37. Penyesalan Werel

1.8K 399 164
                                    

Werel berlari sekencang mungkin dari lorong kamar VIP menuju IGD yang jaraknya lumayan jauh karena berbeda gedung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Werel berlari sekencang mungkin dari lorong kamar VIP menuju IGD yang jaraknya lumayan jauh karena berbeda gedung. Anggra, Sena dan Egini juga menyusul setelah memastikan keamanan Doni di kamarnya.

Adegan lari-larian ini mengundang perhatian dari banyak orang di rumah sakit tapi Werel tak peduli, yang ia pikirkan adalah bagaimana bisa tiba di IGD secepat mungkin.

Lalu lalang pasien, keluarga, dan Dokter lumayan menyulitkan Werel, Maher segera menarik tangannya hingga ke depan ruangan tempat Tjahyo sedang berusaha diselamatkan oleh Dokter.

Sekilas Werel dapat melihat tubuh Daddy-nya terkapar dikelilingi berbagai alat, sesekali tubuh lelaki itu terangkat karena mesin pemacu jantung yang dilekatkan ke dadanya. Melihat putrinya datang, Wilona segera memeluk Werel sembari menangis tersedu-sedu.

Tak banyak yang bisa ia lakukan, setengah dirinya seperti menguap bersatu dengan udara. Tatapan Werel kosong, pikirannya berlari entah kemana, jemarinya hanya bisa menepuk punggung Wilona dengan pelan sebagai isyarat bahwa Mommy-nya tidak sendiri, ada dirinya yang kini juga terpukul bukan main.

Ketika dokter keluar ruangan dengan raut wajah siap untuk meminta maaf, Werel tahu bahwa kemungkinan paling buruk itu terjadi.

"Mohon maaf, Bu. Kami sudah berusaha namun Bapak tidak bisa diselamatkan." Wilona sontak terduduk di lantai dengan cucuran air mata, detik berikutnya ia menangis dengan setengah berteriak hingga suaranya memenuhi lorong itu.

Anggra dengan cepat memeluk Wilona, mencoba untuk menyabarkan istri dari atasannya, sedangkan Sena dan Maher tampak berbicara dengan dokter yang baru saja menangani Tjahyo untuk menanyakan keterangan lebih lanjut tentang penyebab kematian Kapolda Jawa Tengah itu.

Sedangkan Werel, ia justru berbalik dengan genggaman tangan yang mengeras di samping badan.

Ini terlalu mengejutkan, baru saja ia berniat menemui Daddy-nya..

Tapi mengapa justru kenyataan pahit ini yang ia dapatkan?

Kepalanya seperti dihantam batu besar, hatinya ngilu bagai dihujam oleh ribuan pisau. Ia terus saja mengeluh dalam hati,

Seharusnya tidak begini rasanya,

Seharusnya tidak sesakit ini...

Bukankah sudah lama ia mematikan kepeduliannya terhadap sang Ayah? Tapi mengapa kepergian beliau seolah membawa setengah dirinya ikut pergi juga?

Ia terus dan terus berjalan berharap tak ada satu orangpun yang melihat kepergiannya, tanpa ia tahu bahwa Anggra memperhatikan punggung Werel hingga wanita itu berbelok dan menghilang dari iris mata Anggra.

Ia terus dan terus berjalan berharap tak ada satu orangpun yang melihat kepergiannya, tanpa ia tahu bahwa Anggra memperhatikan punggung Werel hingga wanita itu berbelok dan menghilang dari iris mata Anggra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE ANGEL NUMBER 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang