Ino mencibirkan bibirnya, setelah meyelesaikan pekerjaannya. Bukan mendapatkan makanan yang layak. Gadis itu malah di suguhkan dengan makanan sisa bekas mertuanya.
Yang benar saja?
Meraung kesal, Ino mendorong makanan sisa itu dengan tangannya. Kini gadis itu berniat pergi meninggalkan rumah mertua dan juga Sai.
Bukannya mendapatkan perlakuan semestinya? Kini yang ada dirinya di perlakukan layaknya seorang pembantu oleh keluarga sendiri. Sungguh menyebalkan.
Bangkit. Ino berjalan cepat menuju kamarnya. Gadis itu ingin cepat-cepat pergi dari rumah yang memperlakukannya dengan sangat buruk.
10 menit kemudian, Ino turun ke bawah. Bersamaan dengan satu koper besar di tangan kanannya. Gadis itu berjalan cepat menuju pintu utama.
"Mau kemana kamu?!" tanya Citra sinis. Dalam hati wanita itu sedang bersorak senang.
"Pergi!" balas Ino sinis.
"Bagus lah..." kata Citra senang.
Mendengar itu Ino merasa sedih. Kepergiannya memang keputusan yang tepat saat ini. Karena faktanya tidak ada siapapun yang menginginkannya tetap tinggal di rumah ini.
Melihat menantunya pergi, wanita itu bersorak senang. Setelah ini wanita itu akan mengatur kembali pernikahan putranya dengan gadis pilihannya. Tentunya tidak seperti Ino gadis jorok yang doyan makan.
Tanpa gadis itu sadari kini dirinya sedang menangis.
Menangis karena tidak ada siapun yang memperdulikannya.
Bahkan Sai?
Juga tidak memperdulikannya.
Menangis Ino duduk di aspal depan rumah. Sekalian menunggu kendaraan datang.
"Semuanya jahat sama Ino..."
"Gak ada yang sayang sama Ino!"
"Semuanya buat Ino kecewa..."
"Pak Sai lagi?!"
"Aku benci pak Sai!"
Semua orang yang berlalu lalang melintasi Ino merasa kasihan. Apalagi tukang sayur keliling langganan Mama Sai.
"Neng sayur neng?" tanya tukang sayur bernama Jodi itu dengan nada lembut.
"Pak sayur! Juga nyebelin! Ya kali Ino di katain boneng?!" tangis Ino semakin jadi. Membuat Jodi ketakutan dan akhirnya melarikan diri.
Sementara di dalam mobil, Sai yang sedang mengendarai mobilnya dengan pelan itu Samar-samar, pria itu melihat Ino sedang duduk di aspal sambil menuduri koper besar berwarna hitam. Dengan air bening mengalir deras membasahi pipi gadis itu.
Sai yang posisinya tidak terlalu jauh dari jarak Ino pun sedikit ragu untuk menghampiri istrinya itu.
"Ino?" tanya Sai tidak percaya, perlahan kaca mobilnya itu turun ke bawah.
Mendengar suara Sai. Ino langsung bangkit, kemudian belari menjauhi Sai.
"Ino kamu mau kemana?!" teriak Sai ikut mengejar. Pria itu keluar dari mobilnya. Berlari untuk mengejar Ino.
"Ino jawab saya kamu mau kemana?" tanya Sai lagi. Langkahnya mencoba mengiringi langkah gadis di sampingnya.
"Dan kenapa kamu menangis?" tanya Sai lagi. Pria itu mulai khawatir.
"Ino!" Sai menarik lengan Ino. Membuat langkah Ino terhenti.
"Katakan kamu kenapa?" tanya Sai.
"Ino cepek pak! Dari tadi kerja cuma di kasih makanan bekas!"
"Asal bapak tau ya! Perut saya dari tadi bunyi pak, cacing-cacing di perut Ino pada demo minta makan," aduh Ino.
"Hah? Kerja?" tanya Sai tidak mengerti.
"Bukan mau ngaduh tapi mama kamu masak pagi-pagi siram aku pakai air terus di suruh ngepel sama lap kaca. Kalau gak katanya gak dapat jatah makan. Udah selesai semuanyakan pak bukannya dapat makanan yang enak, eh Ino malah di kasih makanan bekas..."
Mendengar itu mata Sai membulat. Teryata dugaannya benar. Mamanya akan bebuat hal sekotor ini untuk mengusir Ino dari rumahnya.
Padahal pernikahan mereka masih beberapa hari. Tapi mamanya sudah berniat untuk mengusir Ino.
Menarik lengan Ino, Sai berkata."Ayo ikut saya!" serunya.
"K-kemana?" tanya Ino gugup.
"Pulang!" ujarnya.
"G-gak ah! Ino takut nanti di bilang tukang aduh!" kata Ino. Sai memutar bola matanya malas.
"Gak akan! Percaya sama saya," tandas Sai meyakinkan Ino.
TBc