Siang itu, karena cuaca yang mendadak cerah setelah hujan lebat, Alana dan Genta memutuskan untuk berjalan kaki di sekitaran Amsterdam Centraal, sekaligus memanfaatkan weekend vrij atau gratis naik kereta ke mana saja selama akhir pekan.
"Aku tuh awal-awal takut loh nyebrang di sini... kalau pas ketemu perempatan yang lebar banget kayak gini... apalagi di tempat penyebrangan yang nggak ada lampu merah-hijau untuk penanda orang boleh jalan itu...," ucap Alana.
"Come on, La, kamu kan udah lulus 4 tahun nyebrang Margonda...," ujar Genta sambil meninggikan alisnya heran. Alana hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Padahal pengendara mobil di sini pasti berhenti lho, La, kalau lihat ada orang mau nyebrang... asalkan kamu nyebrangnya di zebra cross sih tapi...," ujar Genta lagi sambil tertawa.
"Ya iyalah di zebra cross, Ta...," ucap Alana sambil memutar bola matanya, "tapi kadang mobil mereka itu, dari kecepatan tinggi tau-tau ngerem mendadak pas beberapa sentimeter sebelum zebra cross... tetap aja aku jantungan... Coba kalau di Indonesia, yang ada kita yang diomelin...,"
"Kalau di sini yang bisa ngomelin kita, pengendara sepeda yang kecepatannya super dengan bunyi bel yang nggak santai itu ya, La?"
"Tepat sekali, bapak Genta. Horor deh kadang aku suka ngerasa mau ditabrak sepeda gitu saking mereka cepet banget, bisa gitu ya...," oceh Alana sambil geleng-geleng kepala.
"Karena... naik sepeda itu udah jadi habit mereka dari jaman dahulu kala. Mungkin anak bayi lebih duluan bisa naik sepeda daripada belajar jalan, La...," canda Genta, "udah pernah lihat orang sini naik sepeda satu tangan sambil baca koran di tangan satunya kan?"
Alana terkekeh pelan seraya menunjuk ke arah kanan, "Kayak gitu kan maksudnya?"
Di seberang jalan sana ada seorang lelaki yang sedang melakukan hal yang baru saja dideskripsikan. Genta mengangguk sambil tertawa pelan."Ngomong-ngomong, kamu tuh emang nggak ada capeknya atau gimana sih? Nyampe jam berapa dari Belgia semalam?" tanya Genta sesaat setelah mereka memutuskan untuk duduk di rerumputan depan Stedelijk Museum sambil menikmati sushi dingin yang mereka beli di Albert Heijn stasiun.
"Tengah malam," jawab Alana sambil nyengir. Melihat Genta membelalakkan matanya dan membuka mulutnya, Alana langsung kembali berceloteh, 'Eh, iya aku jadi inget, ini kemarin aku beli oleh-oleh buat kamu."
Alana merogoh tasnya dan mengambil kantong kertas kecil berisi beberapa butir cokelat khas Belgia yang Alana pilihkan khusus untuk Genta.
Genta menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Apaan sih, La, repot-repot beli oleh-oleh segala... kamu kok nggak bilang baru pulang tengah malem sih? Tau gitu nggak aku ajak ke sini... nanti kecapean terus sakit gimana... yang ada aku disidang sama mama papa kamu...,"
Alana tergelak mendengar respon Genta. Hatinya kembali terasa hangat. Ia sungguh mensyukuri betapa mudahnya Genta berkesan bagi keluarganya. Setiap kali Alana video call, pertanyaan tentang Genta tidak pernah luput menjadi topik pembicaraan. Bahkan Rama adik sematawayangnya sering kali berkomunikasi langsung dengan Genta tanpa dirinya. Alasan Rama sih ingin mencari informasi dari Genta tentang perkuliahan di Leiden. Tapi entah kenapa Alana yakin 50% dari pembicaraan itu pasti membahas dirinya. Seringkali Genta mengetahui hal-hal yang terjadi di masa lalu Alana padahal ia tidak pernah menceritakannya.
"Ta... aku pengen nonton Chelsea di London deh... mau nemenin nggak? Kok langsung ketawa gitu siiih...," protes Alana melihat Genta yang tidak mampu menahan tawanya.
"La, belum 12 jam kamu tuh dari Belgia, sekarang udah ngomongin London? Gimana ceritanya?" komentar Genta sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya kan nggak besok perginyaaa... libur summer gitu... kalau aku belum dapet internship kan bosen juga nggak ke mana-mana...," keluh Alana. Pikirannya kembali teringat pada kewajiban internship yang harus ia jalani sebagai salah satu syarat kelulusan. Alana sudah mulai mencari dan melamar lowongan-lowongan magang yang tersedia di beberapa situs, tentunya yang tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa Belanda. Ia pun sudah beberapa kali mendapat undangan interview baik lewat telepon atau tatap muka, namun belum ada yang berhasil. Jalan terakhir jika ia tak kunjung mendapatkan internship, ia harus melakukan penelitian tambahan di luar thesis.
"Hei bengong...," tegur Genta melihat Alana yang tampak zoned out.
"Eh sorry-sorry... jadi kepikiran internship kan aku...," ujar Alana seraya menyuapkan sepotong sushi ke mulutnya. Genta tersenyum tipis lalu mengacak rambut Alana gemas.
"Sabar ya, La... cari internship di sini emang susah kalau menurut aku sih. Ada yang sampe kayak rekrutmen MT bahkan... pelan-pelan ya... coba terus... kalau capek, jalan-jalan aja dulu... Ada aku...," ujar Genta mencoba menenangkan. Dengan mulut masih penuh sushi, Alana menoleh pada Genta dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Genta mengulum senyum melihat kelakuan Alana.
"Ngomong-ngomong jalan-jalan, La... Aku belum pernah sih ke London, soalnya belum nemu temen yang mau bikin visa UK yang lumayan mahal itu. Dan kalau aku sebenernya bukan London, tapi aku pengen ke Oxford. Seru aja kayaknya, klasik, dan Harry Potter-ish...," tutur Genta sambil menerawang.
"Waah... menarik juga... kita gantian kalau gitu, kamu nemenin aku ke London, abis itu aku nemenin kamu ke Oxford, sounds good, no?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Genç Kız EdebiyatıBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...