36. Dilema Penjeratan

1.6K 371 64
                                    

Semenjak menginjakkan kaki di Semarang, entah sudah berapa kali Werel mengunjungi Rumah Sakit Kariyadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semenjak menginjakkan kaki di Semarang, entah sudah berapa kali Werel mengunjungi Rumah Sakit Kariyadi. Entah itu untuk urusan pekerjaan atau menjenguk Daddy-nya saat masih dirawat meski hanya melihat dari kejauhan.

Namun kali ini ia tak sendiri, ada Anggra, Sena dan Egini menemaninya. Mereka berada di sebuah kamar VIP tempat di mana Doni dirawat. Werel meminta penanganan khusus terhadap remaja itu karena ia dikejar oleh waktu untuk segera memecahkan kasus kelompok Mortem.

Setelah diinterogasi, Aidan masih ditahan di Polda Jateng, hebatnya lelaki itu, ia mampu membayar semua media untuk bungkam. Anggra dan Sena tak bisa berbuat banyak karena Wakapolda berada di belakang Aidan dan siap sedia melindungi serta menuruti apapun permintaan lelaki itu.

Setidaknya, kini mereka sudah tahu bahwa inti dari misi kelompok Mortem adalah menghabisi Haidar Rauf yang sedang menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Werel masih mencari tahu motif dibalik ambisi Aidan tersebut, tentu ia punya alasan yang kuat hingga melibatkan kelompok penjahat kelas internasional dalam misinya.

Brian masih berada di Hongkong, pria itu sudah menelepon untuk kembali sore ini dengan membawa informasi besar. Werel tak perlu meragukan lagi kemampuan sahabatnya, pria itu layaknya mesin pencari yang dapat memberi jawaban akan setiap teka-teki yang dicari Werel. Kadang ia sering bertanya mengapa Brian sebaik ini kepadanya, meskipun memang Werel memberikan gaji layaknya seorang rekan kerja yang profesional, namun ia rasa tak semua orang mau bekerja dengan ribuan resiko seperti Brian.

Dema pun sudah kembali dari Surabaya, namun Werel belum sempat menanyakan apa saja yang didapat karena pengakuan Aidan saat interogasi sudah terlanjur menarik perhatiannya.

Setelah dokter keluar dan memberi izin bahwa Doni bisa diinterogasi, maka Werel mempersilahkan Sena untuk melakukan tugasnya.

Namun baru saja ia menarik kursi, Egini segera menarik tangan lelaki itu,

"Aku aja yang nanyain boleh nggak? Takut Doni serangan jantung kalo Sena yang nanyain, hehe.." Anggra hanya bisa mengulum senyum tapi ia memang menyutujui perkataan Egini.

"Aku aja ya? Izin ya bapak-bapak polisi, boleh geseran dikit nggak?" gadis itu mulai mendorong Anggra dan Sena untuk sedikit menjauh agar ia bisa duduk tepat di sebelah kasur Doni.

"Hai..Doni, kamu masih pusing?" remaja yang kini sedang duduk dan menyenderkan punggung ke kasurnya menggeleng pelan. "Itu di depan kamu ada kamera untuk bukti interogasi,tapi kamu nggak bisa lambaikan tangan, jadi kalau kamu nggak kuat lagi langsung ngomong aja, ya?"

"Iya, Kak Egi.."

Egini menarik nafas dalam sebelum bertanya, "Doni, kamu bisa ceritain nggak apa yang terjadi sama kamu selama di Sumatera?"

Doni terlihat sedikit menunduk, seiring ia mencoba mengingat, raut wajahnya berubah drastis menjadi ketakutan.

"Dari Semarang, aku naik pesawat ke Jakarta, Kak.. sampai di sana aku dibawa ke pelabuhan lalu naik ke kapal besar. Aku nggak sendirian, ada beberapa anak seumuran aku sekitar sepuluh orang. Aku bingung kenapa kami dikumpulin di suatu ruangan, waktu malam ada beberapa lelaki yang datang lalu nutup mata kami dan...dan..." Suara Doni mulai bergetar, Egini pun dengan cepat mengelus lengan Doni.

THE ANGEL NUMBER 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang