Menopang dagunya dengan tangan. Pria itu terus memandang ke arah gadis yang ada di depannya. Gadis itu tanpa rasa malu sedikit pun terus melahap makanannya.Tanpa memperdulikan jika Tara saat ini sedang memperhatikan cara makannya yang sangat anti meastream.
Tersenyum gemas, Tara menyentuh bibir Ino. Mengusapnya sekali kemudian berkata.
"Kalau kurang kamu boleh pesan lagi," katanya dengan lembut.
Ino tersentak, lalu tiba-tiba entah kenapa jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Wajahnya sudah memerah seperti tomat.
Mengangguk pelan. Dengan ragu serta gugup, Ino kembali menyantap makanannya.
"Ino," panggil Tara.
Yang di panggil mendongak lalu menatap ke arah orang yang memanggilnya.
"Ya?" tanya Ino. Matanya berkedip dua kali.
Tara membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu. Tapi sebelum itu Tara ragu untuk mengatakannya, karena itu Tara kembali menutup mulutnya. Pria itu berniat akan mengatakannya nanti di lain waktu.
"Selain makan kamu suka apa?" tanya Tara.
Ino meletakan sendok di tanganya ke atas piring. Mengambil 2 lembar tisu lalu mengusapkannya ke sudut-sudut bibir.
Tiga detik setelahnya Ino kembali menatap ke arah Tara yang sedari tadi menunggu jawabannya.
"Ehmmm..." Ino mengelusi dagunya.
"Selain makan? Ino gak suka apapun." kata Ino jujur. Sejauh ini tidak ada yang bisa merubah fakta jika Ino memang sangat menyukai makanan.
"Tapi," wajah Tara yang semula di tekuk kembali sumringah.
"Kayaknya Ino mulai sedikit suka sama kakak." Ino tersenyum.
Deg.
Kali ini wajah Tara yang memerah. Malu pria itu langsung menutup wajahnya dengan lengan. Pengakuan Ino membuat hatinya merasa senang, walau sedikit setidaknya Ino ada rasa dengannya.
"Ada apa kak?" tanya Ino, kening gadis itu berkerut. Menatap Tara dengan raut wajah bingung.
Aneh? Batinnya.
Tara mengcoba mengatur napasnya. Dengan perlahan Tara kembali menatap Ino.
Tersenyum Tara menyentuh puncak kepala Ino lalu mengelusnya dua kali.
"Tidak apa. Hanya aku merasa senang, walau hanya sedikit. Setidaknya kamu mulai menyukaiku," tutur Tara.
Sentuhan tangan Tara di kepalanya. Membuat Ino merasa jika Tara adalah orang pertama yang membuat dirinya merasa nyaman.
Tatapan tulus ketika manik hitam pekat milik Tara menatapnya. Tidak seperti tatapan orang-orang lain saat menatapnya.
"T-terima kasih," Ino mendadak gugup sendiri.
****
"Hari ini kamu pulang cepat? Tidak seperti biasanya?" Citra bertanya saat putranya itu melintasi dirinya tanpa menyapa.
"Hemm..." sahut Sai malas. Wajah pria itu di tekuk, satu tangannya asik sibuk mengendorkan dasinya yang berwarna merah maron. Lalu di susul kemejanya yang ia gulung hingga ke atas.
"Mama bertanya loh Sai," geram Citra. Bukan menjawab seperti yang ia inginkan, Sai hanya berdehem seolah wanita yang bertanya tadi adalah orang lain.
"Dan Sai, punya hak untuk tidak menjawabnya." Sai menghela napasnya, detik setelahnya pria itu menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.
"Lantas, kenapa? Kamu tidak mau mejawab pertanyaan mama? Mama punya hak. Karena mama adalah mama kamu!"
"Ma," Sai memijat pelipis alisnya, masalah Ino dan Tara-Tara itu belum juga selesai. Sekarang? Mamanya ikut-ikutan membuat masalah.
"Sai capek." lanjut Sai, wajahnya memelas.
Menatap Citra dengan tatapan teduh. Hati dan pikirannya saat ini sedang di landa dilema.
Citra memejamkan matanya sejenak, jengkel iya. Marah juga iya. Setelah menikah dengan Ino wanita sialan! Pelakor atau wanita sejenis pelacur, ah entahlah sebutan untuk menantunya itu benar-benar sangat ekstrim. Dan menurutnya sudah tepat dan pas jika sebutan itu ia lakukan untuk menantunya.
"Baiklah. Mama gak akan tanya-tanya, tapi," Citra ikut duduk di samping putranya.
Tangan Citra sengaja bergerak mengambil beberapa photo gadis cantik anak dari temannya. Untuk di kenalkan oleh Sai putranya.
Menunjukan photo-photo di tangannya, Citra berkata.
"Liat deh Sai, perempuan ini sangat manis. Cocok untuk kamu yang ganteng," kata Citra dengan wajah sumringah.
Sai mendesah pelan.
Bahkan melirik photo yang di tunjukan oleh mamanya saja ia tidak mau. Lebih tepatnya tidak ingin dan gak mau tahu.
"Yang ini menurut kamu gimana?" Citra menunjukan photo wanita yang satu lagi. Penampilannya sangat modis di lihat dari lihainya wanita itu saat berphoto.
"Ma!" bentak Sai. Lama-lama dirinya muak dengan sikap mamanya yang terlalu mengikut capuri urusannya.
"Kamu bentak mama?! Kamu berani memarahi mama kamu?" Citra bangkit lalu menatap Sai dengan bengis.
"Bukan-"
"Bilang aja kamu udah benci sama mama!" potong Citra.
"Bilang aja kalau kamu gak sayang lagi sama mama!"
"Padahal ya Sai sebelum kamu menikah sama jalang murahan itu! Dulu kamu selalu nurut sama mama. Kamu gak pernah bentak mama. Gak perna marahi mama, tapi sekarang? Anak mama yang dulu nya penurut sekarang pembakang!" ucap Citra kecewa dengan putranya. Dan sekarang Sai menjadi merasa bersalah, tidak enak karena tidak sengaja membuat mamanya bersedih dan kecewa.
"Maaf ma, Sai tidak bermaksud-"
"Kalau kamu mau mama maafkan. Pilih salah satu dari mereka, lalu putuskan untuk menceraikan istri kamu itu. Cukup bermain-main Sai, mama tau kamu dan jalang itu. Tidak saling mencintai, bahkan sampai sekarang kalian belum melakukan hubungan suami istri yang sudah semestinya kalian lakukan setelah pernikahan."
Sai diam seribu bahasa. Sepasang matanya membulat dengan sempurna. Sesaat setelah melihat Ino berdiri di belakang mamanya. Dengan memasang wajah biasa saja.
Tidak marah dan tidak kesal?
Dan entah kenapa dengan dirinya? Kenapa Sai merasa kesal saat melihat ekspresi Ino yang biasa saja. Usai mendengar perkataan mamanya.
TbC.
Ummm... ada yang kangen sama cerita MENDADAK NIKAH?