37. Hari di Tanah Haram

4.4K 652 142
                                    

Bismillah.

***

Setelah berdebat sengit soal transportasi yang akan kami gunakan menuju Mekah, akhirnya kami mencapai kesepakatan.

Aku memilih menggunakan jalur darat, tapi Mas Anas menolak mentah-mentah. Kehamilanku lagi-lagi menjadi alasan. 860-an kilometer bukan jarak yang dekat untuk ditempuh dengan mobil dalam kondisi hamil.

Alasan lain adalah dia tak bersedia solo driving delapan jam lebih. Aku tentu saja tak bisa menggantikannya, SIM internasional yang sudah kubuat sebelum mengikutinya ditahan oleh Mas Anas. Dia tak mengizinkan aku untuk menyetir selama di Saudi. Semua menjadi tanggung jawabnya. Baiklah.

Pada akhirnya aku setuju untuk naik pesawat, tapi aku mengajukan syarat baru, yaitu aku mau sekalian ke Madinah. Aku rindu suasana kotanya yang begitu tenang, damai, dan menyejukkan.

Mas Anas lagi-lagi tak bersedia memenuhi syarat tambahan yang kuajukan. Kuakui, semua pertimbangan yang dia ajukan memang benar. Tapi tetap saja aku kesal. Istri lagi hamil, bukannya diturutin, eh malah aku lagi yang harus nurut. Padahal kan dia yang mengajak. Huh.

***

Hari menjelang sore, pesawat milik pemerintah Saudi Arabia mendarat mulus di King Abdulaziz International Airport, Jeddah. Mas Anas menggandeng tanganku setelah memastikan keadaanku baik-baik saja.

Kami menyusuri bandara yang cukup sederhana, setidaknya jika dibandingkan dengan bandara King Khalid di Riyadh. Dominasi warna putih menyapa kami semua. Suasananya tak berbeda jauh dari saat aku pertama mendarat di sini dulu. Hanya saja kami tak melewati loket-loket keimigrasian.

"Kamu baik-baik aja kan, Sayang? Sehat, kan? Masih semangat, kan?" Mas Anas kembali bertanya. Aku tahu, sebenarnya ia sedang meyakinkan dirinya sendiri kalau keadaan istri tercintanya ini baik-baik saja.

"Insya Allah. Mas nggak usah merasa bersalah atau apa gitu deh. Ki capek sih, tapi cuma dikit aja. Pokoknya Mas tenang aja. Oke?" Dia meringis. Tahu kalau aku paham apa yang saat ini dia pikirkan.

Temannya yang menjemput kami. Seorang WNI yang menjadi mukimin di kota Mekah. Entah teman apa, yang pasti mereka cukup akrab. Ia membawa kami berdua ke suatu hotel berbintang lima di kota Jeddah, menunjukkan pada kami tempat parkirnya, bahkan menyerahkan mobil dan suratnya kepada Mas Anas sebelum kemudian berpamitan.

"Siapa, Mas?" tanyaku begitu temannya berlalu.

"Senior di pondok dulu. Lama di sini. Kerja di kantor urusan haji gitu, Ki."

"Mas pinjam mobilnya?"

"Bukan sih. Itu mobil temannya bapak, orang sini. Karena nggak bisa ngantar sendiri, dan dia kenal dengan temanku tadi, makanya temanku yang bawa ke sini sekalian jemput kita."

"Tapi Mas tahu kan jalan-jalan di sini?"

"Insya Allah tahu, Sayang. Kami, keluarga Kajen, kalau ke sini biasa pergi-pergi bawa mobil sendiri, Ki. Lagian kan ada maps, insya Allah aman. Dan ingat juga, aku bisa bahasa Arab lho."

"Hih, sombongnyaaa."

Dia tertawa. Lalu menyerahkan barang bawaan kami pada petugas hotel. Digandengnya tanganku menuju ke lift, tak sedikit pun dilepas sampai kami tiba di kamar.

"Kenapa kita pakai nginap dulu di sini, Mas?"

"Karena kita dari Riyadh, Sayang."

"Ya, so...."

"Kita harus ambil miqat dulu di Qarnul Manazil."

"Apa itu?" Mas Anas tertawa mendengar pertanyaanku.

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang