amsterdam

827 72 2
                                    

Terbangun di saat hari masih gelap, pukul 7 pagi waktu Den Haag, Alana beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil roti tawar dari dalam lemari es. Dengan cepat Alana mengoleskan butter dan meletakkan selembar keju di atas roti tawar. Sementara itu satu tangkup roti lagi ia olesi dengan selai nutella. Ia kemudian memanggang kedua sisinya beberapa saat di atas pan, lalu memasukkannya ke dalam kotak bekal. Alana memutuskan untuk menyiapkan bekal untuk dibagi dengan Genta yang sudah berbaik hati menemaninya berkelana hari ini.

Ya, Alana akhirnya menyerah pada ajakan spontan Genta tadi malam. Jujur, Alana sebenarnya takut. Segala sesuatunya berjalan begitu saja dengan Genta. Terlalu cepat mungkin, tapi entah kenapa Alana menemukan kenyamanan di sana. Ah, ini mungkin hanya euforia saja, Genta hanya sedang menjalankan tugasnya dengan baik sebagai mahasiswa Indonesia yang sudah lebih dulu mengenal Belanda, batin Alana. Nothing special.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit saat Alana mendengar bel pintu berbunyi nyaring. Ia meraih syal dan ranselnya lalu membuka pintu.

"Hai, La... ready?" Genta berdiri di hadapannya dengan ultra light down jacket Uniqlo-nya yang berwarna biru donker dengan senyum khasnya.

"Yuk... kita naik kereta yang jam berapa? Alana balas bertanya sambil mengunci pintu apartemennya.

"Jam 9 lewat 9 menit nih, masih ada waktu lima belas menit untuk jalan kaki ke stasiun... unfortunately, kita harus lewat Den Haag Centraal nih karena Leiden lagi perbaikan, nanti malah lama nyampenya...," tutur Genta, "nanti kalau udah mulai kuliah, biasain cek NS Planner dulu ya, La, sebelum berangkat...,"

Alana menganggukkan kepalanya pelan, "Keren ya di sini... kalau memang telat ya telat aja, perbaikan ya perbaikan, tapi konsumennya dikasih tau lebih awal, supaya bisa cari alternatif lain... sementara kalau KRL Jabodetabek, udah nunggu lama di stasiun baru ada pengumuman...," ganti Alana yang berceloteh panjang lebar.

"Hooo... anker juga, La? Yup, kalau udah gini, baru deh berasa negara kita itu memang masih jauh sekali tertinggal dalam banyak hal...," Genta membenarkan ucapan Alana.

"Berhubung S1 kampus kuningnya di Depok dan rumah di Jakarta ya mau nggak mau sih jadi anker, ya, Ta...," ujar Alana sambil terkekeh.

"Oooh... kita satu almamater ternyata...,"

***

Alana dan Genta sudah duduk berhadapan di kereta kedua yang akan membawa mereka ke Amsterdam. Genta sedang menatap ke luar jendela ketika Alana mengeluarkan kotak bekalnya.

"Ta, udah sarapan belum? Ini gue buatin roti bakar, ada yang isi keju sama nutella, mudah-mudahan lo suka dua-duanya ya...," tawar Alana kemudian.

"Ya ampun, La... gue ikhlas lho ini nemenin ke Ams-nya... repot-repot sih...," ujar Genta dengan kening berkerut.

"Cuma roti kok, Ta..., nggak repot sama sekali bikinnya...,"

Genta tersenyum dan mengambil roti yang sudah dipotong menjadi dua bagian dari kotak bekal Alana. Ia memang belum sarapan, dan tadinya berniat membeli patat saja nanti di Amsterdam. Tapi ternyata perutnya lebih dulu dibuat hangat oleh roti bakar keju buatan Alana.

"Lo nggak kurang, sarapannya bagi dua sama gue?" tanya Genta.

Alana tertawa mendengarnya, "Gue masih punya yoghurt kok, Ta, di tas...,"

Genta mengangguk dan kembali mengunyah rotinya.

"By the way, Ta... I hope you don't mind I'm asking this, but... do you have a girlfriend?" Genta tidak langsung menjawab tetapi menatap Alana dengan tatapan yang sulit diartikan, "Bukan apa-apa, Ta, tapi Karen bilang, biasanya mahasiswa Leiden yang punya pacar di Indonesia, ujung-ujungnya bakalan putus, and I don't want that happen to you if you have any, I just don't want to be a suspected-third-wheeler...," tutur Alana.

"Aaah... that one...," ujar Genta dengan ekspresi melunak, "actually, we just broke up last year, few months before you came, so... no worries, I guess?"

"Sorry, Ta, I don't mean to...," ucap Alana merasa bersalah.

"No probs, I'm over it. Siap-siap turun yuk, bentar lagi sampai...," ujar Genta sambil beranjak dari tempat duduknya.

***

Alana dan Genta memutuskan untuk berjalan kaki dari stasiun supaya bisa menikmati kota dengan lebih santai. Alana terpana melihat kota ini yang jauh berbeda dengan Den Haag dan Leiden yang relatif lebih kecil dan lebih sepi.

"Disclaimer dulu nih, kalau ada bau-bau asap yang rasanya asing, itu ganja ya, La, bukan rokok," ujar Genta saat mereka berjalan santai di pusat kota Amsterdam.

"Wah, serius? Legal sih ya di sini...," gumam Alana.

"Iya, dan yang namanya coffee shop di Amsterdam, itu bukan cafe atau toko kopi ya, they sell weed..., tuh, ngantrinya sampai di luar-luar gitu...," cerita Genta lagi sambil menunjuk toko di dalam sebuah gang kecil.

Alana terbelalak melihat antrian di dalam gang itu. Benar-benar ramai. "Did you ever try one, Ta?" tanya Alana.

"I did, mumpung legal kan, kapan lagi, ya gitu, La, kayak ngerokok. Tapi efeknya beda-beda... ada yang jadi pinter, malah jadi fokus belajar, kalau gue sih yang ada jadi ketawa-ketawa, burung terbang aja bisa gue anggap lucu," tutur Genta sambil terkekeh.

Alana ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka sampai di salah satu icon kota ini, tulisan "I am sterdam" berwarna putih dan merah di depan Rijksmuseum, yang mungkin juga menjadi sumber inspirasi kota-kota lain termasuk di Indonesia untuk membuat sign yang sama.

"Enak ya di sini, mau main ice skating bisa di ruang terbuka... Coba kalau di Jakarta, adanya jelas di mall, di ruang tertutup," tutur Alana sambil menghirup udara segar. Hari ini adalah salah satu hari terbaik di musim dingin versi Alana. Cuacanya sejuk, dan matahari bersinar bebas di langit sana tanpa gangguan awan.⁣⁣
⁣⁣
"Yaa... namanya juga negara tropis, La, kalau ice rink dibuat di lapangan Monas, baru lima menit yang ada banjir, esnya mencair semua...," ujar Genta sambil tertawa. ⁣⁣Alana ikut tertawa dan refleks menyenggol lengan Genta mendengar lelucon yang ia lontarkan. 
⁣⁣
"Gue penasaran deh, dari yang main di sini, berapa banyak dari mereka yang atlet pro? Soalnya liat deh, bisa muter-muter jago gitu, Ta...," ucap Alana sambil menatap anak perempuan jauh di depannya.⁣⁣
⁣⁣
Genta mengangguk pelan, "Hmm bener juga kamu La, di sini atlet bisa jadi mata pencaharian sih ya... dan banyak juga yang memang udah berada di jalur atlet dari masih kecil...,"⁣ ⁣⁣

"Seneng banget ya, ketika negara bisa menghargai setiap kemampuan warganya dan difasilitasi untuk pengembangannya, di sektor apapun itu...," ⁣ucap Alana kagum. Berbeda sekali dengan di Indonesia, dimana masih banyak orang tua yang berat hati merelakan anaknya menjadi atlet karena khawatir akan masa depan mereka yang bisa dibilang penuh ketidakpastian apalagi terkait jaminan untuk dapat hidup layak di hari tua.

"Well, no wonder people in this country are considered as some of the happiest in the world..., also one of the reason why I came here to study, La...,"⁣

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang