Hari ini kami melakukan perjalanan ke kampung halaman Mas Anas di Pekalongan. Ahad besok keluarga Mas Anas akan mengadakan syukuran pernikahan untuk kami. Keluargaku menyusul besok pagi, sedangkan kakak-kakak Mas Anas sudah lebih dulu pulang ke Pekalongan sehari setelah pernikahan kami.
Untuk pertama kalinya aku merasakan naik Vellfire, mobil mewah yang namanya saja baru pernah kudengar dari Mbak Nina, yang kata Mbak Nina harganya menyentuh angka 1M lebih. Sesuatu yang bagiku sangat huwow sekali. Tapi memang interiornya sangat mewah, dan nyaman tentu saja. Setidaknya menurutku.
"Wuih, mewah banget sumpah. Mana pernah ngimpi bakalan naik mobil kaya beginian. Punya mertua lagi. Masya Allah."
"By the way, tombolnya banyak bener sih, buat apa aja yak? Kaca yang di atas itu cara bukanya gimana coba? Kapan-kapan minta Mas Anas minjem ini mobil buat poto-poto ah. Kaya yang pernah kulihat di film atau di gambar, ngeluarin separo badan di situ, trus rentangin tangan kaya di Titanic."
"Yaelah, Ki. Jangan malu-maluin lah, keliatan banget ndesonya."
"Eh, iya juga sih. Astaghfirullah."
Sebenarnya aku ingin bertanya tentang tombol-tombol yang ada di dekat tuas persneling, juga di bagian setir. Aku ingin tahu juga bagaimana cara membuka atap di bagian langit-langit mobil. Tapi semua hanya kusimpan dalam hati karena ada bapak dan ibu bersama kami.
Bapak duduk di samping Mas Anas yang memegang setir. Aku di belakang Mas Anas bersama ibu. Bersyukur sekali, kedua mertuaku orangnya sangat ramah, baik, dan juga lucu. Beliau berdua juga selalu bersemangat, dan bertiga tampak karib satu sama lain. Benar-benar family goals. Suasana mobil menjadi begitu hidup dengan obrolan dan celetukan bergantian dari Mas Anas, Bapak, dan Ibu.
"Ki, enak nggak naik mobil ini?"
"Hehe, ya enak to, Mas, wong mobil bagus banget gini," jawabku tersipu.
"Mau beli yang begini po?" tanyanya lagi.
"Enggak ah. Sayang, Mas, kemahalan. Lagian Mas kan sebentar lagi mau ke Riyadh. Nanti mobilnya malah nggak kepake."
"Iya juga sih. Mending minjem Bapak aja ya, Ki." Kali ini dia menggoda bapaknya.
"Lho nek kowe gelem nggo kowe yo ra kaiki, Nas."
(Lho, kalau kamu mau buat kamu ya nggak masalah, Nas.)"Eh, eng-enggak usah, Pak. Ngerepotin," gugupku, disambut tawa bapak dan ibu.
"Gimana, Ki? Udah ngerasain tendangan maut sama pukulan mautnya Anas belum?"
"Hah, tendangan maut? Maksudnya gimana nih? Apa jangan-jangan di balik sifat baiknya, Mas Anas suka melakukan KDRT?"
"Astaghfirullah. Suudzon amat sih, Ki."
"Dih Ibu, memange aku Ksatria Baja Hitam po?"
"M-maksudnya gimana ya, Bu?" Pendingin udara di dalam mobil semewah ini mendadak terasa unfaedah. Aku mendadak berkeringat, tanganku basah.
"Lha semalem tidur bareng nggak sih?" Ibu kepo.
"Dih Ibu, tidur bareng dooong. First night goals lah pokoknya."
"Halah omonganmu, Nas!" Bapak menoyor kepala Mas Anas sambil terkekeh.
"Tidur bareng kok Azki bisa selamat dari tendangan mautmu? Ngapusi mesti."
"Ya mungkin karena saking amazed-nya, sampe aku tidurnya anteng. Eh, atau Azki yang tidurnya kaya orang pingsan ya, nggak ngerti kiri kanan? Iyo, Ki?"
"Eh, emm, ini t-tentang apa ya, Mas? Ak-aku ngerti kok yang terjadi semalem." Aku masih belum paham arah pembicaraan mereka bertiga.
"Ini pada mbahas apa sih sebenernya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
General FictionMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...