Ketika rindu mulai menyapa, bayangmu seakan hilang tak membekas. Dan hanya temu yang menjadi keinginanku.
*****
Dira menghela nafas gusar. Ditatapnya ponsel yang menampilkan roomchat-nya dengan Arga. Sama sekali tak ada pesan yang masuk dari Arga. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, pemuda itu seolah menghilang dari peradaban. Bahkan saat Dira pulang dari rumah sakit kemarin, Arga sama sekali tak menjemputnya.
Dira melempar ponselnya dengan sembarang. Ia lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju balkon kamar. Tubuhnya masih sedikit lemas. Ia berdiri di depan pembatas balkon. Matanya memejam, menghirup dalam-dalam udara pagi yang terasa menyejukkan. Gadis itu berusaha menyingkirkan pikirannya yang terus-terusan berputar soal Arga.
Dira kembali membuka matanya dan berbalik saat mendengar pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Setelah gadis itu menyahut, pintu kamar terbuka dan menampilkan Dinda yang sudah memakai seragam sekolah lengkap.
"Udah enakan?" tanya gadis itu sembari mengulas senyum hangat.
"Lumayan." jawab Dira, ia berderap memasuki kamar dan duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan Dinda yang berdiri.
"Kata tante, lo mau sarapan di bawah apa dikamar aja?"
Dira nampak berfikir. Tidak. Ia tidak memikirkan masalah sarapan. Ini soal Arga. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dan menyuarakan pertanyaannya dengan ragu-ragu. "Arga apa kabar, Din?"
"Arga? Baik kok. Kenapa memang?" tanya Dinda dengan kening berkerut.
Dira menggeleng, membuat Dinda memicingkan matanya curiga. "Lo lagi marahan ya sama dia? Beberapa hari ini gue nggak liat dia jengukin lo."
"Arga yang marah."
"Arga marah sama lo?" Dinda menatap tak percaya kearah Dira. Lo apain emang?"
Dira menghela nafas. Ia lalu menceritakan masalahnya sampai membuat Arga marah padanya. Mengatakan kembali apa yang dikatakan olehnya dan Arga saat dirumah sakit. Bagaimana pemuda itu membentaknya untuk pertama kali. Ia menyuarakan segala keresahan hati yang beberapa hari ini mengganggunya. Semua cerita mengalir begitu saja dari bibir mungilnya.
Dinda hanya diam. Ia menyimak setiap kata yang diucapkan gadis itu serta mimik wajahnya yang menampilkan raut bersalah.
Gadis itu ikut menghela nafas ketika Dira selesai bercerita. Kali ini Dira melontarkan tatapan sendu padanya.
"Pantes beberapa hari ini gue liat Arga lesu gitu." ujar Dinda.
"Hah?" Dira melongo tak percaya.
Dinda mengangguk, "Bukannya mau nyalahin lo ya, tapi menurut gue Arga bener. Lo boleh sedih, tapi jangan sampe mengabaikan orang-orang di sekitar lo. Semuanya cemas tau nggak sih sama lo. Lo nggak tau kan Arga sampe sakit setelah pulang dari pemakaman. Tapi pas dia denger lo di lariin kerumah sakit, dia langsung pergi jengukin lo. Dia nungguin lo, nggak peduli kalo dia juga lagi sakit. Lo tau kenapa Rara waktu itu ikut? Ya karena tante Vina nyuruh dia buat jagain Arga, takutnya ada apa-apa. Arga khawatir banget sama lo."
Kedua sudut bibir Dira melengkung ke bawah. Kaca-kaca bening mulai menumpuk di pelupuk matanya. Rasa bersalah kian mendominasi. Gadis itu tak tahu jika Arga jatuh sakit, dan itu pasti karenanya. Arga rela hujan-hujanan karena menemaninya. Dan lagi-lagi, pemuda itu menempatkannya pada posisi pertama, menomorsatukannya tanpa peduli kondisinya sendiri.
Dira teringat dengan tatapan kecewa yang dilontarkan Arga hari itu. Bagaimana tajamnya ucapan gadis itu yang sudah pasti melukai batinnya. Padahal saat itu Arga hanya menyuruhnya makan. Itupun demi kesembuhan Dira. Dira merasa bersalah. Sungguh. Jika waktu bisa diputar, mungkin Dira tak akan mengatakan itu pada Arga. Ia lebih memilih menuruti perintah pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE BOYFRIEND [Completed]
Novela JuvenilHanya karena sebuah taruhan, Dira harus terjebak dengan tiga permintaan Arga. Dan salah satu permintaannya sungguh tidak masuk akal. Arga memintanya untuk menjadi pacar palsunya. Sungguh diluar dugaan Dira. Karena yang ia tahu, Arga memiliki sifat y...