"Egi! Buka pintunya!"
"Egini!" Werel mengetuk pintu dengan panik namun menekan suaranya agar tidak terlalu menimbulkan keributan. Saat ini sudah hampir jam tiga pagi, tentu ia tak ingin membangunkan tetangga jika mengetuk pintu dengan bar-bar.
Egini langsung keluar dengan wajah berantakan, terlihat jelas jika gadis itu tidak tidur sama sekali.
"Bantu aku sama Dema bawa Anggra, Sena, Brian ke rumah. Cepat!" Egini memasang sandal jepitnya dengan tergesa-gesa melihat raut panik Werel dan setengah berlari menuju mobil di halaman samping.
Hampir saja Egini terduduk setelah melihat pemandangan tiga lelaki yang kini berlumuran darah dan lemah tak berdaya di dalam mobil, kakinya seperti kehilangan tulang untuk menopang badannya.
"S-sena..k-kenapa...?"
"Ayo bantu aku bawa mereka!" Werel menghiraukan pertanyaan Egini, ia segera membantu Anggra untuk bangkit lalu berjalan perlahan ke dalam rumah. Dema langsung menggendong Brian yang sedari tadi sudah tak sadarkan diri.
Egini tiba-tiba menjadi linglung tak tahu harus berbuat apa, dengan cepat ia mengalungkan tangan Sena ke lehernya dan sekuat tenaga membantu pria itu berjalan.
"Sena, ayo bentar lagi nyampe di rumah, aduh Sena yang kuat ayo.. aku nggak sanggup gendong Sena..." saking paniknya, tanpa sadar Egini menangis, jantungnya berpacu kencang karena takut terjadi apa-apa dengan lelaki itu. Apalagi melihat kondisi wajah Sena yang sudah merah tertutupi oleh darah.
Sesampainya di ruang tamu, Anggra dan Brian sudah terbaring di kasur dengan keadaan yang tak jauh berbeda. Setelah menidurkan Sena di samping Anggra, Egini menghampiri Werel yang terlihat sibuk dengan alat-alat dari box berisi peralatan medis yang ia bawa.
"Kak Werel, ini kenapa? Kenapa pada hancur gini muka mereka?" Tanya Egini dengan air mata yang mulai mengalir di pipi tembemnya.
"Egi, nanti ya. Sekarang kamu bantu aku aja, oke?" gadis itu segera menghapus air matanya dan mengangguk, "O-oke, apa yang bisa aku bantu, Kak?"
"La!" Werel menoleh ke arah Dema. "Brian!" ia segera mendekat dan melihat keadaan sahabatnya. Wajah Brian sudah pucat pasi, nafasnya tersendat dan tubuhnya agak mengejang.
"Dia kenapa?!" Dema seketika ikut khawatir. Werel menempelkan jarinya ke leher Brian, lalu berpindah ke urat nadi pria itu.
"Oh shit!" umpatnya.
Werel mengambil gunting untuk menggunting baju Brian hingga menjadi dua bagian, ia pun tertegun melihat kulit dada kanan pria itu sudah membiru dengan ukuran yang cukup lebar. Egini dan Dema yang melihat hanya bisa terdiam tak tahu harus melakukan apa.
"Pneumotorax." Ujar Werel sembari meremas rambutnya frustasi.
"Kita harus bawa ke dokter!" usul Dema yang sudah berdiri saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ANGEL NUMBER 110
FanficCOMPLETED✔ Dalam ilmu spiritual, angka 110 dipercaya sebagai angka yang dapat memanggil malaikat pelindung. Hal tersebut seolah diamini oleh Kepolisian Indonesia dengan menjadikan angka 110 sebagai panggilan darurat yang akan dicari masyarakat untuk...