Konsekuensi dari mencintai secara diam-diam itu salah satunya tidak ada hak untuk cemburu saat dia dekat dengan yang lain, apalagi saat status hubungan belum jelas.
*****
Dira terserentak kaget saat merasakan jemarinya masuk dalam genggaman seseorang. Ia menoleh dan langsung disuguhi senyum manis Arga, walaupun hanya beberapa detik. Gadis itu mengangkat tangan mereka yang saling menggenggam dengan sebelah alis terangkat.
"Biar nggak jatoh."
"Hah?"
Arga meletakkan sebelah tangannya yang lain di kening Dira, mengecek suhu tubuh gadis itu. "Masih agak demam tuh."
Dengan cepat, Dira menyingkirkan tangan Arga dari keningnya sembari mendelik kesal. "Malu diliatin banyak orang."
Arga ikut mengedarkan pandangannya. Benar, disepanjang koridor ini, banyak pasang mata yang memperhatikan mereka.
"Biar dikira pacaran beneran." bisik Arga lirih.
Dira mendengus kesal. Gadis itu melepas genggaman Arga dan berjalan cepat menuju kelas. Ia kesal jika harus diingatkan tentang statusnya bersama Arga. Otaknya dengan cepat memutar ulang obrolannya dengan Dinda kemarin malam.
Sampai dikelas, Dira langsung meletakkan tas diatas mejanya. Ia lantas berderap menuju sudut ruangan untuk mengambil sapu. Hari ini memang jadwalnya untuk piket. Namun langkahnya terhenti saat Arga menghadangnya. Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya. Dira langsung paham tentang pertanyaan yang disampaikan secara tersirat itu.
"Mau piket." ujarnya ketus.
Arga mendengus. Jarang sekali Dira bersikap ketus padanya. "Gue aja yang gantiin lo piket. Lo kan masih sakit." ucapnya lembut.
Dira terdiam. Gadis itu menatap tak percaya kearah Arga. Sedangkan Arga yang gemas dengan ekspresi Dira, langsung mengacak pelan rambut gadis itu. Sederhana, namun mampu membuat detak jantung Dira menggila.
Akhirnya Dira dengan pasrah duduk diatas meja, supaya bisa mengawasi Arga juga. Arga sendiri mengambil sapu dan mulai menyapu.
Dira memperhatikannya dengan senyum tertahan. Hangat menjalar di hati. Raut serius pemuda itu membuatnya tak bisa memalingkan pandangannya.
Namun kebahagiaannya tak bertahan lama tak kala Dinda muncul. Raut wajah Dira berubah datar kembali.
"Loh, kok lo yang piket?" tanya Dinda sembari meletakkan tasnya diatas meja dan mulai mengambil sapu untuk menyapu, hari ini juga ia kebagian jatah piket.
"Gantiin Dira." jawab Arga sekenanya.
Dinda melempar senyum kearah Dira yang dibalas dengan senyum juga. Meskipun dalam hati mulai tak enak.
"Nyapunya yang bersih, Ar. Istri lo brewokan nanti." canda Dinda di sela-sela kegiatannya menyapu.
"Cewek kok brewokan, emang lo mau apa brewokan?" balas Arga di akhiri senyum tipis.
Rasanya Dira ingin sekali melempar benda di dekatnya ke arah pemuda itu. Gemas, tentu saja. Darahnya serasa mendidih. Ingin cemburu namun tak ada status yang pasti. Ditambah perlakuan Arga yang kadang membuat jantungnya berdetak tak normal, menyisakan kerisauan dalam diri Dira. Sebenarnya Arga itu suka dengan siapa?
Jika dulu Dira merasa spesial karena sikap Arga yang berbeda, kini tidak lagi. Arga memperlakukan Dinda sama dengan memperlakukannya. Seharusnya Arga menegaskan pilihannya. Bukannya bersikap seperti ini. Memberikan harapan pada dirinya dan Dinda. Ingin bertanya langsung rasanya tidak mungkin, yang ada pemuda itu akan besar kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE BOYFRIEND [Completed]
Teen FictionHanya karena sebuah taruhan, Dira harus terjebak dengan tiga permintaan Arga. Dan salah satu permintaannya sungguh tidak masuk akal. Arga memintanya untuk menjadi pacar palsunya. Sungguh diluar dugaan Dira. Karena yang ia tahu, Arga memiliki sifat y...