Alana tidak menyangka begini rasanya suhu di bawah sepuluh derajat. Badannya yang terbilang kurus tenggelam di balik 4 lapis baju yang ia kenakan mulai dari warmer, kemeja flanel, sweater, dan jaket bulu angsa yang membuatnya seperti balon. Ia terkagum-kagum melihat Schiphol Airport yang sudah cukup ramai pagi ini. Padahal di luar masih gelap gulita. Di musim dingin, matahari akan terbit lebih siang dari biasanya. Jadi, walaupun sudah mendekati jam 7 pagi, masih terasa seperti subuh di Indonesia.
"Ndra, La, itu kampus kalian nanti yang warna kuning... kami turun di sini ya...," ucap Karen sambil menunjuk ke luar jendela, "see you guys at Leiden soon ya...,"
Karen bersama rombongan turun di stasiun Leiden Centraal lalu melambaikan tangan ke arah Alana dan Genta yang masih harus melanjutkan perjalanan ke Den Haag. Alana merapatkan tubuhnya ketika pintu menutup kembali. Hawa dingin dari luar menusuk ke tulangnya.
"Kedinginan ya, La? Baru hari pertama... badan lo nanti cepet adjusting kok...," ujar Genta sambil tersenyum, "sebenernya keuntungannya anak-anak yang masuk bulan Februari kayak lo ini, udah ditempa sama cuaca dari awal, jadi ketika nanti transisi dari autumn ke winter nggak akan terlalu kaget...,"
Alana mengangguk-angguk paham, "Ternyata sedingin ini ya...," tanpa sadar suara Alana bergetar saking dinginnya.
Sepuluh menit kemudian mereka tiba di stasiun Den Haag HS atau kepanjangan dari Den Haag Holland Spoor. Genta dengan sigap membantu Alana menurunkan koper 30 kilogramnya. Mereka lalu berjalan menuju lift untuk turun.
"Karena lagi bawa koper gede gini dan harus lewat lift, kita jalannya akan agak muter lewat depan ya, La... tapi sebenernya kalau dari apartemen nanti, deket kok ada tangganya di samping...," terang Genta sambil melakukan tap kartu di gate keluar stasiun. Alana dengan susah payah mengikuti langkah Genta karena ternyata angin bertiup cukup kencang membuat suhu udara menjadi semakin dingin. Berbeda dengan Leiden Centraal yang terkesan sangat modern dengan bangunan berwarna silver dari baja ringan, Den Haag HS terkesan lebih old school dengan bangunan bata merah dan tembok batu khas Belanda.
"Nah, ini tangganya, La..., cuma lo harus pastikan tujuannya ke mana ya..., ini mesin OV untuk top up kartu lo... karena lo kuliahnya di Leiden dan akan bolak balik naik kereta, gue saranin apply abonemen aja, ada paket yang kasih gratisan naik kereta ke mana aja di Belanda selama weekend, nama paketnya weekend vrij," celoteh Genta ketika mereka melewati terowongan dan menunjukkan letak tangga naik ke peron.
"Waah, serius? Berarti tiap weekend bisa jalan-jalan gratis naik kereta?" tanya Alana dengan mata berbinar-binar.
"Yup, untung banget sih menurut gue, apalagi tarif transportasi di sini juga nggak murah. Lo suka traveling? Eh, kita nyebrang ya, La..., itu gedungnya...," ucap Genta sambil menunjukkan gedung tinggi berwarna coklat di seberang jalan.
"Suka banget, Ta... salah satu motivasi gue kuliah di luar negeri ya juga biar bisa keliling-keliling Eropa...," ucap Alana bersemangat.
Genta tersenyum mendengarnya. Ia lalu membuka pintu depan dari gedung apartemen atau yang disebut student housing. Ia mengecek kotak pos yang bertuliskan nomor kamarnya sekejap, "Nanti kalau ada surat dari kampus, pengelola gedung, atau pemerintah, akan masuk ke kotak yang sesuai sama nomor kamar lo ya, La, kadang juga masih ada kiriman buat tenant-tenant yang sebelumnya," Genta lalu membuka pintu kedua menggunakan kunci yang dibawanya.
