before London (part 1) - new

125 16 0
                                    

Dua minggu terakhir setelah jalan-jalan dadakan ke Amsterdam, Alana dan Genta jarang sekali punya waktu bersama. Genta yang mengurung diri di perpustakaan kampus demi menyelesaikan thesisnya, dan Alana yang sibuk mempersiapkan dirinya untuk mengikuti berbagai interview demi mendapatkan kesempatan internship. Entah sudah berapa banyak perusahaan yang coba ia kirimkan CV-nya, dan sudah berapa sering ia menghadiri interview, namun masih saja belum ada kabar baik. Alana sudah nyaris putus asa dan khawatir tidak bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu karena masalah ini. Ia tidak tahu apakah orang tuanya masih sanggup membiayai jika ia harus menambah satu semester lagi hanya untuk menjalani internship.

Tidak jauh berbeda, Genta juga sedang berjuang menyelesaikan thesisnya yang masih belum sempurna. Sekian banyak revisi yang harus ia kerjakan, lama-lama membuat kepalanya seperti berasap setiap hari. Entah mengapa sejak Alana memberikan oleh-oleh coklat dari Belgia itu, keduanya seperti bergerak ke kutub yang berlawanan dan semakin hari semakin berjarak. Jangankan untuk bertemu, frekuensi pertukaran pesan singkat di antara mereka pun jauh berkurang. Genta yang seringkali pulang larut malam dari perpustakaan sungkan untuk sekedar mengunjungi Alana karena takut mengganggu waktu istirahatnya. Sementara Alana akhir-akhir ini sering berangkat pagi-pagi sekali untuk menghadiri interview, dan tidak sempat bertemu Genta yang masih terlelap di kamarnya.

Pagi ini Alana berangkat ke stasiun dengan terburu-buru ke kampus karena ada janji pertemuan pertama dengan pembimbing thesisnya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Melihat perjuangan Genta mengerjakan thesisnya, Alana khawatir kalau  kemampuan menulis dalam bahasa Inggrisnya tidak cukup baik untuk dapat menghasilkan tulisan serumit thesis. Skripsinya yang berbahasa Indonesia saja melalui banyak sekali revisi yang menurut Alana pribadi hasilnya pun lebih ke: yang penting lulus, jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Saat akan berangkat tadi, ia sepintas melihat pintu kamar 161 yang tertutup rapat dan perasaan tidak enak itu menyerang. Namun, ia harus mengurungkan niat untuk mengetuknya karena thesis menjadi prioritasnya saat ini.

***
 


 

Alana tidak pernah menyangka kalau keputusan beraninya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri bisa jadi salah satu keputusan terbaiknya seumur hidup. Pertemuan pertama dengan kedua dosen pembimbing dan satu orang mahasiswi Belanda lainnya yang memilih topik thesis yang sama akan berjalan semenyenangkan ini. Pertama, untuk kesekian kalinya Alana terpukau dengan bagaimana orang-orang di negara ini menghargai waktu. Pertemuan yang direncanakan berlangsung pada jam 10 pagi ya benar-benar akan dimulai tepat pukul 10, dan berakhir sesuai durasi yang disepakati. Tidak ada namanya luntang lantung menunggu membunuh waktu  dalam ketidakjelasan. Tidak hanya mereka begitu memberikan kebebasan untuk menuangkan ide, tuntunan yang diberikan juga cukup jelas. Alana seperti mendapat suntikan semangat untuk mengerjakan thesisnya sesegera mungkin. 
 

"Alana?" panggil sebuah suara yang familiar dari balik punggungnya saat ia akan menuruni tangga. Alana berbalik dan menemukan sosok Rendra di sana.

"Eh, hai, Ndra... ada kelas?" tanya Alana ramah.

"Iya nih, abis kelas yang lo ga mau ikut itu. Lo ngapain?" ujar Rendra sambil terkekeh. Alana mau tidak mau ikut tertawa.

"Sorry, debate is just not my thing, Ndra. Baru selesai thesis meeting nih. Lo mau balik?" tanya Alana saat kini keduanya berjalan menuruni tangga.

"Iya paling... lo mau langsung ke Den Haag, La atau... laper nggak? Makan dulu yuk?" tawar Rendra kemudian. Alana menghentikan langkahnya sejenak, dan melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.

"Hmm... udah jam makan siang ya, pantes gue mulai laper. Hehe. Yaudah boleh yuk, di mana?" tanya Alana lagi. Mengingat itu di Leiden, menurutnya Rendra pasti lebih punya rekomendasi kuliner dibanding dirinya.

Rendra mengerutkan keningnya dan berpikir sesaat, "Chicken Way?"

Alana tertawa dan menyambut dengan antusias, "Boleh, udah lama nggak makan micin. Gue ajak yang lain di grup ya, Ndra, mumpung di Leiden!" seru Alana sambil meraih ponsel di kantongnya dan mengetik sesuatu. Rendra menatap Alana lalu menghembuskan nafas kesal. Gagal lagi mau berduaan dengan Alana, batinnya.

***

Sekitar pukul empat sore Alana baru sampai kembali di gedung apartemennya setelah menghabiskan waktu bersama kelima teman satu angkatannya di Chicken Way. Entah kenapa ia terpikir untuk membawakan Genta satu porsi juga, dan mampir ke kamarnya.

"Ta...," panggil Alana sambil mengetuk pintu kamar Genta. Tidak ada jawaban. Alana mengetuk sekali lagi sambil mengambil ponselnya dan menelepon sang empunya kamar. Di deringan kelima akhirnya telepon itu terjawab.

"Halo...," sapa suara yang terdengar sangat parau di ujung sana. Alana seketika cemas dan kembali mengetuk kamar Genta, kali ini lebih keras.

"Ta, kamu sakit? Aku di depan kamar kamu...,"

Tidak berapa lama kemudian pintu terbuka dan Genta berdiri di sana dengan bentuk tidak karuan. Sepertinya ia baru bangun tidur. Rambutnya yang sudah mulai tebal terlihat acak-acakan, dan wajahnya sangat kuyu, "Udah lama ya, La? Sorry aku-...," belum sempat Genta meneruskan kalimatnya, Alana sudah menerobos masuk dan terpana melihat kamar Genta yang tidak pernah sekacau ini. Piring dan gelas kotor di tempat cucian, laptop menyala di meja belajar, kertas jurnal bertebaran di mana-mana, dan tempat tidur yang entah sudah berapa hari tidak dirapikan.

Alana membalikkan badannya dan menatap Genta tajam, "Kapan kamu terakhir makan?"

Genta hanya meringis dan menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, "Er... lupa, La... kayaknya... kemarin siang..."

"GENTA PUTRA MAHARDIKA!"

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang