before London - part 2 (NEW)

126 18 0
                                    

Genta baru saja menyelesaikan satu porsi sayap ayam dan kentang goreng dari Chicken Way dan mendapati Alana duduk membelakanginya dan menikmati pemandangan dari jendela kamar. Dalam hati Genta merasa tidak tenang. Alana tampak sangat kesal saat datang tadi dan mendapati kondisinya yang awur-awuran. Ya bagaimana tidak, sudah seminggu ke belakang ini dia begadang setiap hari demi menyelesaikan thesisnya. Pulang dari kampus mengejar jadwal kereta terakhir ke Den Haag. Ini juga yang menjelaskan kenapa suaranya perlahan menghilang. Angin di negeri kincir ini tidak pernah main-main, apalagi untuk manusia tropis macam mereka.

Genta perlahan beringsut ke sisi Alana dengan membawakan dua cangkir Dark Chocomel hangat. Semenjak ia dan Alana sering saling mengunjungi tempat masing-masing, lemari esnya menjadi lebih berwarna dan tidak pernah kosong. Entah Alana yang sering membagi dua isi kulkasnya, atau kadang dirinya sengaja menyimpan beberapa makanan atau minuman favorit Alana di sana, supaya Alana tidak perlu bolak balik membawa cemilannya saat mereka sedang belajar bersama di sana.

"La... minum dulu nih Chocomelnya...," ucap Genta sambil menyodorkan satu cangkir ke hadapan Alana, yang hanya melemparkan lirikan sesaat. Genta tau betul kalau perempuan di sisinya ini masih kesal. "Udahan dong marahnya..., ini kan aku udah makan, udah mandi, udah minum tolak angin sama vitamin juga. Nanti aku makan lagi masakan kamu ya...,"

Alana yang tingkat kecemasannya meningkat drastis saat melihat keadaan Genta tadi refleks mengambil rice cooker dari kamarnya dan memasak nasi serta lauknya untuk makan malam. Masakan sederhana memang, sup ayam dengan sayuran ditemani telur dadar dan tempe goreng. Setidaknya, itu bisa menjadi comfort food bagi orang yang sedang tidak enak badan karena kelelahan seperti Genta. Alana merutuki dirinya sendiri yang begitu sibuk dengan dunianya di dua minggu terakhir dan mengabaikan Genta. Padahal selama ini, dari hari pertama, Genta selalu memberikan perhatian yang besar padanya. Jauh sebelum mereka berdua memutuskan untuk menjadi eksklusif. Alana menyayangkan kenapa kemarin-kemarin ia nggak mampir ke kamar Genta pagi-pagi, sebelum berangkat ke kampus. Air mata Alana menggenang di pelupuk matanya dan tidak terasa menetes perlahan. Dengan cepat Alana menyeka air matanya dengan punggung tangan, namun gerakan singkatnya itu disadari Genta yang sejak tadi tidak berhenti menatapnya.

"La... kok nangis... kamu marah banget sama aku ya? Maafin aku... ngomong dong, La...," celoteh Genta yang mulai panik sambil menggenggam tangan Alana.

Tanpa melepaskan genggaman tangan itu Alana menghela nafas panjang, "Aku yang harusnya minta maaf, Ta... dua minggu ini aku terlalu pusing sama interview internship sana sini dan thesis aku yang baru aja mulai, sampai aku secuek itu sama kamu. Aku tau kamu lagi pusing thesis, tapi aku pikir kamu emang lagi nggak mau diganggu makanya ke perpustakaan terus. Aku nggak tau kamu pulang jam berapa tiap malam, tapi aku nggak ngotot buat ngecek keadaan kamu, sampai hari ini, tau-tau tadi sore kamu udah sekusut itu. Maaf ya, Ta...," tutur Alana sambil setengah terisak. Genta tidak sanggup lagi mendengar permohonan maaf Alana dan langsung menariknya ke dalam pelukan paling erat yang bisa ia berikan. Alih-alih menenangkan, tangisan Alana malah semakin menjadi, "kamu... udah sebaik itu tanpa aku minta sejak pertama kali kita ketemu... tapi aku-...,"

"Sssssh... udah ya, La, udah...," potong Genta sambil membelai rambut Alana, "kesehatan aku itu tanggung jawab aku sendiri, La... bukan kamu. Memang akunya aja yang lagi lalai ngejaga kesehatan aku. Bukan tanggung jawab kamu juga untuk masakin aku kayak gini. Kamu ada di sini aja, ngomelin aku tadi waktu kamu datang, aku udah makasih banget, Sayang... udah ya...,"

***

"Maaaas ya ampun kamu tuh masih hidup? Alhamdulillah yaa. Bu, nih Mas Genta masih hidup!" Ekspresi dan teriakan heboh Rena yang memekakan telinga menyambut Genta saat ia baru saja menggeser tombol hijau menjawab panggilan video dari adiknya itu. Pagi ini tubuhnya sudah terasa lebih baik berkat asupan gizi dan larangan begadang dari Alana.

"Astagfirullah, Dek, mulutnya ya. Kamu ngedoain aku mati? Adek durhaka emang nih...," omel Genta yang membuat Alana yang masih berada di sisinya tidak sanggup menahan tawanya, "kamu ikut-ikutan ketawa lagi, La...," ya, pagi-pagi sekali Alana sudah berada di kamarnya dengan piring berisi pancake dengan selai coklat.

"Eh ada Kak Alana juga? Ayaaah ini nih Mas Genta ngilang sibuk pacaran ternyata sama Kak Alanaaa!" teriak Rena lagi dengan sengaja memberi bumbu-bumbu tambahan.

"Nggak gituuu...!" Kali ini ganti Alana dan Genta yang berseru bersamaan. Alana tentu saja panik, karena tidak mau disangka menjadi penyebab terkendalanya studi Genta atau menghilangnya dia seminggu ke belakang.

"Genta, Alana, kalian sehat-sehat, Nak?" tanya Ayah Genta yang kali ini sudah muncul di layar bersisian dengan Ibu Genta.

"Aku sih alhamdulillah sehat, Om, Tante... kalau Genta nggak tau deh nih...," sindir Alana sambil melirik Genta yang sedang terbatuk-batuk setelah berteriak barusan.

"Lho... kamu kenapa, Mas, sakit? Tadi ibu dengar juga kayaknya agak serak...," tanya Ibu dengan nada sangat khawatir, "Ibu kan sudah pesan kalau belajar jangan terlalu ngoyo, kamu tuh sendirian di sana kalau kenapa-kenapa bapak sama ibu nggak bisa-...,"

"Bu, udah dong, Buu... nggak usah ngomel lagi ya udah diwakilin kemarin sore sama Alana omelannya beneran deh...," keluh Genta sambil mengacak-acak rambutnya. Alana hanya bisa menutup mulutnya menahan tawa melihat Genta yang tidak berkutik di depan orang tuanya.

"Sudah, Bu, kasihan anaknya malu ada Alana...," ucap Bapak yang membuat Alana semakin geli dan Genta semakin merah padam.

"Yasudah... jadi thesisnya sampai mana? Kamu kapan rencana mau pulang, Mas?"

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang