09. Autopsi

2.4K 437 150
                                    

Bau rumah sakit memang selalu khas menyengat indera penciuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bau rumah sakit memang selalu khas menyengat indera penciuman. Apalagi di pagi hari ketika bau obat-obatan dan pembersih lantai bercampur menjadi satu. Namun ada satu lorong yang memiliki bau lebih khas lagi, orang awam sudah dipastikan tidak akan menyukai bau ini.

Werel menghentikan langkahnya di depan lorong itu, terlihat dua orang polisi lengkap dengan senjata berdiri di depan sebuah pintu yang bertuliskan "Ruang Autopsi I" dengan led merah tulisan bergerak "Sedang Ada Autopsi".

Werel mendekat, sontak dua orang polisi yang bertugas itu menahan langkah Werel.

"Maaf, Bu, yang tidak berkepentingan dilarang masuk." ujar salah satu dari mereka. Dengan tampang malas, Werel mengeluarkan sebuah kartu dari card holder-nya dan memperlihatkan kepada polisi tersebut. Setelah membaca kartu itu, mereka segera membuka pintu untuk Werel dan mempersilahkan gadis itu masuk dengan sopan.

Di ruangan autopsi terdapat tiga orang laki-laki yang terlihat sibuk di depan sebuah mayat. Saat Werel memasang sarung tangan plastik tipis dan masker, salah satu diantara mereka mendekat.

"Maaf, anda siapa?"

"Siapa saya? Tanyakan saja kepada dokter yang memimpin autopsi ini." balas Werel sengak.

"Saya yang memanggilnya." Sahut salah satu pria yang tengah fokus menjahit kembali kulit mayat yang sudah ia bedah dari leher hingga perut.

"Werel, sini." Dengan santai Werel memenuhi panggilan itu, ia menggeretakkan deretan giginya melihat mayat yang terlentang di depan mata. Pagi-pagi buta ia mendapat telepon bahwa satu-satunya tersangka penembakan di hotel Patra Jasa ditemukan sudah tak bernyawa di ruang rawat inapnya. Ia diduga bunuh diri karena ditemukan sebuah suntik di samping tempat tidurnya.

"Gimana hasilnya?"

"Saya ingin tahu pendapat kamu terlebih dahulu, Rel. Silahkan kamu periksa." Werel lebih mendekat, menunduk untuk memeriksa mayat tersebut. Mulai dari mengecek bola mata, membuka mulut dan melihat tenggorokan, memegang lalu sedikit menekan kulit dari mayat itu.

"Meninggalnya pasti tengah malam tadi, benar, kan?" ujar Werel tanpa mengalihkan pandangannya dari mayat itu, ia melanjutkan memeriksa bagian tubuh yang lain.

"Benar." Jawab dokter pemimpin autopsi dengan mantap.

Tiba-tiba kegiatan Werel terhenti saat matanya melihat lengan bagian dalam. "Dok, kacamata pembesar."

Dokter itu segera memberikan kacamata binocular yang biasa digunakan para dokter kepada Werel. Wanita itu langsung memakai dan mengarahkan matanya lebih dekat dengan lengan mayat itu.

"Bekas suntikan," ujar Werel sembari mendongak. Dokter yang di sebelahnya hanya mengangguk.

Werel terlihat sedikit frustasi, terbaca jelas dari wajahnya. "Tapi jika dilihat dari lokasi bekas suntikan, sepertinya disuntik oleh seorang profesional. Suntikannya di bagian yang tepat, membuat apa saja yang ia suntikkan mengalir dengan cepat ke dalam pembuluh darah."

THE ANGEL NUMBER 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang