Manusia memang mahluk yang pantang menyerah. Ketika ia kehilangan satu harapannya, maka ia akan membuat harapan yang baru. Meskipun ia tahu, akhir dari harapannya sama dengan yang sebelumnya, hanya menimbulkan rasa sakit.
*****
"Mereka siapa kak?" tanya Dira takut saat melihat beberapa pengendara motor mengejar mereka berdua. Saat itu Dira dan Dino sedang berjalan-jalan menggunakan motor, tiba-tiba mereka dikejar oleh beberapa pengendara motor lain yang Dira tidak kenal.
"Mereka musuh Kakak, Ra. Kamu nggak usah takut. Kakak bakal ngelindungin kamu." ucap Dino menenangkan. Pemuda itu menaikkan laju motornya. Menjadi ketua geng sekolah yang terkenal dimana-mana, membuatnya selalu diincar. Mungkin para musuhnya tak terima akan kekalahan mereka saat tawuran beberapa saat lalu. Sebenarnya ia bisa melawan mereka seorang diri, namun ia takut terjadi sesuatu pada sang adik. Ia takut mereka akan mencelakai adik kesayangannya itu.
"Kak mereka semakin deket." ujar Dira panik sambil memukul-mukul bahu kakaknya.
Dino yang juga diserang rasa panik, sudah tak fokus pada jalanan didepannya. Pemuda itu beberapa kali melirik melalui spion untuk memastikan mereka berada pada jarak yang aman. Namun pemuda itu dikejutkan dengan teriakan nyaring Dira.
"Kak awas!"
Begitu Dino menoleh, pemuda itu tak bisa meghindar lagi. Sebuah truk besar menabraknya membuat Dira terpelanting dipinggir jalan, sedangkan dirinya sendiri masuk pada kolong truk yang sebelumnya juga kepala Dino terantuk aspal cukup keras. Darah segar mulai mengalir dari kepala pemuda itu. Dino mengerang kesakitan sebelum semuanya gelap total dan ia kehilangan nyawanya. Semua pemandangan itu tak luput dari penglihatan Dira. Gadis kecil itu tak bisa berbuat apa-apa. Dirinya juga sudah terluka parah. Matanya berkedip lemah. Prihal kematian sudah melintas diotaknya. Merasakan sakit yang teramat sangat, membuatnya tak yakin ia akan selamat. Air matanya mengalir sebelum kesadarannya benar-benar hilang.
"Kak Dino!" Dira terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah. Gadis itu menangis tanpa suara. Mimpi itu lagi. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya yang bergetar hebat. Kenangan tragis itu lagi-lagi menghantuinya. Rasa kehilangan, bersalah, dan menyesal, selalu muncul disaat-saat seperti ini.
Dadanya terasa sesak, seperti ada batu ribuan ton yang memberatkan disetiap tarikan nafasnya. Ingin rasanya gadis itu hilang ingatan. Bukan, bukan ia ingin melupakan Kakaknya, Dira ingin menghilangkan kenangan itu barang sejenak. Karena jujur, kenangan itu menyiksanya. Meninggalkan trauma berkepanjangan kepada Dira.
Dira menoleh saat mendengar pintu kamar terbuka. Munculah Dinda dengan segelas air putih ditangannya.
"Mimpi itu lagi?" tanya Dinda yang sudah hafal dengan kebiasaan Dira. Ia menyerahkan air putih ditangannya yang langsung diterima gadis itu.
Dira mengangguk. Bibirnya terlalu kelu untuk menjawab pertanyaan Dinda.
Dinda memeluk tubuh sepupunya itu. Matanya juga sudah berkaca-kaca. Dinda bisa merasakan apa yang Dira rasakan. Ia juga merasa kehilangan. Tak ada kata yang terucap, tapi setidaknya itu bisa sedikit menenangkan Dira.
"Mama udah tau soal ini?" tanya Dira setelah Dinda melepas pelukannya.
Dinda mengangguk, disekanya air mata yang tadi sempat keluar. "Semalem gue ngasih tau dia. Terhitung udah empat kalian tante Maya bolak-balik nengokin lo, tapi lo nya masih tidur."
Ada rasa hangat yang menjalar dihatinya saat mendengar penjelasan Dinda. Perlahan, sikap Ibunya kembali seperti dulu. Meskipun beliau belum sepenuhnya ada waktu untuknya karena kesibukan kerjaan, namun masih ada perhatian yang terselip diantaranya. Perlahan, perasaanya menjadi tenang, ia tak setakut tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE BOYFRIEND [Completed]
Teen FictionHanya karena sebuah taruhan, Dira harus terjebak dengan tiga permintaan Arga. Dan salah satu permintaannya sungguh tidak masuk akal. Arga memintanya untuk menjadi pacar palsunya. Sungguh diluar dugaan Dira. Karena yang ia tahu, Arga memiliki sifat y...