O6. Malam Untuk Pulang

92 17 2
                                    

warning: masalah keluarga, tamparan, air mata.

Ruang menghela napas nya berulang kali, mencoba menstabilkan emosi nya yang sejak tadi sudah ingin tumpah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ruang menghela napas nya berulang kali, mencoba menstabilkan emosi nya yang sejak tadi sudah ingin tumpah. Pukul dua dini hari,suara gemuruh dari lantai dasar sudah terdengar sampai ke kamar Ruang yang ada di lantai dua.

Ruang melangkahkan kakinya menuju lantai dasar, awalnya hanya ingin mengambil air putih, tetapi kaki nya otomatis terhenti saat melihat perempuan muda yang terjatuh dengan kepala yang membentur meja berwarna coklat tua di dekat Ruang berdiri.

Ruang segera menghampiri perempuan muda itu, walau ia tidak suka dengan kehadiran nya diantara ia dan Ayah nya, tetapi melihat perempuan yang tersiksa seperti ini, ego nya menciut terkalahkan oleh rasa kasihan yang lebih mendominasi.

Ruang mengulurkan tangan nya, membantu perempuan muda yang penuh air mata itu berdiri.

“Lanjutin gih.”

Ruang melangkahkan kaki nya kembali menuju dapur, membiarkan dua orang yang berstatus sebagai Ayah dan Ibu Tiri nya itu melanjutkan pertengkaran yang tak lain membahas hal itu-itu saja.

Jalan sampai pulang malam.

Namun, sepertinya kehadiran Ruang membuat  pertengkaran itu terhenti, karena sejak tadi hanya suara jam dinding serta isakan kecil dari bibir perempuan muda itu yang dapat Ruang dengar.

Selesai minum, Ruang hendak kembali ke kamar nya tapi lengan nya di cekal saat ingin menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.

“Ayah mau bicara sama kamu.” Ruang menghela napas nya. Melepas cekalan Ayah nya lalu berbalik menatap Ayah nya.

“Mending selesaiin dulu urusan sebelumnya baru bicara sama saya.”

Ayah Ruang mengadahkan pandangan ke langit-langit ruang keluarga yang didominasi dengan warna putih serta sebuah tempat lampu mewah. Mencoba menahan amarah nya pada anak semata wayangnya yang ada di depan nya ini.

“Sekali aja dengerin Ayah, bisa?”

Ruang tertawa sinis, “Ayah saja nggak mau dengerin saya, kenapa saya harus dengerin Ayah?”

Nada bicara Ruang datar. “Ruang, ini semua karena ibu kamu.”

Ruang yang sebelumnya sudah menginjak lantai tangga ke-empat, menghentikan langkahnya dengan spontan serta mengepalkan telapak tangan nya.

“Ibu kamu meninggal dengan bunuh diri, membuat reputasi Ayah hancur. Lalu, membuat perusahaan menurun dengan drastis, lantas apa yang bisa Ayah lakukan selain dengan menaikan kembali citra perusahaan, dengan menikahi anak salah satu teman Ayah!”

Ruang memutar langkahnya, berdiri di hadapan Ayah nya dengan napas tidak karuan serta tangan yang mengepal. Tak jauh beda dengan kondisi Ayah nya yang juga dengan emosi yang sebentar lagi akan meledak.

“Apalagi Ayah bilang?” Ruang berdecih sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya.

“MEMANGNYA CUMA DENGAN CARA ITU PERUSAHAAN BISA KEMBALI MEMBAIK? ENGGAK YAH! SELAIN ITU, PEREMPUAN ITU NGGAK SEHARUSNYA JADI ISTRI AYAH, BAHKAN DIA BELUM LULUS SMA. SAYA MALU PUNYA AYAH SEPERTIㅡ”

Belum sampai Ruang melanjutkan kalimatnya, sebuah tamparan sudah mendarat di pipi kanan laki-laki itu. Jujur saja, rasanya hambar, sudah terlalu sering Ruang merasakan sampai hilang rasa sekarang.

“Kamu Ayah sekolahkan bukan nya buat jadi anak yang bisa ngelawan orang tua gini ya!”

Napas Ayah Ruang memburu, sedangkan Ibu Tiri Ruang hanya bisa terdiam tanpa melakukan apapun.

Ruang tersenyum miring, kembali menatap Ayah nya. “Apa gunanya saya sekolah jika di kehidupan nyata orang tua saya bahkan tidak bisa memberikan contoh yang baik?“

Ruang mengambil napas sekilas, lalu menatap Ayah nya sengit.

“BAGAIMANA SAYA TUMBUH SEKARANG ADALAH BERKAT ANDA YANG SELAMA INI MENDIDIK SAYA. DI SAMPING ITU, JANGAN PERNAH MENYALAHKAN IBU DALAM HAL SEPERTI INI, SATU-SATU NYA ORANG YANG BERHAK DISALAHKAN ADALAH ANDA!!”

Ayah Ruang hendak melayangkan telapak tangan nya dan bersiap kembali mendarat di pipi laki-laki bertubuh jangkung itu. Namun, dengan brutal Ruang menampar pipi nya sendiri tanpa ampun.

“Kenapa? Mau mukul saya lagi? Nggak perlu, bahkan saya bisa melakukan nya sendiri.”

Semakin lama, pukulan di pipi Ruang yang ia buat sendiri semakin keras, air mata di matanya nampak nya sudah kering sehingga tak terlihat.

Ayah Ruang hendak maju, merangkul sekaligus menenangkan anak nya itu. Namun, Ruang mengambil dua langkah mundur.

“Berhenti,” ucap Ruang. Ruang menghentikan tamparan brutal pada diri nya sejak 56 detik yang lalu. Nampak sekali kedua pipi nya merah, jangan lupakan telapak tangan nya yang berwarna sama. Bisa di bayangkan bagaimana rasanya sekarang. Perih.

“Selesaikan urusan Anda, sebelum Anda menemui saya kembali.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Ruang memutar tubuhnya lalu kembali ke kamar nya.

Seperti nya Ruang salah mengambil keputusan untuk 'pulang' beberapa hari yang lalu. Karena disaat Ruang 'pulang' yang niatnya ingin kembali ke rumah. Ruang justru di hadapkan dengan sebuah pertengkaran yang selalu terjadi dan sialnya selalu saat dirinya 'pulang'.

“Mau sampai kapanpun, pulang adalah keputusan terburuk yang sialnya selalu gue ambil.”

Ruang mengambil beberapa pakaian sekolah serta tas ransel nya. Mengemasi dengan sembarangan lalu keluar melalui jendela kamar nya. Berharap, semoga malam mengantarkan nya kepada pulang yang sesungguh nya.

Sampai jumpa di next chap 🌤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sampai jumpa di next chap 🌤️

Sampai jumpa di next chap 🌤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ruang ¦ Huang Renjun ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang