You know what I miss the most, Ta?"
Genta menoleh mendengar pertanyaan Alana yang sedang menatap langit, "there... the sun...," lanjut Alana lagi sambil menunjuk matahari yang sedang terik-teriknya. Cuaca yang sedang sangat baik membuat Alana dan Genta impulsif memanfaatkan weekend vrij mereka ke sebuah kota yang terletak tidak jauh dari Den Haag yang terkenal dengan kejunya, Gouda. Pagi yang cerah dan hangat sebagaimana seharusnya cuaca musim panas sayang untuk dilewatkan dengan berdiam diri di apartemen. Lumayan juga sebagai self-reward setelah seminggu penuh Alana lalui dengan interview sana sini sampai akhirnya ia mendapatkan internship di salah satu perusahaan yang cukup punya nama besar di Amsterdam.
"Seriously? Aku pikir kamu akan bilang sate padang atau apa gitu lho, La...," ujar Genta sambil terkekeh. Alana menyikut pinggang sahabatnya pelan. Bicara tentang makanan Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dapat menyatukan Genta dan Alana.
"Matahari, Genta. Sadar nggak sih selama kita di sini, berapa kali bisa lihat langit yang sebiru ini dengan matahari secerah ini? Most of the time tuh rasanya mendung atau kabut, hujan, angin, gloomy... ya ada sih matahari, tapi paling berapa jam sih?" keluh Alana, "baju-baju normal yang aku bawa dari Indonesia dengan harapan bisa dipake waktu libur musim panas nyatanya nggak keluar sama sekali dari koper. Paling cuma satu dua aja yang sempet kepake," rasanya Alana tidak akan kehabisan sumpah serapah kalau sudah berurusan dengan cuaca di Belanda.
"Iya juga ya, La... kalau lagi winter, jam lima sore juga udah gelap, jam delapan pagi kadang masih gelap. Kalau di Indonesia, jam enam pagi kadang mataharinya udah kayak jam delapan pagi nggak sih?" tanya Genta meminta persetujuan Alana.
Alana mengangguk pelan, "Baru di sini juga aku ngerasa, kalau cuaca itu bisa ngaruh banget ke mood kita sih. Temen aku yang orang sini bahkan sampai pesan, kalau lagi ada matahari sempetin jalan-jalan ke luar ya, biar kamu nggak depresi, gitu katanya... Oh iya terus kamu sadar nggak sih, Ta, winter tuh kereta jadi sering gangguan, dan beberapa kali itu karena ada yang nyoba bunuh diri dengan loncat dari peron sampai akhirnya ketabrak kereta. Geez, winter blues is so scary...," tutur Alana sambil bergidik ngeri.
"Funny isn't it, sometimes we took something for granted and realize that when we already losing it...," Genta menghembuskan nafas dan merebahkan dirinya di sisi Alana yang sudah lebih dulu dalam posisi tersebut di rerumputan sisi kanal."Boleh nggak sih... aku berharap thesis kamu tiba-tiba disuruh revisi dan selesainya setengah tahun lagi? Atau... kamu nggak mau cari kerja di sini aja gitu? Siapa tau kita bisa tinggal di sini selamanya kan. Aku egois banget ya, Ta...," tanya Alana dengan tetap menengadah ke langit.
Genta refleks menoleh ke kiri dan menatap Alana dengan kening berkerut, "Hei... hei... why suddenly? Kok ngomongnya gitu...,"
Alana perlahan mengubah posisi tubuhnya menghadap Genta. "Aku nggak kebayang ngejalanin enam bulan ke depan di sini tanpa kamu, Ta. Another six months of wintery freezing weather...," keluh Alana dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca.
Genta menarik nafas panjang sebelum mengutarakan pendapatnya. Beberapa minggu terakhir ini obrolannya dengan Alana tidak jauh-jauh dari masalah hubungan mereka dan ini melelahkan buat Genta. Mungkin juga buat Alana.
"Kita kan udah tau ini dari awal, Alana... kedekatan kita ini pun kita udah sama-sama tau resikonya... apa kamu pikir ini nggak berat buat aku, La? Berat, La, sama beratnya," Genta menyelipkan rambut Alana yang menjuntai ke belakang telinga, dan mengusap air mata yang mulai menetes di pipi Alana.
"Mungkin kamu mikir aku kan akan pulang, kembali ke comfort zone, kembali ke kenyamanan Indonesia. Tapi akupun udah terbiasa dengan hadirnya kamu di hari-hari aku, La. Setiap hari di saat aku bangun pagi, aku tau apapun yang aku hadapi hari ini, aku bisa mengawali dan mengakhiri hariku dengan ketemu kamu, in person. Entah hanya sekedar makan bareng atau duduk dalam diam dan sibuk dengan tugas masing-masing. Kalaupun itu nggak hilang, tapi pasti berbeda, La. Bakal beda banget sama sekarang," Genta mati-matian berusaha untuk tetap berbicara dengan nada rendah, walaupun emosi bergejolak di dadanya. Bukan hanya Alana yang tidak siap, dirinya juga. Kembali ke bentuk hubungan yang paling ia takuti. Dihantui dengan kegagalan di masa lalu. Tidak ada yang bisa memastikan kalau mereka berdua akan baik-baik saja setelah ini.
Alana menegakkan tubuhnya, menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Semuanya tampak semakin nyata. Dalam hitungan hari, sahabat yang selalu ada beberapa bulan ke belakang akan kembali ke tanah air. Genta yang melihat gerakan bahu Alana naik turun perlahan bangkit dan merengkuh Alana ke dalam pelukannya. Alana menangis tanpa suara, menumpahkan seluruh emosinya di sana. Genta mengelus punggung Alana sambil sesekali mengecup puncak kepala Alana berharap apa yang ia lakukan ini dapat sedikit menenangkan, "Maaf ya, La..., maaf...," ucap Genta lirih, entah untuk apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
ChickLitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...