Warning!! 18+
***
Setelah melalui hari yang cukup menegangkan, akad yang diintai kegagalan, juga tamu yang hingga sore masih saja berdatangan, aku masih harus menjalankan misiku untuk mengetahui lebih banyak hal tentang Mas Anas.
"Mas, maaf. Maharnya tadi kok banyak banget sih? Nggak memberatkan ya?"
"Lah, pertanyaan macam apa pula ini? Tapi biarlah, aku memang pengen tau juga tentang hal ini."
"Enggak, Ki. Sama sekali enggak. Kamu tau ceritanya mahar yang kubawa buat kamu?"
Aku menggeleng.
"Itu semua hasil keringatku sendiri, Ki. Penghasilan yang aku kumpulin dari sejak aku masih kuliah. Jadi asisten dosen, jadi marbot, jualan batik, ngajar ngaji, juga gajiku setelah jadi dosen. Kebutuhanku setiap bulan nggak banyak, Ki. Sisanya sebagian kubelikan emas, sebagian kutabung uang. Insya Allah semuanya halal, Ki.
"Seperti yang aku bilang kemarin tentang mendidik anak, ini salah satu ikhtiarku, Ki. Aku mencoba melatih diriku sendiri untuk selalu menjaga dan memastikan kehalalan harta yang aku punya.
"Aku bahkan mencatat semuanya dengan baik, Ki. Dan dari sejak lama aku sudah berniat, suatu hari nanti ketika aku menikah, aku akan kasih catatanku itu kepada seseorang yang menjadi istriku." Mas Anas bangkit, diambilnya sebuah map dari dalam ranselnya, lantas diberikannya padaku.
Allahu Akbar. Catatannya benar-benar rapi dan mudah dipahami dalam sekali baca. Dan jumlah yang tertulis di paling bawah, sama persis dengan mahar yang diberikannya untukku.
Aku tak kuasa menahan haru. Tapi ada satu hal yang mendadak mengganggu pikiranku.
"Emm, besok-besok Ki juga harus bikin yang seperti ini kah, Mas?"
"Dih, enggak gitu juga lah, Ki. Kamu nggak harus sedetail aku. Kan niatku sudah terlaksana. Selanjutnya bisa kita bicarakan bersama. Senyamanmu saja, yang terpenting kamu harus selalu bantu dan ngingetin aku untuk menjaga kehalalan harta kita.
"Oh iya, mahar yang tadi adalah hakmu, Ki. Simpan saja, kalo mau dipakai, pakailah untuk hal-hal yang bermanfaat."
"Lah, bukan buat modal hidup kita ya, Mas?"
"Yaelah, Ki. Maaf nih ya, bukannya sombong. Jangankan buat modal hidup kita yang mungkin akan tetap menjaga kesederhanaaan, aku kalo mau beli mobil kaya punya bapak atau mas-masku gampang aja, Ki. Maaf lho ya, sekali lagi bukan sombong. Biar kamu nggak mikir macem-macem tentang mahar tadi lagi.
"Ahmad batik itu usaha keluarga, Ki. Selain bapak, aku, Mas Aim, dan Mas Akmal punya saham juga. Dikasih sih sama bapak, hehe. Dan setiap tahun ada pembagian dividen, punyaku lho utuh. Rekening yang buat itu nggak pernah kuutak atik. Kalo M insya Allah ada lah, Ki."
"What?!"
"Apa itu dividen?"
"Yaelah, Ki, malam pertama masa bahasnya dividen sih? Tidur aja yuk. Kamu nggak ngantuk?"
"Eng-enggak. Pokoknya nggak boleh ngantuk sebelum semua pertanyaan yang mau Ki ajukan selese."
"Iya, boleh deh. Tapi sambil tiduran ya, Ki. Punggungku udah minta dilurusin nih." Suaranya menunjukkan keletihan. Entah,mungkin capek fisik, ditambah capek hati menghadapiku. Lah, padahal belum apa-apa.
Ia bangkit menuju kamar mandi, lalu terdengar suara menggosok gigi dan mencuci muka dari pintu kamar mandi yang separuh terbuka.
"Ki," panggilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
General FictionMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...