10. Egini dan Rahasianya

2.8K 463 219
                                    

Polda Jateng sore ini tampak sepi dari biasanya, terutama ruang petak paling belakang dan terletak di sudut yaitu ruang divisi narkoba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Polda Jateng sore ini tampak sepi dari biasanya, terutama ruang petak paling belakang dan terletak di sudut yaitu ruang divisi narkoba. Seorang pria jangkung dan putih tampak sedang memijit pelipisnya yang terasa nyeri serta berdenyut. Suasana hening lantas tak membuatnya tenang, ada berbagai macam problem yang sedang memenuhi kepalanya.

Kemudian mata Sena beralih ke meja yang ada di depannya. Meja yang biasanya berantakan itu kini terlihat rapi. Sena tertarik untuk mendekat lalu duduk di kursi yang dilengkapi oleh bantal bulat tipis yang lembut, karena minggu lalu yang punya beralasan "Saya lagi ambeien, Pak Sena! Makanya duduk pake bantal, hehehe."

Sejak insiden pengeboman, Egini sengaja diliburkan karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Sena juga melihat betapa terguncangnya Egini saat kejadian, ia kira Egini butuh banyak istirahat setidaknya untuk menormalkan psikisnya.

Sena melihat kalender yang begitu banyak coretan dan sticky note kecil tertempel di sana, sungguh jelas betapa pelupanya gadis ini hanya dengan melihat benda itu.

"Revisi Prof.Serikat, KERJAIN!"

"Arsip 2 bulan terakhir belum selesai Egi, KERJAIN!"

"Hari ini olahraga! Ambil kaca! Liat pipi temben kamu!"

Tanpa sadar, Sena tersenyum ringan. Namun tangannya berhenti saar melihat tulisan yang amat kecil di sudut kalender. Saking kecilnya Sena harus memicingkan mata untuk membaca, ditambah kalimat itu ditulis menggunakan tinta yang sejenis pulpen My-Gel  lalu terlihat segera dihapus sesaat setelah ditulis.

"Hari ini Pak Sena ganteng (lagi), apalagi kalau lagi baca berkas. Aku boleh naksir gak ya?"

Sena menggigit bibirnya menahan tawa.

Tiba-tiba,

Bola Karet is calling...

Berkali-kali Sena berdeham sebelum mengangkat telepon itu.

"Saya sibuk, kalau kamu cuma berniat mengganggu konsen—"

"Sen, aku sakit. Dan aku nggak tau kenapa nelpon Sena."

Sena tertegun mendengar suara serak Egini dari ujung telepon yang mengatakan bahwa ia sakit.

Ada banyak sekali yang ingin Sena tanyakan, tapi tetap saja yang keluar dari mulutnya hanyalah "Terus, kenapa nelpon saya? Saya bukan dokter."

"Kirain pas bilang aku sakit galaknya bisa hilang, eh ternyata makin galak."

Sena tidak tahu sejak kapan Egini mulai menarik atensinya, Sena yang sebelumnya sangat tidak menyukai orang yang berisik dan selalu berceloteh tidak penting, kini malah begitu menyukai jika Egini sudah mulai berbicara seperti mulutnya tak mempunyai rem.

"Temen-temen aku udah pada sidang, terus tadi aku sedih banget nunggu dosen sambil ngeliatin mereka pake baju hitam putih, huhuhuhu bayangin, Sen, jadi aku. Harus pura-pura senyum dan ngasih mereka selamat padahal sebenernya aku iri karena mereka bisa duluan,"

THE ANGEL NUMBER 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang