurna di Inggris Raya. Karena waktu itu Mbak Nina masih kuliah dan Bapak baru saja meninggal, Ibu meminta Mbak Nina untuk tinggal bersama kami. Alasan lain adalah keberadaan Hanafi, cucu pertama dan satu-satunya yang jadi penghilang kesepian ibu setelah absennya keberadaan laki-laki di rumah ini.Sekarang Hanafi sudah enam tahun. Dia sangat cerdas dan pintar, seperti papanya. Ibu sangat menyayangi anak itu. Sebaliknya denganku. Di mataku, anak itu begitu cerewet. Bawelnya lho, ngalahin ibu-ibu. Hobinya ceramah. Nyeramahin siapa lagi kalau bukan aku, tantenya. Mulai dari jangan tidur setelah subuh, jangan kebanyakan main gadget, sampai jangan malas ke masjid dan bla bla bla lainnya. Eh, iya sih yang dia bilang bener semua, cuma akunya aja yang belum insyaf.
"Tante Azki, ayo siap-siap ke masjid," suara cempreng Hanafi mampir di telingaku. Suara cempreng yang entah kenapa kalau dia sudah mengaji dengan nada jadi terdengar menggetarkan jiwa. Aish.
"Berangkat sendiri masa gak berani sih, Han?" jawabku malas-malasan. Dari masjid seberang adzan maghrib sudah berkumandang.
"Ih, Tante males banget sih."
"Bukan begitu, tapi kamu kan udah besar, Han. Jadikan moment ini sebagai sarana melatih keberanian," ujarku beralasan.
"Tapi kan sama mama dan nenek aku nggak boleh nyebrang sendiri, Tante. Lagian, kenapa nggak Tante aja yang jadiin moment ini sarana melatih diri biar rajin ke masjid."
Eh lhadalah, kata-kataku dikembalikan dengan tambahan keplak virtual. Yang tak berwujud tapi memberi sensasi panas di kedua pipiku. Aku malu.
"Eh, emm iya deh, tunggu sebentar."
Tergesa aku ke tempat wudhu, setelahnya mengganti daster dengan gamis rayon warna maroon dan jilbab warna hitam yang semua asal saja kutarik dari lemari. Kusambar sajadah dan mukena, lalu menghampiri Hanafi yang sudah menunggu di teras. Menunggu pun dia sambil membaca buku ngajinya. Masya Allah. Makin malu aku rasanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Fiction généraleMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...