23. Visi

7.1K 794 54
                                        

Hawa malam di Kajen cukup menusuk. Itu yang kurasakan ketika mengantar Mas Anas yang akan melaksanakan salat berjamaah di masjid pesantren. Hanya sampai pendopo, karena aku sedang tidak salat. Itupun dia yang meminta, sampai diledekin habis-habisan oleh bapak ibu dan kakak-kakak serta iparnya. Manja banget ya, mau ke masjid pakai minta diantar segala. Hehe.

Dinginnya angin yang menerpa wajahku membuat aku kepikiran untuk bikin susu jahe. Kuminta bantuan pada Mbak Ndari yang kebetulan juga sedang tidak salat. Seperti halnya ibu, yang selalu punya stok bahan makanan, begitu pun di rumah Mas Anas. Bahan makanan -dan minuman- di dapur rumah Mas Anas bahkan jauh lebih lengkap dan melimpah, kulkasnya saja segede gajah setinggi jerapah, alias besar banget.

Di dapur Mbak Ndari banyak bercerita tentang Mas Anas. Katanya, kalau Mas Anas pulang, dia yang jadi imam di masjid tersebut. Juga menyimak murojaah para santri pada jeda maghrib dengan isya. Sesudahnya, biasanya akan dilanjutkan dengan ngobrol di pendopo bersama bapak ibu, juga kakak-kakaknya jika mereka sedang berada di sini. Seperti malam ini, mereka tidak pulang ke rumah masing-masing di wilayah Kota Pekalongan.

"Alhamdulillah, berarti pas banget nih aku bikin susu jahe. Bisa buat nemenin ngobrol di pendopo nanti."

"Mbak, itu ada pisang sama sayuran, boleh diolah nggak sih?" tanyaku pada Mbak Ndari. Mendadak kepikiran untuk bikin pisang goreng dan bakwan melihat pisang dan sayuran yang masih teronggok di pojokan dapur lengkap dengan karungnya.

"Ya boleh banget to, Mbak Azki. Itu wali santri yang pada bawa. Dari kemarin wara wiri yang pada nganter hasil bumi gini, Mbak. Mungkin pada tau kalo bapak ibu mau mantu Mas Anas. Soalnya nyantri di sini kan memang gratis tis, Mbak. Kebanyakan orang sini dan sekitaran Kajen aja sih, makanya suka pada bawain beginian, nggak merasa repot. Kadang sampe bingung mau diapain, seringnya sih ya sama ibu suruh diolah trus dianter ke pondok buat cemilan tambahan anak-anak pondok, Mbak. Keluarga sini memang baiknya kebangetan." Mbak Ndari menjelaskan panjang lebar. Ternyata dia suka ngobrol, bahkan cerewet.

Kami berdua ngobrol panjang lebar sembari menyiapkan susu jahe dan kudapan berkolesterol tinggi alias gorengan. Sampai tak terasa kalau Isya telah selesai.

"Azki, kucari kemana-mana. Tak kira purik kamu," suara Mas Anas mendadak muncul di dapur. Aku kaget. Segera kuusapkan tanganku ke apron, lalu menyalami dan mencium punggung tangan Mas Anas.

"Dih, dapet keluarga sebaik ini kok purik. Rugi banget aku," sahutku disusul tawa kami bertiga.

"Aku kangen tau nggak sih," bisik Mas Anas sambil mengecup telingaku yang tertutup jilbab biru.

"Ih, ada Mbak Ndari. Malu tauk, Mas." Aku balas berbisik.

"Yuk, Ki, ikut ngobrol di pendopo."

"Iya, Mas. Tunggu sebentar ya, nanti Ki nyusul. Cuci tangan dan lain-lain dulu."

"Bikin apa sih emangnya?"

"Itu, ada pisang sama sayuran, kami bikin gorengan. Sama susu jahe."

"Alhamdulillah."

"Tapi aku mau susunya yang nggak pake jahe, Ki." Lanjutnya dengan berbisik.

"Ya Allah, Mas. Lah ini udah kadung jadi. Lagian katanya Mas suka susu jahe. Gimana sih?" gerutuku pelan. Nggak enak kalo terdengar Mbak Ndari yang sudah membantuku.

"Yaelah, Ki. Polosmu ki lho. Gagal paham deh!" Mas Anas garuk-garuk kepala, lantas meninggalkan dapur.

*Kode tidak tersampaikan, pemirsa!*

"Ya Allah, Mbak Azki. Sampeyan tuh beruntung banget. Mas Anas tuh yang ngincer banyak banget lho, terutama teman-temennya bapak ibu, mau ngambil Mas Anas jadi mantu. Tapi sama sampeyan yo serasi banget kok,  Mbak. Mas Anas kelihatan sayang banget sama Mbak Azki. Saya lihat Mas Anas sama sampeyan mesra banget sampe ikut senyum-senyum sendiri lho," ujar Mbak Ndari setelah Mas Anas pergi.

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang