"So... you cook?" tanya Genta setelah Mbak Adira turun lebih dulu di lantai 3.
"Hmm... not really... I mean kalau definisi masaknya adalah masak rendang, opor ayam yang ribet-ribet gitu, gue mundur teratur," ujar Alana sambil terkekeh, "tapi kalau sekelas nasi goreng, tumis-tumis, telor dadar ya gue masih bisa lah...,"
"Lebaran dong, La, ada opor ayam sama rendang...," ucap Genta yang membuat tawa di antara mereka berdua kembali pecah. Lucu ya, baru beberapa hari ketemu kamu, kayak udah kenal lama aja gitu, batin Genta sambil menatap perempuan yang berjalan di sisinya.
"Gue masuk dulu ya, Ta...," pamit Alana ketika mereka sudah sampai di depan pintu unitnya.
Genta mengangguk, menunggu Alana masuk ke dalam dan menutup pintu. Tanpa Genta tau, Alana terdiam lama dengan punggung menempel pada pintu, mencoba menelaah perasaan yang selalu muncul saat ia bertemu Genta. Lelaki yang baru dikenalnya beberapa hari ini entah bagaimana selalu menimbulkan kehangatan di tengah cuaca Belanda yang terlalu dingin ini. Rasa yang dulu pernah ia temukan bersama seseorang, yang sayangnya hanya menjadikan Alana tempat persinggahan. Tersadar Alana buru-buru mengenyahkan pikirannya lalu membereskan barang belanjaannya.
Yang Alana juga tidak tau, Genta pun terdiam lama di depan pintu bernomor 157. Genta pikir, kejadian yang seolah tidak disengaja dan berujung cinta pada pandangan pertama hanyalah bisa-bisanya penulis film atau novel saja. Sampai ia bertemu Alana.
***
Besok weekend, Alana sudah mengantongi OV Chipkaart dengan paket gratis naik kereta mulai dari Jumat malam sampai dengan Minggu malam. Namun, ia belum punya tujuan, apalagi teman jalan. Alana mencoba membuka website TripAdvisor untuk menemukan destinasi wisata di Belanda yang mungkin menarik minatnya. Terlalu banyak pilihan ternyata membuat Alana justru semakin bingung. Mau bertanya di grup PPI rasanya malu, terlalu banyak orang. Maka ia memutuskan untuk mengetikkan pertanyaannya pada Genta.
Alana:
Ta, nanya dong, biasanya kalau weekend, hiburannya apa di sini?Genta yang baru selesai mencuci piring bekas makannya melihat lampu notifikasi menyala di ponselnya. Ia tersenyum menemukan nama itu di chat whatsappnya.
Genta:
Lo suka traveling kan, La? Jalan-jalan aja... udah apply weekend vrij?Alana:
Udah, tapi malah bingung mau ke mana... gue tadi lihat tiket museum apa gitu di Amsterdam, lumayan mahal ya...Genta refleks menekan tombol telepon di chat window-nya dengan Alana. Beruntungnya si pemilik nomor mengangkat teleponnya di deringan kedua.
"Ya, Ta?" tanya Alana dengan kening berkerut.
"Eh, sorry, La, ganggu nggak? Gue males ngetik panjang-panjang jadi mending telepon aja," ujar Genta cepat, khawatir Alana terganggu. Namun, Alana justru tertawa dan membuat Genta bingung, "kok... ketawa, La?"
"Kita lucu ya, kamar cuma berapa langkah aja whatsapp, telponan... kayak yang jauh aja...," ucap Alana, "lo lagi sibuk nggak? Gue yang ke sana atau lo yang ke sini?"
Genta tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya mendengar jawaban Alana, "Gue yang ke sana deh, sebentar ya, La...,"
Tidak sampai lima menit kemudian, Genta berada di kamar Alana yang dindingnya sudah dipenuhi foto-foto.
"Fotonya dibawa dari Indonesia nih? Nggak print di sini kan?"
"Iya, Ta... eh maaf ya belum sempat beli karpet..., dingin nggak? Mau dinaikin lagi suhu penghangat ruangannya?" tanya Alana sambil mengambil gelas dari rak piring dan mengeluarkan jus strawberry jeruk dari lemari es.
"Santai, La... kamar gue juga nggak pakai karpet kok... ngomong-ngomong, La, kalau lo tertarik sama museum, gue saranin sih beli Museumkaart. Kita cuma perlu bayar sekitar 60 Euro, tapi kita bisa keluar masuk museum apa aja selama satu tahun. Lumayan banget, karena biasanya tiket museum itu berkisar di 15-an Euro kan sekali masuk...," terang Genta.
"Hmm... wah menarik sih, Ta... hitungannya tiap weekend bisa liburan gratis ke museum di mana aja di Belanda gitu ya? Mau dong kasih tau caranya...,"
Beberapa saat kemudian mereka berdua sibuk browsing di website Museumkaart menggunakan laptop. Alana kagum dengan museum di Belanda yang beraneka ragam dan terlihat terawat. Bahkan beberapa museum menawarkan aktivitas-aktivitas untuk anak atau keluarga, sesuai dengan musim atau tema yang sedang berjalan. Kebanyakan memang merupakan museum seni, mulai dari yang klasik seperti Museum van Gogh, sampai museum seni kontemporer.
Alana senang karena paling tidak ia sudah tidak bingung lagi ke mana harus menghabiskan waktunya di akhir minggu. Beberapa hari pertama di Belanda sangat menyiksa baginya apalagi di sore hari, di saat teman-teman dan keluarga di Indonesia sudah tertidur pulas. Kuliah belum dimulai, dan ia tidak bisa juga terus menerus menjadi benalu di kehidupan Genta, Mbak Adira, atau siapapun itu. Namun, tentunya ia harus menunggu sampai kartu museumnya sampai di kotak pos apartemen.
"Hampir setiap kota kan punya PPI, La, nah kalau kangen makanan Indonesia, biasanya mahasiswa Indonesia suka jalan-jalan dari acara PPI satu ke yang lainnya. Kayak PPI Eindhoven sama Rotterdam tuh biasanya punya event turnamen olahraga antar PPI, kalau Leiden sendiri punya Kunst Avond atau malam seni dimana kita menampilkan tari-tarian, lagu, atau operet Indonesia gitu," lanjut Genta lagi.
"Wah serius? Itu makanan Indonesia-nya dari mana, Ta?" tanya Alana dengan mata berbinar-binar.
"Ya dari kita-kita juga, La, kadang mahasiswa PhD yang masak, atau diaspora, warga negara Indonesia yang udah lama tinggal atau kerja di sini, mereka yang masak. Sama lah kayak di foodfest, mereka bayar sewa booth untuk jualan, pengunjung yang beli, mereka dapat untung...,"
"Ya ampun, bener kata Mbak Adira ya, di sini nanti lama-lama jadi bisa masak macem-macem...," ujar Alana sambil geleng-geleng kepala dan diamini dengan anggukan Genta.
"Jadi, udah tau besok mau ke mana?" tanya Genta.
"Hmm... mungkin ke Amsterdam dulu aja kali, ya... masa udah sampai sini malah belum ke ibukota negaranya. Ini berarti ke Amsterdam Schipol atau beda lagi, Ta?" tanya Alana bingung.
"Nah, beda, La. Kalau mau lihat kotanya, kita ke stasiun Amsterdam Centraal, dan kalau dari sini, kita harus transit di Leiden terus pindah kereta, tapi nggak perlu tap out dulu...," tutur Genta menjelaskan teknis transportasi menuju Amsterdam, "lo... mau jalan sendiri, atau mau gue temenin?"
"Ta... lo serius ini nanyanya?" Alana melongo sesaat.
“Ya serius lah, kenapa?” tanya Genta sambil meninggikan alisnya.
"Gue tuh udah ngerepotin lo terus, Genta, emang lo nggak harus ngerjain thesis, atau belajar, atau ngapain gitu yang lebih penting daripada sekedar nemenin anak baru ini? I'm fine, really... Insya Allah selama ada Gmaps gue aman...,"
"Besok weekend, La, ngerjain thesis juga butuh break kali... yakin nih... nggak mau ditemenin? Sebelum gue berubah pikiran...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
ChickLitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...