"Azki, udah daftar wisuda, Sayang?"
Videocall kali ini dibuka dengan pertanyaan yang aku tak suka.
"Ki kan udah bilang, Ki nggak usah ikut wisuda. Udah berat bawa perut gini, Mas. Ribet juga ngurusnya. Ki males."
"Nggak boleh gitu, Ki. Kan dari dulu aku udah pesan, gimanapun keadaannya, gimanapun caranya, kamu harus ikut wisuda. HARUS!!"
Hmm, sampai pakai penekanan segala sebagai keharusan yang sangat.
"Mas mulai suka maksa-maksa deh. Ki nggak suka!" Aku merengut. Kesal.
"Aku suamimu, Azki. Ada waktunya aku boleh memaksakan keinginanku selama itu sesuatu yang baik."
"Memang apa baiknya maksa Ki buat wisuda. Mas sih, nggak ngerti gimana beratnya bawa badan."
"Maafin aku, Sayang. Tapi aku tetap pada pendirianku untuk memaksa kamu agar ikut wisuda."
"Ki nggak suka! Apalagi Mas nggak ada di samping Ki waktu wisuda nanti." Tangisku pecah sudah. Kulihat di layar, Mas Anas menghela napas. Panjang.
"Terserah kamu, Sayang. Mau marah, mau nangis, mau ngambek, apapun, semua boleh. Tapi satu hal, kamu tetap harus daftar wisuda. Urusan ini itu, jika memungkinkan kamu bisa minta tolong orang lain untuk uruskan. Tapi aku nggak mau tau, pokoknya KAMU HARUS WISUDA!!"
Aku mengakhiri panggilan dengan semena-mena. Sakit hati banget. Baru kali ini Mas Anas keras begitu sama aku. Dan ini cuma karena perkara wisuda. Huh.
[Azki, aku belum selesai bicara. Tolong angkat callnya]
[Males!]
[Oke. Aku maksa lagi. Kl kamu males, aku jg nggak akan hubungi kamu lagi. Sampai kamu daftar wisuda!!]
[Mas ngancam nih?]
[Sudah nggak usah bahas ke mana2. Sekarang angkat telponku!!]
Ya Allah, aku merasa sedih tak terkira. Baru sebulan lebih berjauhan, Mas Anas sudah berubah banget.
Handphone-ku berdering lagi. Kali ini panggilan internasional yang masuk. Aku terima, meski masih sambil terguguk.
"Assalamualaikum. Hiks."
"Waalaikumussalam. Maafkan aku, Zawjati. Dengar dulu penjelasanku ya."
"Hemm."
"Aku mau kamu wisuda, bukan untuk aku, Ki. Bukan pula untuk dirimu sendiri. Ini untuk ibu, Ki. Ibu Wahid ---"
"Tapi ibu nggak pa-pa kok kalo Ki nggak ikut wisuda."
"Ssstt, dengar dulu, Sayang. Kamu kalo di depanku udah kucium biar diem deh, Ki. Gemes ih. Istri siapa sih ini, ngeyelannya kok makin makin aja." Aku diam saja. Sebal.
"Ki, mungkin benar ibu nggak apa-apa kalo kamu nggak ikut wisuda. Tapi aku apa-apa, Ki. Orang tua memang begitu, melihat kepayahan anaknya, rasanya semua kepayahannya sendiri menguap begitu saja.
"Begitupun ibu. Melihat kondisi perutmu yang udah seperti hamil enam bulan, bisa jadi ibu nggak tega, padahal sebenarnya ibu ingin lihat kamu wisuda. Selama ini ibu sudah bersusah payah agar kamu bisa kuliah. Tapi melihat kamu dan ketidakmauanmu, ibu memilih mengalah."
Otakku mulai mencoba menerima dan mencerna setiap kata yang diucapkan Mas Anas.
"Azki, kita nggak pernah tau apa yang ada di hati ibu, Sayang. Apa yang jadi keinginan ibu. Tapi kita tahu pasti, ibu sudah berjuang biar kamu bisa kuliah. Mungkin dulu saat bapak masih ada, beliau berdua punya cita-cita untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang tertinggi. Sampai ketika bapak nggak ada, ibu tetap berusaha mati-matian agar kamu bisa tetap kuliah. Mewujudkan impiannya bersama bapak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Ficción GeneralMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...