20. Pertahanan yang Runtuh

3K 437 372
                                    

Untuk pertama kalinya Sena menginjakkan kaki di ruang dominan hitam yang penuh dengan senjata ini, dari tampilannya Sena sudah bisa mengira berapa harga satu unit apartemen yang ditinggali Werel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk pertama kalinya Sena menginjakkan kaki di ruang dominan hitam yang penuh dengan senjata ini, dari tampilannya Sena sudah bisa mengira berapa harga satu unit apartemen yang ditinggali Werel. Di dalam ruang rahasianya saja, segala fasilitas mulai dari tempat tidur yang kini dihuni Brian, mini bar, arcade, sampai ke tempat latihan menembak berukuran kecil pun tersedia.

Nuansa remang-remang memenuhi tiap sudut ruangan memberi kesan hangat dan nyaman.

"Sena, is that your name?" Brian datang dari arah belakang Sena dengan segelas bir ditangan lalu menawarkannya kepada lelaki yang masih lengkap dengan seragam polisinya.

"Maaf, saya tidak minum." Tolak Sena dengan sopan, Brian tersenyum terkesan mengejek. "C'mon, Man. Kerja jangan serius-serius amat, minum dikit biar santai."

"Tidak, terimakasih." Lelaki itu mulai merasa tidak nyaman. Sialan, kenapa Anggra harus memintanya duluan kesini, sih?

"Sen, Anggra mana?" Werel bergabung dengan mereka yang sepertinya baru selesai mandi karena handuk masih terbalut di kepala, menyeruakkan bau vanilla ke seluruh tempat.

"Lagi jemput adeknya—"

"Oh, Arimbi ya?" Sena mengangguk. "Sekalian jemput Egini, katanya lo mau ketemu dia."

Werel menyeruput kopi hitam dari cangkir yang diberikan Brian, "Iya, mau ngasih tahu tentang hasil berkas kecelakaan orang tuanya."

Tiba-tiba suara mesin pintu terbuka mengalihkan perhatian mereka, terlihat Anggra dan Egini yang sedang terkagum-kagum memasuki ruangan.

"Pintu apart lo nggak ke kunci?" Brian bertanya dengan berbisik.

"Kunci, lah."

"Kok bisa masuk?"

"Udah gue kasih tau password-nya sama Anggra." Jawab Werel dengan santai.

"Wow, Werel." Brian hanya bisa menggeleng tak percaya. Dia tidak menyangka bahwa Werel bisa semudah itu percaya kepada orang baru.

Anggra tentu tergolong orang baru dalam hidup Werel, mengingat mereka baru saling mengenal dalam waktu beberapa bulan saja. Hal ini membuat Brian makin percaya bahwa Anggra lebih dari rekan kerja atau pengawal pribadi semata bagi Werel.

"Wah...ini kayak tempat syuting film barat gitu ya?" Egini berkeliling ke setiap sudut ruangan tanpa peduli semua mata tertuju padanya. Werel saja sudah menahan tawa dengan geli melihat tingkah Egini.

"Egi.." Sena membuyarkan kegiatan gadis itu, membuatnya tersadar betapa tak sopannya ia karena tidak menyapa tuan rumah terlebih dahulu.

"Aduh, astaga! Maafin aku, Kak." Egini segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Halo Kak Werel, hehehe."

"Hai, Gi. Kita ketemu lagi setelah acara di Patra."

"Iya, Kak! Di Patra kita nggak sempet ngobrol lebih jauh ya, Kak? Aku pengen banget temenan sama Kak Werel, soalnya keren. Pak Anggra sering cerita." Werel melirik Anggra yang langsung berdeham. Ingin sekali dirinya menjahit mulut Egini yang seperti ember bocor itu.

THE ANGEL NUMBER 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang