Ep|54

1.8K 109 1
                                    

Mencekal tangan suaminya, Meysa menggeleng sekali. Kepalanya miring kesamping. Menatap dengan tatapan memohon agar suaminya itu tidak mengganggu Sai dan Ino sedang berada di kamar.

"Mas Hardan," lirih Meysa memanggil.

"Jangan halangi aku Mey!" kata Hardan menegaskan.

"Mereka sudah menikah, apa salah jika tidur seranjang?" tutur Meysa agar suaminya mau mengerti. Haram hukumnya jika sudah menikah tapi tidur tidak seranjang.

"Gak. Tapi aku gak mau mereka tidur satu ranjang!" balas Hardan dengan tatapan sinis.

"Mas," panggil Meysa lagi dengan suara lelah.

"Cukup Mey. lebih baik kamu urus Haikal!" sela Hardan memerintah.

"Terserah mas lah. Aku capek ngomongi mas yang keras kepala!" tandas Meysa cepek sendiri.

Dan akhirnya Meysa pun pergi meninggalkan suaminya. Yang berdiri di depan pintu kamar adik iparnya.

Menarik napasnya dalam-dalam. Hardan mendongakkan kepalanya, saat tangan kanannya sudah memutar handle pintu yang sudah terkunci dari dalam.

Memasang ekspresi kesal. Hardan reflek langsung menggedor pintu kamar Ino, pelan.

"Ino buka pintunya!" kata Hardan dari luar kamar. Berteriak agar orang yang ada di kamar mau keluar.

Ceklek!

Bunyi suara pintu terbuka. Membuat Hardan berhenti mengetuk pintu, Disana dia di sambut dengan wajah masam Ino yang terlihat tidak suka jika dirinya datang.

"Sai mana?" tanya Hardan, matanya sibuk mencari sosok pria yang berada di dalam kamar adiknya.

"Kakak ada perluh apa?" tanya Ino sinis.

Masuk tanpa permisi. Hardan melirik tajam Sai yang sedang duduk sambil bermain laptop.

"Kakak ipar?" sentak Sai. Lalu menyikirkan laptop di pahanya ke sisi ranjang.

Bangkit, kemudian berjalan mendekati Hardan yang melemparnya dengan tatapan sinis.

"Kakak kok main masuk-masuk aja sih?" tanya Ino sambil menyentuh lengan Hardan.

"Kakak gak perluh izin kamu untuk masuk," cetus Hardan ketus.

Tatapan matanya masih menuju ke arah Sai.

"Keluar kamu!" printah Hardan.

"S-saya?" ragu Sai bertanya. Kening pria itu berkerut. Terkejut, tentu saja.

Mengangguk sekali, Hardan menyeringai malas.

"Iya kamu! Keluar dari kamar adik saya."

"Kakak!" pekik Ino marah.

Lalu gadis itu berdiri di tengah-tengah Sai dan Hardan.

"Menyingkir Ino. Jangan buat kakak marah," ucap Hardan sambil menatap Ino di depannya.

"Gak! Kalau Sai pergi. Ino juga akan pergi dari rumah ini!" balas Ino dengan suara lantang.

"Kakak cuma ngusir dia dari kamar kamu. Bukan dari rumah ini, atau kehidupan kamu." tutur Hardan menjelaskan.

"L-lalu?" tanya Ino tidak mengerti.

"Kakak cuma gak mau. Kamu satu ranjang dengan pria itu, hem..." jelas Hardan. Membuat keduanya tersentak hingga terdiam untuk beberapa saat.

"Kak, Sai itu suami ak-"

Menepis tubuh Ino, lalu berdiri di depannya. Sai tersenyum miring.

"Maaf sebelumnya, mungkin perkataan saya ini akan menyinggung perasaan kakak ipar. Tapi saya juga tidak salah jika harus sampai berkata seperti ini," kata Sai, pria itu sedang menahan emosinya.

"Cih!" berdicih Hardan memalingkan wajah.

"Pertama Ino adalah istri saya. Karena menghormari anda sebagai kakak dari istri saya." Sai berjalan mendekati Hardan.

"Saya biarkan Ino tinggal disini. Karena saya akui itu juga karena perbuatan saya, sebelumnya."

"Saya salah. Dan saya sudah meminta maaf, bahkan tuhan akan memaafkan saya. Jika saya bersungguh-sungguh,"

"Bersungguh-sungguh? Kamu sadar gak? Jika perbuatan kamu telah menyakiti adik saya berulang kali." kembali menatap Sai, sepasang manik Hardan membulat dengan sempurna.

"Dan ingat satu hal, saya bukan tuhan. Yang akan memaafkan kamu dengan mudahnya!" sambung Harda.

"Jika masih mau berada di dalam kehidupan adik saya. Tidak baik jika kamu menentang perkataan saya."

"Dalam 15 menit jika kamu tidak keluar dari kamar adik saya," ucap Hardan sambil menjentikan jarinya.

"Saya gak akan segan-segan usir kamu dari rumah. Bodoh amat sama penjara!" cetus Hardan lalu hendak beranjak pergi.

"Kak, Ino kecewa sama kakak..." sela Ino dengan nada sedih.

Berhenti melangkah. Hardan memejamkan matanya, Ino maupun istrinya sama sekali tidak mengerti dengan dirinya. Semua yang dia lakukan juga demi kebaikan siapa? Ino juga.

"Apapun yang kakak lakukan, semuanya demi kebaikan kamu. Hari ini kamu boleh kecewa sama kakak, tapi besok. Kamu pasti akan berterima kasih sama kakak." kembali membuka matanya. Dengan helaan napas Hardan melanjutkan langkahnya. Pria itu pergi begitu saja. Setelah mengancam, tidak ada rasa bersalah sedikit pun yang terpancar di wajah Hardan.

"Kakak jahat hiks..." tangis Ino. Detik berikutnya beralih menatao Sai kemudian memeluknya.

"Sai," lirih Ino sedih.

Membalas pelukan Ino. Sai memejamkan matanya.

"Tidak apa, bukannya kita masih bisa saling bertemu." ujar Sai, lalu meninggalkan kecupan singkat di kening Ino.

"Tapi, Ino gak mau Sai jauh-jauh dari Ino!" ucap Ino.

"Ini hanya untuk beberapa hari saja, dalam waktu seminggu aku janji. Akan luluhkan hati kakak kamu,"

"Maafkan Ino, karena Ino sekali lagi gak bisa di andalkan jadi istri kamu." kilah Ino merasa kecewa dengan dirinya sendiri.

"Jangan berkata seperti itu hemm... ini semua demi kita." sela Sai. Dia semakin mengeratkan pelukannya.

"Jadi kita harus berjuang bersama, aku yakin suatu hari nanti kakak kamu bakal menyadari ketulusanku dari cinta kita ini."  lanjut Sai yang di angguki Ino.

TbC.

Pagi🙈

Gimana kabar kalian selama karantina?

Baik kan :)

Habis baca jangan lupa tinggalkan  vote dan koment semangat dari kalian.

Mendadak Nikah! [Tamat✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang