before chapter 9 (NEW)

189 20 0
                                    

Alana nggak tahu kenapa, tapi rasanya lega sekali melihat lelaki yang menunggu di peron bersama sepedanya itu benar Genta. Seolah penjaga yang ditakdirkan untuk berada di sisi Alana, sejak hari pertama Alana menginjakkan kakinya di negeri van Oranje, Genta selalu ada.

"Hei... dari kampus, La?" tanya Genta dengan senyuman lebar terukir di bibirnya, "tenang, nafas dulu, keretanya belum datang...," ucapnya lagi melihat nafas Alana yang terengah-engah.

"Iya... orientation day... lo dari kampus juga?" tanya Alana sambil membungkuk memegang kedua lututnya dan mengatur nafas. Genta mengangguk pelan. Sesaat kemudian terlihat kereta berwarna kuning dan biru donker memasuki peron. Alana dan Genta lalu memasuki kereta dan berdiri tidak jauh dari pintu.

"Kalau mau duduk di dalam nggak papa lho, La. Gue berdiri karena bawa sepeda aja sih," ujar Genta. Alana tersenyum dan menggeleng.

"Cuma sebentar ini, Ta... santai...," ucap Alana, "lo ada kelas tiap hari, Ta? Gue cuma seminggu dua kali masa. Sisanya ngapain dong ya?" tanya Alana bingung. Sungguh berbeda dibandingkan kuliah S1 nya dulu, dimana jadwalnya bisa begitu padat Senin sampai Jumat jam 8 pagi sampai jam 4 sore, apalagi di semester-semester awal.

Genta tertawa pelan, "Jangan salah, La... coba nanti setelah masuk kelas pertama, kasih tau gue, lo kaget nggak sama daftar jurnal yang harus dibaca. Belum lagi tugas mandiri atau kelompok yang belum tentu satu dua jam selesai. Bisa berhari-hari...,"

Alana menelan ludah mendengar penuturan Genta. Sepertinya satu tahunnya di Leiden tidak akan semulus perjalanannya mengantongi beasiswa kuliahnya.

***

Aurora

Laaaa... kangen deh... gimana di sana?

Freya

Iya Laa... masih jetlag ya? Kampusnya seru nggak?

Taskya

Udah ketemu yang ganteng belum di sana?

Notifikasi pesan berturut-turut muncul dari grup whatsapp di ponsel Alana saat ia baru saja meletakkan tasnya di samping meja belajar. Ia tersadar kalau sejak sampai di Belanda, ia hanya satu kali memberi kabar kepada ketiga sahabatnya, waktu ia baru saja mendarat di Schipol. Perbedaan suhu, waktu, beres-beres kamar dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya membuat Alana hanya mampu berbagi fokus antara kehidupannya di Belanda dan keluarga. Alana mengetikkan beberapa kata untuk membalas pesan itu namun menghapusnya kembali. Ia menekan tombol telepon dan memilih untuk melakukan panggilan video.

"ALANAAA!" Seru Freya, Taskya, dan Aurora berbarengan saat wajah mereka muncul di layar.

Alana berjengit mendengar teriakan nyaring mereka lalu tertawa, "Halooo... gue ganggu nggak nih telpon kalian siang-siang?" tanya Alana.

"Udah malem kali, Laa, baru juga sampe apartemen nih," protes Freya yang tampak baru saja meletakkan tasnya di sofa apartemennya.

"Di Belanda masih siang kali, Frey," ujar Taskya sambil memutar mata menyadari kepolosan Freya. Alana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabat-sahabatnya itu. Mengingat waktu teman-temannya yang terbatas karena baru akan mulai bekerja, cerita mengalir cepat dari mulut Alana tentang bagaimana bantuan datang tanpa diminta di hari-hari pertamanya. Termasuk tentang keberadaan Genta yang sudah dapat ditebak mengundang reaksi heboh ketiganya.