"Lo gue kenalin sama satu orang mahasiswi Indonesia lagi ya. Enaknya tinggal di Den Haag itu, student housing nya deket, kalau di Leiden kan mencar-mencar. Kalau di sini, butuh apa-apa tinggal ketok aja kamar tetangga...," ujar Genta sambil terkekeh.
Genta sampai di depan pintu kamar nomor 83 yang berada di lantai 3, lalu menekan bel di depannya. Tidak lama kemudian seorang perempuan membuka pintu unit itu, "Hai... sampai juga akhirnya, maaf ya nggak ikutan jemput... aku Adira, ayo masuk...," ucap wanita yang tampak berusia beberapa tahun di atas mereka sambil memberikan ruang untuk Alana dan Genta.
"Makasih Mbak Adira, udah boleh numpang sementara di sini...," ujar Alana sungguh-sungguh. Ia belum bisa masuk ke kamarnya karena belum memiliki kunci apartemen. Kunci itu harus diambil di kantor student housing di dekat Den Haag Centrum atau bahasa Indonesianya alun-alun kota.
"Lo ngambil kunci apartemen jam berapa, La?" tanya Genta sambil melepas sepatunya.
"Jam 10 sih di e-mail-nya, Ta...," jawab Alana sambil melihat jam yang melingkar di tangan kanannya.
"Mbak, aku ada meeting thesis jam 10 di Leiden, kamu bisa temenin Alana nggak? Atau ada jadwal ujian?" tanya Genta kepada Mbak Adira yang sedang memanaskan air.
"Hah? Yah, lo jadi bolak balik dong, Ta? Maaf banget ya... ngerepotin...," tutur Alana sebelum Mbak Adira sempat menjawab.
"Santai, La... deket ini...,"
"Aku nggak ada jadwal kok, Ta... nanti Alana aku temenin aja, sekalian biar tau tempat beli barang kebutuhan selama di sini, tapi nggak bisa lama nggak papa ya, La? Harus belajar buat ujian besok... ini kalian minum dulu tehnya," ucap Mbak Adira sambil meletakkan dua mug di hadapan kami, "Ta, kamu sekalian sarapan dulu aja di sini, masih jam 8 kurang juga. Aku abis masak, cuma telor dadar sama capcay aja sih, kalian pasti lapar kan?"
"Wah kalau tawaran makan dari Mbak Adira sih jangan ditolak, La... rugi... masakannya enak soalnya, rumahan banget...," ujar Genta sambil terkekeh.
Alana seketika itu juga ingin menangis. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya ia pergi sangat jauh dari rumah untuk waktu yang cukup lama, tanpa ada kesempatan untuk sekedar bertemu dengan keluarga di akhir minggu. Ia hanya akan pulang jika studinya sudah benar-benar selesai. Alana juga merasa beruntung menjadi orang Indonesia, yang rasa kekeluargaannya masih terbilang cukup tinggi. Buktinya, sudah jauh sampai ke sini saja, Alana bisa merasa seperti ada di negara dan di rumah sendiri.
"Mbak Adira, aku nggak ditemenin juga nggak apa-apa kok, kan ada Google Maps, Insya Allah nggak nyasar... ini aja udah ngerepotin Mbak sama Genta banget pagi-pagi buta gini...," ujar Alana sambil menatap Genta dan Mbak Adira bergantian.
"La, dulu waktu kita pertama kali dateng ke sini juga kayak kamu gini kok..., percayalah akan ada waktunya nanti kamu melakukan hal yang sama buat mahasiswa Indonesia yang lain... nikmatin aja dulu... kalau butuh apa-apa jangan sungkan... ayo dimakan...," tutur Mbak Adira sambil menyendokkan nasi putih hangat ke piringnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Literatura FemininaBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...