Jika ada satu hal yang penuh ketidakpastian di negara ini, itu adalah cuaca. Seperti hari ini, matahari yang berseri sejak pagi, tiba-tiba lenyap digantikan awan mendung dan hujan yang semakin lama semakin besar rintiknya.
"Langitnya serem deh, Ta, gelap banget kayak mau runtuh...," ucap Alana sambil memandang ke atas.
"Iya, padahal tadi waktu kita sampai sini masih biru ya...," ucap Genta mengiyakan. Mereka lalu melanjutkan langkah menikmati suasana kota Maastricht di akhir minggu ini.
"Eh... eh... kok ada rame-rame sih, Ta... ngapain ya mereka?" tanya Alana ketika melihat segerombolan orang di depan gedung besar yang tampaknya semacam balai kota.
"Kayaknya sih demo tuh La, abisnya pada bawa spanduk-spanduk gitu...," ujar Genta sambil menunjuk kain besar yang bertuliskan kalimat dalam bahasa Belanda.
"Eh serem nggak sih, nggak ada polisi atau pengamanan apa gitu? Kita aman nggak di sini? Atau kita pulang aja yuk?" celoteh Alana gelisah sambil melihat keadaan di sekelilingnya.
"Kamu pasti lagi kebayang demo mahasiswa di Indonesia ya? Kalau melihat jumlah massanya sih kayaknya situasinya nggak akan chaos gimana banget deh. Polisi mah pasti ada aja cuma kita nggak tau aja yang mana. Kamu nggak mau foto mereka dulu, La? Lucu lho itu payungnya warna-warni," ujar Genta sambil menggenggam erat tangan Alana di sisinya, "Tenang, La..., ada aku...,"Untuk kesekian kalinya, gestur kecil Genta sanggup memberikan rasa aman di hati Alana.
***
"Orang-orang di sini tuh kulitnya tebel banget apa gimana ya? Baju kita tuh kayaknya minimal lapis 3, terus om-om itu cuma pake kaos doang, Ta, kaos tipis selembar aja...," tutur Alana keheranan melihat sosok lelaki yang baru saja menyebrang jalan.
"Itu mah kamunya aja kali, Neng, yang nggak tahan dingin...," komentar Genta sambil tertawa. Alana menyipitkan matanya ke arah Genta dan merengut.
"Ta, ini tuh masih 15 derajat gitu, masih dingiiin... 20-25 oke laah, sejuk-sejuk lucu kayak di Puncak...," protes Alana.
"Yang kamu bilang sejuk itu, buat mereka udah panas, Alana... eh, tapi biar hujan gini, permainan di sana tetap jalan ya...," ucap Genta sambil menatap ke arah pasar malam. Well, meskipun di sini jam operasionalnya mulai sejak pagi sih.
"Iya ya... aku tuh kadang takjub lho, di luar negeri gini tuh yang namanya pasar malam udah kayak mindahin wahana di Dufan dengan segitu gampangnya. Lokasinya kan pindah-pindah, waktunya juga musiman aja...," tutur Alana.
"Hmm... bener juga kamu, La... mentok-mentok kalau di Indonesia yang paling gede kan bianglala, lha ini yang modelan roller coaster mini aja bisa ada kadang..., eh, kita main yuk? Kayaknya seru...," Genta menarik tangan Alana menuju arena permainan di tengah alun-alun kota Maastricht.Berkali-kali Genta berhasil membuat Alana tertawa lepas saat mereka bermain bumper car. Keberadaan Genta benar-benar bisa menjadi obat homesick yang ampuh untuk Alana. Menjelang pukul tiga sore, mereka berjalan kembali ke stasiun setelah mampir membeli waffle dengan topping nutella dan strawberry untuk Alana, dan topping nutella untuk Genta. Perjalanan kembali ke Den Haag membutuhkan waktu sekitar dua jam lebih, mereka tidak boleh terlalu sore pulang kalau ingin tiba di apartemen sebelum gelap.
***
"Ta, kemarin kata Rendra, mau ada acara Kundst Avond ya di Leiden?" tanya Alana saat mereka sudah duduk berhadapan di dalam kereta.
Genta mengangguk pelan, "Hmm... iya..., acara malam seni budaya tahunannya Leiden, dua minggu lagi ya... kamu mau datang, La?"
"Engg... kemarin diajakin Rendra ikut main drama, tapi aku nggak bakat akting. Terus dia bilang masih ada slot untuk ngisi acara..., tapi aku nggak tau juga sih mau nampilin apa...," ujar Alana terkekeh.
"Coba tanya Mbak Adira aja, La, dia biasanya nyanyi tuh... kalo kamu suka...," usul Genta kemudian, "ngomong-ngomong, tumben Rendra kemarin main ke Den Haag?"
"Oh itu...," Alana memberi jeda, "gara-gara aku hampir jatoh kedorong angin kenceng di kampus, terus dia nawarin nganterin pulang...,"
"Ooo... dia suka sama kamu tuh, La...," ucap Genta.
Alana terbelalak mendengar ucapan lelaki di hadapannya ini, "Hah? Apaan sih, Ta? Ngawur deh..., we're just classmates...,"
Genta tersenyum tipis, "La... aku laki-laki ya, jadi aku tau gimana kalau laki-laki itu suka sama perempuan, kamu nggak perhatiin ya kalau mukanya berubah waktu kamu nyuruh dia balik ke Leiden bareng aku?"
"Wait... ini yang anak psikologi siapa ya? Kok kamu jadi ahli observasi ekspresi orang gini?" canda Alana sambil tertawa.
"Mau taruhan?"
***
Alana merebahkan diri di tempat tidurnya setelah menghabiskan waktu seharian di luar. Ia teringat ucapan Genta tadi, tentang Rendra. Bagi Alana, Rendra adalah teman diskusi yang menyenangkan, terutama tentang topik-topik psikologi yang sama-sama mereka geluti. Tapi ya hanya sebatas itu. Akhir-akhir ini Rendra memang lebih sering mengirimkan pesan singkat untuk Alana, termasuk waktu Alana dan Genta traveling ke Milan. Jujur Alana juga heran dengan perubahan sikap Rendra belakangan. Tapi Alana tidak merasakan ada yang berbeda ketika ia bertemu dengan Rendra. Apalagi Rendra tinggal di Leiden, praktis waktu bertemu mereka hanya di jam kuliah, atau saat ketiga teman lainnya mengajak bertemu berlima.
Berbeda dengan Genta yang hampir dengan mudahnya Alana temui baik sengaja maupun tidak. Genta yang selalu bisa membuat Alana tertawa, Genta yang selalu ada di saat Alana sedang membutuhkan pertolongan. Apa Genta cemburu? Ah, jangan baper Alana, itu kamunya aja ge er, batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Chick-LitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...