Menggeliat, pria yang masih di balut dengan piyama itu mengucek kedua matanya. Menoleh sambil membuka kedua matanya. Melihat tidak ada siapapun di sampingnya, membuat kening pria itu berkerut. Duduk bersilah di atas ranjang, tangannya mengacak poni rambut yang menjuntai menutupi setengah matanya."Ino!" panggil pria itu dengan nada lemah. Tidak ada jawaban, Sai menggaruk pelepis alisnya. Berpikir masih sepagi ini, tidak mungkin jika gadis pemalas seperti Ino itu bangun.
"Ino!" panggil Sai lagi nada suaranya meninggi. Seraya satu tangannya menyibakkan selimutnya ke samping.
Turun, Sai berjalan mencari keberadaan Ino yang sedari tadi mengabaikan panggilannya.
Mengechek, kamar mandi. Lagi kening Sai berkerut. Pria itu menyibakan poninya ke atas.
Dimana gadis itu? tanya Sai dalam hati.
Memutar tubuhnya ke arah pintu keluar, Sai melipat kedua tangannya ke atas dada. Sai kembali berjalan menuju ruang tamu. Mana tau ada Ino disana.
Perlahan, Sai berjalan menuruni tangga. Menyatuhkan kedua alisnya, Sai tersentak melihat lampu ruangan sudah menyalah. Sepagi ini?
"Ino!" panggil Sai sambil menyusuri ruang tamu.
"Yups pak Sai, pagi!" balas Ino, senyumnya melebar lalu satu tangannya melambai-lambai ke udara, sementara tangan yang lain memegang alat dapur.
Mulut Sai terbuka sedikit, pria itu terperanga tidak menyangka. Ino bangun sepagi ini untuk menyiapkannya sarapan.
"Kamu ngapain?" tanya Sai seraya mendekati Ino yang tengah menyusun nasi goreng yang selesai gadis itu masak di atas meja.
"Lagi berenang pak," kata Ino bercanda. Sai menggeleng.
"Saya tanya serius kamu-"
"Pertanyaan bapak juga aneh, sudah tau saya lagi masak. Eh malah di tanya..." Ino menggelengkan kepalanya dua kali.
Sai menggulum bibir bawahnya.
"Yaudah pak Sai silahkan duduk," ujar Ino mempersilahkan.
Sai menyerengit, lalu mulai mencibir."Saya bukan orang jorok macam kamu! Sebelum sarapan saya itu harus mandi dulu. Lagain saya tidak percaya jika makanan itu enak..." cibir Sai.
Ino mendisis sebal.
"Kalau memang gak mau ya udah sih! Lagian ya saya masak untuk saya dan-"
Ucapan Ino tergantung saat melihat Belich dan Citra sedang berjalan ke arahnya.
"Ada apa sih pagi-pagi udah ribut?" tanya Citra yang masih menggunakan baju tidurnya.
Belich hanya diam, sambil memperhatikan Ino yang sedang kepanikan.
"P-pagi om, ta-"
"Pasti kamu ya gadis sialan! Gak habis- habisnya buat masalah di rumah saya..." sela Citra menuduh Ino adalah biangmasalah. Tidurnya menjadi terganggu karena mendengar suara ribut-ribut yang di sebabkan oleh Ino dan putranya.
"M-maaf tante, om Ino-"
"Maaf kamu! Gak berlaku dirumah ini tau gak?!" sembur Citra. Paginya di awali dengan marah.
Melihat Mamanya memarahi Ino membuat Sai tidak suka lalu balik memarahi mamanya.
"Ma! Tolong. Yang buat keributan bukan Ino tapi Sai!" jelas Sai. Citra menggembungkan kedua pipinya.
"Sai! Jaga bicara kamu!" cetus Belich memerintah.
"Dia mama kamu!" lanjutnya.
Ino berjalan mendekati Sai, ketika melihat kedua tangan Sai yang terkepal menadakan kalau pria itu sedang marah.
Memeluk lengan Sai, Ino berbisik.
"Pak Sai, sudah ya? Gak baik berantem sama orangtua sendiri..." bisik Ino. Sai mengernyitkan keningnya. Melirik Ino yang menatapnya dengan kedua bola mata gadis itu bersinar-sinar.
Sai mencoba mengatur amarahnya dan perlahan tangan yang tadinya terkepal kini kembali ke dalam bentuk semula. Tersenyum Ino mengelus punggung Sai dua kali.
"Terima kasih," bisik Ino lagi. Lalu tatapannya kembali menatap Citra dan Belich.
"Maafkan saya om, tante. Lain kali Ino tidak akan membuat keributan yang akan-"
Belum lagi Ino menyelesaikan perkataannya, akan tetapi Citra dan Belich malah pergi meninggalkannya dan juga Sai. Melihat itu wajah Ino berubah menjadi murung.
"Hei," panggil Sai.
Menerjapkan kedua matanya. Ino kembali tersenyum lalu menatap Sai.
"Saya minta maaf," ucap Ino dan Sai bersamaan.
Mendengar itu Ino maupun Sai, keduanya tertawa.
"haha..." tawa Ino dan Sai.
"Terimah kasih," sela Sai sambil menatap wajah Ino dari samping.
"Untuk apa?" tanya Ino.
"Segalanya..." ujar Sai. Ino menyatuhkan kedua alisnya.
"Segalanya?" Ino bertanya, entah kenapa Ino sangat lemot dalam hal berpikir.
"Karena kamu mau menikah dengan saya," jelas Sai. Ino tersenyum.
"Gimana ya pak, saat itu bapak memohon sama saya jadi-"
Lagi ucapan Ino terpotong saat tangan besar membungkam mulutnya.
"Jangan bahas itu!" tegas Sai. Dalam hati Ino tertawa. Saat melihat ekspresi Sai sekarang.
TbC.