Ketika kebenaran mulai terungkap, maka hati harus siap untuk menerima semuanya. Karena kadang, realita tak sesuai dengan ekspektasi.
*****
Langkah Dira berhenti diambang pintu. Mulutnya yang sudah terbuka untuk mengucap salam, kini terkatup kembali. Matanya memandang lurus seseorang yang tengah duduk di salah satu sofa rumah Arga.
Raja yang mengantar Dira, ikut menghentikan langkahnya. Ia menatap Dira dan seseorang itu bergantian dengan kening berkerut.
"Dinda?"
Seseorang yang merasa namanya dipanggil itu menoleh, ia terkejut melihat kehadiran Dira dan Raja. Gadis itu segera berdiri dan ingin menghampiri mereka, namun Dira dan Raja sudah melangkah masuk lebih dulu.
"Lo ngapain disini? Arganya mana?" tanya Dira berusaha biasa saja. Padahal hatinya panas seperti terbakar. Rasa senangnya karena menanti kelanjutan ucapan Arga saat di lapangan tadi menguap begitu saja, dan digantikan rasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sepupunya itu sudah tahu dimana rumah Arga, berbeda dengan dirinya. Gemuruh kesal dihatinya bertambah saat membayangkan bahwa Dinda datang kerumah ini bersama Arga. Pantas saja tadi Arga buru-buru, pikirnya.
"Gue....." Dinda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa.
Jengah menunggu Dinda yang menggantungkan ucapannya, membuat Dira memutar bola matanya malas.
Tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak diatas meja. Kelopak matanya membesar. Ia berderap mendekati benda itu dan mengambilnya.
Sebuah binder dengan sampul bergambar kartun Dora. Dengan tangan yang bergetar, ia membuka binder itu, membaca tulisan di lembar pertama. Matanya memanas, hatinya bergemuruh hebat. Diedarkan pandangannya, menatap beberapa foto yang tergantung di dinding rumah itu, yang kebanyakan foto keluarga, Arga, Rara, Ibu dan Ayahnya.
Hatinya mencelos saat melihat sebuah figura yang menampilkan foto seorang bocah laki-laki yang diapit kedua orang tuanya. Belum ada Rara. Lalu pandangan Dira bergeser pada foto yang menampilkan empat orang anak-anak yang sedang berpose, foto itu persis seperti foto yang ia pajang di nakas kamarnya.
Setitik air mata jatuh membasahi pipi gadis itu, tapi segera disekanya secara kasar. Dinda yang melihat itu tak mampu berkata apa-apa. Sedangkan Raja hanya menatap Dira bingung.
"Dira?"
Semua menoleh kearah Arga yang baru saja keluar dari sebuah kamar yang ada di dekat tangga. Ia juga sama terkejutnya seperti Dinda tadi.
Air mata Dira semakin berjatuhan saat melihat Arga. Ia berderap mendekati Arga dengan sebuah binder bersampul kartun Dora di tangannya, benda yang ia temukan diatas meja tadi.
"Maksud lo apa?" tanya Dira dengan suara bergetar, ia menyodorkan binder itu pada Arga. Arga yang tidak siap menerimanya, membuat binder itu terjatuh di dekat kakinya. Pemuda itu menunduk dan mengambilnya.
"Kenapa dari awal lo nggak ngomong kalo lo itu Ken?" tanya Dira lagi, menuntut penjelasan. Jujur, Dira kecewa. Ia merasa dibohongi, dan tak dianggap. Orang yang selama ini dicarinya, ternyata ada didekatnya, dan berstatus sebagai pacarnya, meskipun hanya pura-pura.
Tangan Arga terulur untuk menyeka air mata dipipi Dira, namun segera ditepis oleh gadis itu. "Lo mau mainin perasaan gue?"
"Enggak, Ra."
Tangis Dira semakin hebat. Rindu, kecewa, kesal bercampur menjadi satu menciptakan kesesakan didadanya.
Dinda mendekat, ia mengelus lengan Dira, bermaksud meredakan tangis sepupunya. Tapi justru membuatnya mendapat tatapan tajam dari sepupunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE BOYFRIEND [Completed]
Teen FictionHanya karena sebuah taruhan, Dira harus terjebak dengan tiga permintaan Arga. Dan salah satu permintaannya sungguh tidak masuk akal. Arga memintanya untuk menjadi pacar palsunya. Sungguh diluar dugaan Dira. Karena yang ia tahu, Arga memiliki sifat y...