"Gue laper banget nih, La, mau cari makan dulu. Besok-besok cerita lagi yaa... see you, girls!" pamit Aurora yang diikuti dengan menghilangnya tiga wajah familiar itu dari layar ponsel Alana. Padahal baru hitungan hari ia berkenalan dengan Genta, tapi Alana sudah tidak mampu menyembunyikan hal itu dari sahabat-sahabatnya.

Alana lalu melanjutkan aktivitasnya yang tertunda, mencatat jadwal-jadwal kelasnya selama blok pertama atau kurang lebih 2.5 bulan ke depan sampai sebelum Easter Break. Belum-belum, Alana sudah membayangkan eurotrip yang bisa ia lakukan ketika libur nanti, dengan catatan kalau kartu tanda penduduknya sudah keluar. Untuk saat ini Alana perlu menahan semangatnya dan harus berpuas dengan berkelana sampai ke ujung Belanda saja. Satu jam berlalu Alana disadarkan oleh bunyi perutnya yang cukup keras, ia teringat kalau siang tadi di kampus ia hanya jajan cheese toast yang kejunya meleleh itu dengan segelas hot chocolate dari vending machine yang bertebaran di area FSW. Ia lalu melangkahkan kakinya ke dapur dan mengeluarkan bahan makanan hasil belanjanya dengan Mbak Adira beberapa waktu lalu.

***

Prawira's Family
Mama
Hari ini masak apa, Kak?

Sebuah pesan singkat dari Mama di grup keluarga masuk saat Alana sedang menyantap spaghetti bolognaise hasil masakannya barusan. Alana mengecek jam di ponselnya yang menunjukkan pukul empat sore waktu setempat. Alana lalu mengirimkan foto makanannya ke grup tersebut.

Alana:
Kejunya enak di sini, Ma, meleleeeh semua. Mama kok belum tidur? Nungguin Rama belum pulang lagi?

Mama:
Wah enak ya, Kak. Iya nih, Rama masih ngerjain tugas katanya nanggung.

Alana:
@RamaPrawira pulang wey kasihan mama

Rama Prawira:
Ampun. Otw. Baru selesai.

Mereka pun bertukar pesan selama beberapa waktu sampai tidak terasa sudah pukul 23.00 waktu Jakarta, dan percakapan terhenti saat Rama akhirnya sampai di rumah. Alana tersenyum sesaat sebelum kembali bingung. Di saat kuliah belum dimulai, jam-jam ini adalah waktu rawan homesick karena baik keluarga maupun sahabatnya di Jakarta sudah terlelap ke alam mimpi. Sementara di Belanda walaupun matahari sudah turun karena masih transisi dari musim dingin ke musim semi, waktu baru menunjukkan pukul lima sore. Masih terlalu dini untuk tidur, yang justru akan merusak jam biologisnya yang sudah membaik satu minggu ini. Jarak dan waktu menjadi musuh yang dapat menggerogoti jika tidak disiasati dengan baik.

Besok sudah hari Jumat, dan menuju weekend keduanya di Belanda, dan rasanya ia tidak mungkin mengganggu Genta lagi untuk menemaninya membunuh waktu. Mungkin laundry bisa menjadi salah satu alternatif kegiatan, pikirnya. Karena cuaca yang sedemikian dinginnya, tubuhnya hampir tidak mengeluarkan keringat alhasil kemeja flanel atau kaus-kaus yang dipakai di antara warmer dan coat tebal di luar bisa ia pakai berulang, cukup diangin-anginkan saja tanpa harus dicuci. Rutinitas mencuci baju seminggu sekali rasanya cukup masuk akal, mengingat paling tidak Alana perlu menyisihkan 4 Euro untuk mesin pencuci dan pengering. Setelah menetapkan aktivitasnya untuk esok hari, Alana menyalakan laptopnya dan memilih untuk tenggelam dalam tayangan Netflix.

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang