Oxford and the Others

428 50 6
                                    

Hari-hari Alana dan Genta di Inggris berlalu begitu cepat. Makan siang di Camden Market yang tetap terlihat cantik di tengah hiruk pikuk pengunjung, dilanjutkan dentan check in di hostel seharga seratus ribuan sebelum diakhiri dengan menyaksikan pertandingan Chelsea di Stamford Bridge. Untung saja, malam itu Chelsea berhasil memenangkan pertandingan dan membuat Alana sulit tidur karena level excitement-nya melonjak tinggi.

Keesokan harinya masih menjadi harinya Alana, semua tentang Chelsea mulai dari mengikuti stadium tour sampai belanja merchandise. Genta geli sendiri menyaksikan Alana yang heboh sendiri sejak awal mengikuti tour saking senangnya. Apalagi ditambah dengan tour guide mereka yang adalah blasteran Italia-Inggris dengan aksen British kental yang menurut Alana termasuk golongan manusia paling sempurna yang ada di dunia ini. Genta terkadang lupa kalau Alana masih sama seperti wanita-wanita pada umumnya yang bisa sebegitunya kalau sudah mengidolakan kaum Adam. Belum lagi Alana begitu kalap saat berada di Chelsea Megastore seolah seisi toko ingin dibawanya pulang. Untung saja Alana masih sadar kalau kurs Poundsterling adalah salah satu mata uang dengan nilai tukar tertinggi terhadap Rupiah kita, batin Genta.

Selesai dari sana, itinerary dilanjutkan dengan berkelana ke tempat-tempat instagrammable di London seperti bilik telepon umum berwarna merah khas Inggris, Big Ben yang sayangnya sedang renovasi, Tate Modern, British Museum, Tower Bridge, St. Pancras Station, sampai ke Shoreditch di ujung Timur London. Genta resmi menjabat sebagai full-time instagram boyfriend hari itu, dan ternyata ia menikmatinya.

Hari berikutnya mereka habiskan dengan salah satu hal yang menjadi kesamaan di antara mereka: Harry Potter. Dengan tiket yang tentu saja sudah dibeli Alana jauh-jauh hari, dan untungnya masih kebagian, mereka mengikuti Harry Potter Warner Bros Studio Tour. Perjalanan yang diawali dengan naik kereta jarak jauh menuju Leavesden tempat dimana studio itu berada. Keduanya tidak dapat menyembunyikan excitement mereka ketika menjejakkan kaki di depan studio tersebut. Antrian yang mengular tidak menyurutkan langkah mereka sama sekali. Berfoto di peron 9 3/4, Hogwarts Express, green screen untuk adegan mengendarai sapu terbang, mengagumi setiap detail set yang ada, dan tidak lupa menikmati Butterbeer.

Puas menjadi Potterheads, giliran itinerary Genta yang mengambil alih hari-hari selanjutnya. Mulai dari sarapan di Borough Market, menyeberang ala The Beatles di Abbey Road, menyambangi Sherlock Holmes Museum, kembali menjadi Potterheads dengan mengunjungi House of Minalima, berfoto di depan Picadilly Circus, mengunjungi Lego Store di Leicester Square, dan ditutup dengan menonton drama musikal Mathilda di salah satu teater di kota London.

***

"So... this is our last trip together, then?" tanya Alana sambil tersenyum tipis. Oxford, destinasi terakhir dari UK trip nya bersama Genta, setelah berkelana selama kurang lebih satu minggu. Habisnya daftar tujuan mereka selama di London dan sekitarnya menyadarkan Alana kalau waktunya bersama Genta akan segera berakhir. Duduk menanti matahari terbenam di atas bukit dalam kompleks Oxford Castle, sesungguhnya Alana sedang cemas tentang bagaimana ia akan melalui paruh kedua studinya tanpa lelaki ini di sampingnya.⁣

"I'm afraid so, La... eh... masih ada satu lagi sih, kamu akan nganter aku ke airport kan?" tanya Genta sambil menaikkan alisnya.⁣

"Hmm... aku sibuk nggak ya? Mau banget dianter emangnya?" tanya Alana sambil memicingkan mata.

"Nggak usah sok jual mahal, deh, La... nanti kangen lho...," goda Genta sambil mengacak rambut Alana yang seketika tertawa renyah.⁣

"What's next, Ta?" tanya Alana lagi sambil menikmati pemandangan kota dari atas bukit.⁣

"Don't know yet... kayaknya mau istirahat dulu sih, La... rasanya udah berapa tahun terakhir ini selalu ada yang dikejar... mulai dari S1, cari kerja setelah lulus, lanjut lagi S2," Genta menghela nafas sejenak, "mungkin dua tiga bulan setelah ini aku akan ngikutin aja ke mana hidup ini berjalan...," tutur Genta sambil termenung.⁣

"Well... everybody does need a break, I guess... have a good rest, recharged, then jump higher...," ujar Alana menghela nafas panjang. Ada hening sejenak di antara mereka sebelum Alana mengajukan pertanyaannya, "And... what about us, Ta?"

Genta menghadapkan tubuhnya ke Alana sambil mengerutkan kening, "Maksud kamu, La?"

"Do we... need to have a break as well?" tanya Alana dengan suara lirih. Ia benar-benar tidak tahu akan ke mana hubungan ini. Apakah cerita ini hanya akan sekedar menjadi kisah cinta lokasi sepasang mahasiswa yang kebetulan berkuliah di universitas yang sama di waktu yang bersamaan? Ataukah kisah ini akan menjadi awal dari perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup?

Genta terdiam lama menatap Alana yang kembali memandang jauh ke depan. Sesungguhnya Genta juga tidak tau. Long distance relationship tidak pernah menjadi teman yang baik untuknya. Tapi... entah bagaimana ada sedikit keyakinan yang cukup kuat saat ia menjalani hubungan ini dengan Alana.

"Jujur aku takut, La, untuk kembali menjalani LDR... tapi... aku punya feeling kali ini, sama kamu, akan berbeda dari yang udah pernah aku jalanin...," ujarnya lalu tersenyum, "jadi... kalau kamu tanya aku, jawabannya nggak."

Alana menatap Genta dengan kening berkerut. Apakah ini berarti Genta...

"Buat aku, kita nggak perlu break, kita jalanin aja kayak sekarang, ke depannya mungkin dengan adjustment time difference yang perlu dikompromikan... menurut kamu gimana, La?"

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang