Dema Prima Dirgantara,
Tak pernah menyangka hidupnya yang dulu selalu membuat iri semua orang akan ditampar oleh takdir sehingga ia kehilangan satu per satu hal berharga dalam hidupnya.
Dema tidak pernah membayangkan, bahwa di dalam jadwal hariannya akan terselip kunjungan wajib di sebuah rumah sakit jiwa di Kota Semarang.
Diana Ayudira, adik perempuan Dema satu-satunya yang terkena penyakit mental akibat menjadi korban pemerkosaan beberapa tahun lalu sedang dirawat di sana. Sebelum itu, Ibunda Dema meninggal karena sebuah penyakit parah, ditambah sosok Papa yang memang dari dulu tidak pernah memperhatikannya, yang beliau tahu hanya memberikan uang, uang, dan uang tanpa berniat untuk menyelipkan sedikit perhatian.
Hingga sampai di suatu titik, setelah ia kembali ke Indonesia, Dema sadar bahwa apa yang terjadi di kehidupannya adalah buah dari perbuatannya sendiri.
Karma selalu ada, itu mutlak. Hanya waktu datangnya saja yang menjadi rahasia.
Dema berdiri mematung melihat dari kaca bening salah satu kamar rawat inap rumah sakit, gadis itu selalu termenung dengan tatapan kosong ke luar jendela sembari memegang sebuah boneka kecil.
Tepukan pelan di bahu Dema membuat pria itu terkejut.
"Ella? Kamu kok bisa di sini?"
Gadis itu hanya tersenyum, "Lo lupa ya kalo gue punya Brian?" Dema mengangguk paham, sangat mengetahui bagaimana hebatnya lelaki itu mencari informasi apapun.
"Udah berapa lama, Dem?"
"Hm?" Dema menoleh ke arah Werel,
"Udah berapa lama Diana di sini?" lelaki itu menunduk lesu, pertanyaan Werel seperti mengandung beban yang cukup berat untuk dia jawab.
"Tiga tahun, tapi dua tahun sebelumnya Bokap nyewa suster untuk ngerawat dia di rumah,"
"Lima tahun, La..udah lima tahun Diana kayak gini." Dema tersenyum miris, begitu kentara wajah yang berpura-pura untuk terlihat biasa saja namun tetap tergurat rasa lelah dan putus asa.
"Tapi kata suster, dua bulan terakhir Diana udah mulai mau merespon orang-orang di sekitarnya, nggak melulu menatap kosong sepanjang hari."
"Oh ya? Nice to hear that.."
"Iya, karena Egini," Sudut bibir Dema terangkat dengan ringan ketika menyebut nama itu. "Ternyata anak kecil itu suka diam-diam datang ke sini dan main sama Diana," Werel bisa merasakan kelegaan penuh rasa syukur dari kalimat Dema, "She helped my sister a lot." Dan raut wajah terima kasih yang amat jelas.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Werel,
Apakah wajahnya ketika menceritakan Anggra kepada Brian juga sama seperti ini?
Penuh rasa kagum, terima kasih, dan bersyukur.
Mungkin bedanya, Dema menganggap Egini sudah seperti adiknya sendiri, karena memang Diana dan gadis itu seumuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ANGEL NUMBER 110
FanficCOMPLETED✔ Dalam ilmu spiritual, angka 110 dipercaya sebagai angka yang dapat memanggil malaikat pelindung. Hal tersebut seolah diamini oleh Kepolisian Indonesia dengan menjadikan angka 110 sebagai panggilan darurat yang akan dicari masyarakat untuk...