46. Persahabatan yang tulus

292 22 3
                                    

Sahabat itu layaknya cermin. Saat kita menangis, ia juga ikut menangis. Ia akan siap menjadi tameng untuk menutupi kejatuhan kita. Telinganya selalu siap untuk mendengarkan setiap keluh kesah. Namun ingat, ketika cermin itu hancur, ia tak akan kembali seperti semula. Jangan menghancurkan persahabatan hanya karena ego belaka.

*****

Selama perjalanan, hanya ada keheningan diantara mereka. Arga mengendarai motornya sangat pelan, membuat suasana canggung makin terasa. Sesekali, baik Arga maupun Dira, saling melirik satu sama lain dari balik kaca sepion. Dan ketika kepergok, mereka akan sama-sama membuang muka.

Banyak opini yang bersarang di kepala mereka. Seperti apakah Arga masih marah padanya? Begitu sebaliknya. Tak ada yang berniat membuka suara sekedar mengklasifikasi. Mereka memilih diam, karena mengira masing-masing dari mereka masih menyimpan amarah.

Tak lama, motor yang dikendarai Arga berhenti tak jauh dari gerbang sekolah. Mata Dira membulat sempurna saat melihat pak Broto dan bu Puspa—guru killer di SMA Pancasila—sedang ada di depan gerbang. Gadis itu turun dari motor Arga dan bergerak gelisah.

"Ih gimana? Masa mau pulang lagi." gerutu Dira pada dirinya sendiri dengan suara yang lumayan keras. Sengaja, karena sebenarnya gadis itu tengah mengkode pada Arga, agar pemuda itu ikut mencari solusinya.

Arga terdiam sebentar. Ia lalu menuntun motornya mendekati sebuah warung yang tak jauh dari sekolah. Warung itu sering di gunakan sebagai tempat nongkrong siswa SMA Pancasila saat pulang atau saat bolos sekolah. Disana mereka bebas merokok tanpa ketahuan. Setelah menitipkan motornya, Arga berbalik dan mendapati Dira yang masih berdiri di tempat tadi. Arga menghela nafas, ia lalu berderap mendekati gadis itu.

"Ayo."

Dira menoleh saat mendengar suara Arga. Ia melihat Arga yang sudah berbalik dan mulai berjalan memunggunginya. Dengan ragu, Dira mengikuti Arga.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat melihat punggung tegap Arga yang berjalan di depannya. Sikap Arga di depan Ibunya tadi ternyata hanya pencitraan. Pemuda itu masih marah, pikir Dira. Melihat bagaimana Arga berjalan duluan tanpa menunggunya, membuat opini Dira semakin kuat.

Sedang Arga harus menahan diri untuk tidak menggenggam tangan mungil Dira. Pemuda itu takut jika ia nekat menggenggam tangan Dira, ia malah akan semakin di jauhi. Gadis itu sepertinya masih marah. Terbukti dari kepribadian Dira yang biasanya cerewet, kini diam seribu bahasa. Melihat bagaimana gadis itu tak ingin berjalan di sampingnya, membuat Arga uring-uringan. Pemuda itu sudah coba melambatkan langkahnya agar Dira mau mensejajarkan langkahnya, namun yang terjadi justru gadis itu ikut melambatkan langkahnya.

Ternyata Arga membawa Dira ke belakang sekolah. Pemuda itu mengambil tangga yang ada di dekat tembok kemudian menyandarkannya di tembok pagar itu. Arga mengedikkan dagunya kearah tangga, bermaksud menyuruh gadis itu untuk cepat naik.

Dira menatap Arga ragu. Ini kali pertama ia mencoba menerobos masuk saat terlambat. Gadis itu menelan salivanya susah payah saat melihat tembok yang tingginya sekitar dua meter itu.

Melihat kegelisahan Dira, membuat Arga menghela nafas. Ia tahu gadis itu takut.

"Gue pegangin tangganya. Di balik sini juga udah ada kursi yang bisa jadi pijakan lo saat turun." terang Arga dengan suara datar seperti biasa. Padahal ia tengah menahan gemas melihat wajah takut Dira.

"Kok bisa ada kursi di dalem?" tanya Dira canggung. Namun ia bingung siapa yang sudah mempersiapkan semua ini.

"Di balik tembok ini gudang sekolah. Biasanya mereka yang mau bolos lewat sini makanya ada kursi sama tangga ini yang dijadiin persiapan mereka kalo mau lompat pagar. Cepet, keburu ketahuan."

FAKE BOYFRIEND [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang