chapter 4

1K 88 3
                                    

Rupanya ini yang namanya jetlag, batin Alana. Waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi ketika matanya sudah terjaga. Mungkin terlalu cepat tidur tadi malam, pikirnya. Alana masih punya waktu satu minggu sebelum ia harus ke kampus untuk melakukan enrollment kelas, dan proses belajar mengajar akan dimulai satu minggu setelahnya. Papa Alana yang menyarankan untuk datang dua minggu lebih awal, supaya Alana punya waktu untuk mengenal lingkungan sekitarnya, membuat apartemennya nyaman ditinggali, sebelum disibukkan dengan kuliah nantinya.

Hari ini, untuk pertama kalinya ia akan mengunjungi kampus barunya. Alana sudah berjanji dengan Rendra, calon teman sekelasnya, untuk melihat-lihat kampus. Setelah itu, mereka akan bergabung bersama mahasiswa Indonesia yang lain untuk mengeksplor kota Leiden. Alana yang senang mengabadikan gambar lewat kameranya tentu sangat bersemangat dengan agenda hari ini. Setelah bercerita sejenak tentang rencananya di grup keluarga, Alana mencoba untuk kembali tidur.

***

Hal pertama yang selalu dilakukan Genta setelah bangun tidur adalah mengecek ponselnya. Ia lalu teringat dengan rencana beberapa orang anggota PPI Leiden yang hari ini akan mengajak para mahasiswa baru untuk mengeksplor kota Leiden. Sayangnya, hari ini Genta ada kelas mulai dari jam 10 pagi. Padahal ini kesempatan bagus untuk bisa mengenal Alana lebih jauh. Eh?

Sejujurnya, Genta sudah merasa tertarik sejak pertama kali melihat Alana muncul di Schiphol. Perempuan dengan rambut lurus berpotongan shaggy pendek memang selalu menjadi favoritnya. Entah kenapa menurut Genta, raambut pendek ini tidak membuat Alana menjadi terlihat boyish. Genta teringat perkataan Alana saat mereka sedang makan kapsalon kemarin siang, "Katanya potong rambut di sini mahal banget ya, Ta? Makanya ini sekalian aja gue pendekin, biar setahun nggak usah potong rambut," begitu katanya. Praktis sekali jalan pikiran Alana, batinnya.

Genta terlalu larut dalam pikirannya sampai tidak sadar kalau ia sudah harus segera bergegas. Dengan cepat Genta memasukkan laptopnya ke dalam ransel, memakai sepatunya dan menuju parkiran sepeda di lantai dasar apartemennya.

Gedung fakultasnya yang disebut Snellius Gebouw terletak kurang lebih tiga puluh menit jika berjalan kaki dari stasiun Leiden Centraal. Itulah kenapa Genta memilih menggunakan sepeda, yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk sampai di sana.

Enam bulan pertamanya di Belanda, Genta sebenarnya mendapatkan housing di Leiden, yang berjarak hanya 10 menit naik sepeda dari kampusnya. Namun, setelah ia mengetahui besarnya kamar di student housing yang ada di Den Haag, dan banyak pilihan makanan Indonesia di sini, Genta memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak apartemennya di Leiden setelah 6 bulan. Ia lalu mendaftarkan diri untuk mendapatkan apartemen di gedung Enthovenplein ini, sampai sekarang.

***

Alana tiba di stasiun Leiden Centraal sekitar pukul sembilan pagi. Ternyata Rendra sudah menunggunya di pintu keluar belakang stasiun, yang tidak jauh jaraknya dengan gedung fakultas mereka.

"Udah dari tadi, Ndra? Sorry ya...," ujar Alana setelah menghampiri Rendra

"Aman, La..., yuk?" ajak Rendra kemudian.

Alana dan Rendra lalu menyeberang di zebra cross, melewati taman-taman kecil, gedung apartemen yang sepertinya ditempati para dosen, baru kemudian menaiki tangga di sisi gedung tinggi berwarna kuning yang dikenal dengan sebutan Pieter de la Court Gebouw atau gedung PDLC, pusat kegiatan fakultas sains behavioral dan sosial. Tidak hanya mahasiswa psikologi yang belajar di sini, tetapi juga mereka yang mengambil spesialisasi ilmu politik. Gedung ini tidak terlalu besar, hanya terdiri dari lima lantai, dengan banyak sekali jendela yang besar-besar, dan terlihat beberapa pemanas ruangan menempel di dinding.

"Kita tuh ada kuliah umum Psikologi kan ya, Ndra? Perkenalan gitu...,"

"Oh iya, ada, La, minggu depan kan itu kalau nggak salah sebelum daftar kelas...," jawab Rendra sambil memandang berkeliling, "seru ya kayaknya belajar di sini...,"

Alana mengangguk lalu tersenyum. Ia sudah tidak sabar untuk mulai belajar, walaupun sebenarnya takut kalau bahasa akan menjadi kendala terbesarnya.

"Eh... Agni whatsapp di grup nih, katanya udah lumayan rame di stasiun, yuk kita ke sana...,"

***

Agni sudah bersama dengan Kinan, Raka, Karen dan beberapa orang lainnya saat Rendra dan Alana tiba di pintu depan stasiun Leiden Centraal. Alana memandang sekeliling mencari keberadaan seseorang. Rendra yang menyadari gerak-gerik Alana setengah berbisik, "Cari siapa, La?"

"Eh... enggak kok... liat-liat aja ada toko apa aja di sini...," ucap Alana berbohong. Entah kenapa matanya berharap menemukan Genta, tetapi sepertinya ia tidak ada kali ini. Mungkin ada kelas lagi, batin Alana.

Alana dan rombongan lalu berkeliling kota Leiden mulai dari melewati Museum Volkenkunde. Museum ini berisi tentang kebudayaan dari berbagai benua, dan memiliki koleksi dari Indonesia yang tergolong lengkap. Hubungan antara Indonesia semakin terasa eratnya ketika mereka sampai di Academiegebouw atau gedung rektorat. Di dalamnya terdapat patung Husein Djajadiningrat yang merupakan orang Indonesia pertama yang meraih gelar S3 di Universitas Leiden. Belum lagi, Leiden juga tempat berdirinya Perhimpunan Indonesia yang menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI yang saat ini terdapat hampir di semua negara di dunia. Keterikatan sejarah ini jugalah yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa Indonesia seperti Alana dan teman-temannya, bisa berkuliah di Universitas Leiden. Alana jelas tidak bisa diam dan sibuk dengan kameranya, mengabadikan setiap sudut kota yang akan menjadi tempat belajarnya satu tahun ini.

"Di Belanda jangan terlalu berharap akan ketemu salju tebal ya, teman-teman, cuacanya suka PHP di sini. Hujan salju tapi begitu sampai ke tanah, saljunya langsung cair," ujar Karen ketika rombongan sudah sampai di De Burcht. Sebuah benteng yang menjadi pertahanan Belanda ketika masih menjadi jajahan Spanyol. Benteng ini berbentuk lingkaran dan terletak tinggi di atas bukit.

"Wah, tempatnya enak nih buat ngegalau...," komentar Raka tiba-tiba saat mereka sedang mengelilingi benteng dari atas.

Yang lain sontak tertawa, "Tapi boleh juga diagendakan piknik di sini kalau lagi summer...," usul Agni yang disetujui keempat temannya.

Saat sedang menuruni anak tangga, Alana menangkap sosok yang dicarinya sejak tadi, mengobrol bersama Karen di bawahnya.

Genta yang menyadari keberadaan Alana, tersenyum ke arahnya. Karen refleks memutar tubuhnya mengikuti arah pandangan Genta.

"Gimana, La?" tanya Karen pada Alana.

"Cantik ya Leiden dari atas sini..., tapi dingiiin banget...," ujar Alana sambil memasukkan tangannya yang sudah bersarung ke dalam kantong jaket.

"Anginnya yang bikin dingin ya..., boleh liat kameranya nggak?" tanya Genta.

"Oh boleh, dong, nih, masih pemula sih... lo suka fotografi juga?" ucap Alana sambil menyerahkan Canon 600D-nya. Mereka lalu larut dalam diskusi tentang fotografi tanpa menyadari ada seseorang yang memperhatikan dari atas benteng.

***

De Burcht adalah perhentian terakhir rombongan Karen dan teman-teman.

"Hari ini sampai sini dulu yaa, nanti kalau ada acara PPI, kalian ikutan ya...," ujar Karen, "kita pisah di sini, ya..., La, lo...-"

"Alana sama gue aja, gue udah mau pulang juga kok...," ucap Genta sebelum Karen menyelesaikan kalimatnya. Alana refleks menoleh menatap Genta. Karen mengangguk mengerti. Sementara Rendra melihat Alana dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"See you around guys...," mereka pun berpencar ke berbagai arah menuju tujuannya masing-masing.

"La, laper nggak?" tanya Genta saat mereka sedang dalam perjalanan menuju stasiun. Genta memilih untuk menuntun sepedanya dan menemani Alana berjalan kaki.

"Lumayan sih, karena dingin kali ya jadi laperan...,"

"Mau gue kasih tau ayam goreng enak di Leiden nggak? Kalau di Den Haag kan ada KFC, kalau di sini yaaa kw-nya lah...," tawar Genta sambil terkekeh.

Alana meninggikan alisnya dan tertawa, "KFC kw? Kayaknya menarik...,"

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang