"Nggak salah lagi, itu logo mortem." Ujar Sena mantap sembari bersandar ke sofa ruang tamu Anggra. Setelah memeriksa seluruh isi map yang dia ambil dari Egini saat di kantor, Sena segera menghubungi sahabatnya lalu ia diminta untuk menemuinya di rumah. Dua hari terakhir Anggra jarang ke kantor karena alasan ada suatu pekerjaan yang Sena tak tahu pasti, yang jelas bukan penyergapan atau mengejar buronan, karena Sena pasti akan tahu hal itu.
"Waktu gue ke rumah Egini,"
Anggra menoleh kaget, "Lo kerumah siapa? Egini? Ngapain lo?!"
"Dia sakit, jadi gue jenguk."
"Bentar, bentar. Egini sakit? Kapan? Dan lo apa tadi? Jenguk Egini?"
"Iya, emangnya kenapa?" Tanya Sena polos.
Anggra berdecih, "Setahu gue, lo bukan orang yang seperhatian itu. Dulu waktu di asrama gue pernah hampir sekarat dan lo nggak peduli. Padahal kita temenan dari SMA dan lo adalah saudara barak gue." Raut wajah Sena seketika berubah, Anggra menatap Sena dengan ekspresi yang siap menghujam temannya itu dengan puluhan pertanyaan.
"Kita bahas itu nanti, sekarang fokus ke ini dulu." Ujar Sena dengan tegas. "Oke, nanti gue tagih." Anggra kembali mengambil berkas yang sempat dia lupakan begitu saja.
"Jadi, secara nggak langsung bukti forensik ini ngasih tahu kalau kelompok Mortem udah masuk ke Indonesia dari lama?" Sena mengangguk.
"Dan bahkan anggota mereka bukan cuma dari warga sipil biasa tapi juga aparat keamanan?"
"Pimpinannya malah." Sambung Sena yakin. "Beliau Letkol, catat." Anggra terdiam sejenak, ia tiba-tiba teringat dengan pernyataan Werel yang mengatakan bahwa kasus pengeboman di Hotel Patra Jasa bukanlah kasus biasa, dan wanita itu yakin kelompok Mortem ada di balik semua ini. Ia kembali melihat foto seorang pria yang terbaring dan di tangannya ada sebuah logo kecil, logo yang sangat dikenal Anggra.
"Yang gue heran.."
"Kenapa kasusnya ditutup tanpa kejelasan?" Sahut Sena seolah mengerti isi kepala Anggra, "Iya, bener."
"Ada poin penting lain," Sena mendekat ke sebelah Anggra dan berbisik.
"Sebelum ke sini gue sempet nyari tahu sedikit," Suasana tiba-tiba menjadi sangat serius. "Yang bertanggung jawab sama kasus ini waktu itu adalah pimpinan kita sekarang." Anggra sontak terbelalak, "Pak Irjen? Irjen Tjahyo Pambudi?" Sena mengiyakan. Terdengar helaan nafas yang panjang dan berat dari Anggra.
Fakta demi fakta semakin terlihat, namun layaknya sebuah puzzle yang besar dan rumit, kasus ini masih kehilangan banyak bagian untuk mencapai titik terang. Beberapa menit tak ada satupun dari Anggra atau Sena yang berbicara, mereka seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rumah Anggra sepi karena kedua orang tuanya sedang ada acara dan Arimbi belum pulang dari kampus.
Namun, beberapa saat kemudian,
"ASSALAMU'ALAIKUM, MBI PULAANGG!" suara pintu berdebam membuat kedua sahabat itu menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ANGEL NUMBER 110
FanfictionCOMPLETED✔ Dalam ilmu spiritual, angka 110 dipercaya sebagai angka yang dapat memanggil malaikat pelindung. Hal tersebut seolah diamini oleh Kepolisian Indonesia dengan menjadikan angka 110 sebagai panggilan darurat yang akan dicari masyarakat untuk...