Alana merebahkan diri di atas tempat tidur barunya setelah setengah hari ini berkeliling bersama Mbak Adira. Apartemen single studio di lantai 7 gedung DeKlok akan menjadi rumahnya paling tidak selama enam bulan ke depan. Jika ingin tetap di sini sampai studinya selesai, maka Alana harus melakukan perpanjangan kontrak. Alana juga harus melapor ke gementee atau balai kota untuk mendapatkan kartu tanda penduduk yang berlaku selama satu tahun sebagai pengganti visa pelajarnya. Tadi Mbak Adira sudah menunjukkan lokasi balaikota dan beberapa tempat penting seperti tempat belanja sabun/shampoo yang murah, toko yang menjual segala jenis bahan makanan khas Asia, supermarket, mengantarnya membeli sim card, dan lain-lain. Entah apa jadinya kalau ia tidak bertemu dengan teman-teman barunya di sini. Mungkin ia akan berteman dengan Google Maps dengan segala kebingungannya.
Alana melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 12 siang, yang berarti pukul 18.00 di Jakarta. Alana memutuskan untuk mencoba video call dengan keluarganya.
"Assalamualaikum, Ma...," ucap Alana ketika wajah ibunya tampak di layar ponsel.
"Waalaikumsalam, Nak. Kamu di mana ini? Papa, adek, ini kakak telepon...," mama Alana memanggil anggota keluarga yang lain untuk bergabung. Papa Alana kebetulan mengambil cuti satu hari ini karena kemarin harus mengantar Alana tengah malam ke bandara. Sekaligus ingin standby apabila Alana telepon, supaya bisa memastikan putrinya baik-baik saja di sana.
"Di kamar, Ma, lihat deh kamarnya besar, ada kamar mandi dan dapur kecilnya. Tadi Alana juga lihat ada beberapa peralatan masak dan makan ditinggalkan sama penghuni sebelumnya. Lumayan aku jadi nggak usah beli-beli...," tutur Alana.
"Alhamdulillah, kamu kok sweater-an gitu sih, Kak? Dingin emangnya?" tanya Rama, adiknya.
"Dingin bangeeet gila aku mengigil tadi jalan-jalan di luar. Real feels-nya 5 derajat tadi aku cek di HP..., anginnya yang nggak kuat..."
"Jaga kesehatan ya, Kak...," pesan papa Alana, "terus kamu udah makan belum? Hari ini mau ngapain lagi?"
Alana lalu bercerita tentang kegiatannya dari pagi sampai siang tadi, dan juga teman-teman barunya di sini.
***
Setengah jam kemudian Alana selesai dengan video call-nya. Perutnya keroncongan. Ternyata benar, kita akan lebih cepat lapar di cuaca dingin, batinnya. Alana menyempatkan untuk mengecek barang-barang peninggalan penghuni sebelumnya, lalu mencatat beberapa perlengkapan yang perlu ia beli segera. Setelah itu Alana kembali mengenakan pakaian musim dinginnya, mengunci unit apartemennya dan berjalan menuju lift.
Alana terkejut saat pintu lift terbuka, Genta berdiri di hadapannya. "Eh, udah pulang, Ta?"
"Iya nih, lo mau ke mana, La?" tanya Genta kemudian.
"Err... gue laper... mau cari makan...," ujar Alana sambil meringis. Genta mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.
"Pasti bingung mau makan di mana kan? Gue temenin yuk, tapi taro laptop dulu di tempat gue boleh nggak, La? Berat...," tawar Genta sambil menekan tombol lift.
"Duh, Taa... gue ngerepotin lo terus deh...," ucap Alana segan.
"No worries, yuk naik dulu sebentar tapi ya...," ajak Genta sambil melangkah masuk ke dalam lift. Alana terkejut ketika Genta menekan tombol angka 7 di lift.
"Lho, Ta... kita satu lantai? Nomor berapa?"
Genta meninggikan alisnya mendengar pertanyaan Alana, "161, La... lo?"
"157, Ta... ya ampun, tetanggaan ya kita...,"
"Hampir dua tahun tinggal di Belanda, baru kali ini satu lantai sama orang Indonesia," Genta tertawa lalu membuka pintu kamarnya, "masuk, La... pakai aja sepatunya, kan cuma sebentar,"
Alana mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamar Genta tidak terlalu banyak barang, khas kamar cowok, dan cukup rapi. Genta mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja belajar. Ia mengambil kantong belanja dari rak di sisi meja belajarnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Siapa tau nanti mau belanja, di sini supermarket nggak sedia kantong plastik, La, jadi kita harus bawa sendiri dari rumah, atau untuk first timer ya beli kantong dari bahan terpal kayak gini di supermarketnya... Yuk, kita jalan," ujar Genta.
***
"Lo suka keju nggak, La?" tanya Genta saat mereka sudah berada di luar gedung apartemen."Suka, Ta, di sini kejunya enak-enak ya katanya?" tanya Alana yang dijawab dengan anggukan.
"Lo berarti harus nyobain Kapsalon. Semacam kebab gitu, tapi karbo-nya kentang goreng, ditambah kol merah, selada, irisan daging ayam atau sapi, nah di atasnya dikasih keju, mau coba nggak? Atau kalau mau makanan Asia dulu, di sebrang stasiun ada Pad Thai, makanan Thailand gitu, cocok sih sama perut Indo...," tutur Genta memberikan dua opsi pada Alana.
"Hmm... gue pengen coba kapsalon yang lo bilang tadi sih, Ta...," jawab Alana sambil tersenyum.
"Oke, lebih deket kalo gitu, tuh bentar lagi kita sampai," ucap Genta sambil menunjuk tulisan Doner Company setelah tangga naik stasiun yang kedua.
Dengan bantuan Genta memesan makanan dalam bahasa Belanda, mereka berdua akhirnya duduk dan menikmati kapsalon masing-masing.
"Ya ampun, Ta, ini enak banget... dan porsinya lumayan besar ya..., kayaknya kalau gue bisa buat dua kali makan deh...," ujar Alana sambil asyik mengunyah.
Genta mau tak mau tertawa melihat tingkah perempuan di hadapannya, "Pelan-pelan, La, nanti keselek lho... buat gue sih kapsalon termasuk salah satu life saver kalau udah laper banget, hampir di setiap stasiun ada, tapi kata orang-orang tetep di sini yang paling enak...,"
Selesai dengan urusan perut, Genta dan Alana berjalan kembali ke arah apartemen. Alana mengikuti Genta dengan wajah bingung, "Ta, tadi kayaknya lo mau belanja?"
Genta menoleh sekilas sebelum menjawab, "Tadi sama Mbak Adira pasti udah ke Centrum? Nah, ini gue mau kasih tau tempat belanja yang lebih dekat sama apartemen. Kayak Hypermart-nya Indonesia gitu deh. Masih kuat jalan kan?"
***
Sekitar pukul 5 sore, langit sudah mulai gelap karena matahari sudah mulai terbenam. Alana sudah tiba kembali di apartemen sejak dua jam yang lalu. Berkat Genta, sekarang ia sudah punya peralatan mandi lengkap dengan harga yang terjangkau, dan punya beberapa stok makanan untuk sementara waktu. Satu hal yang Alana pelajari, di sini ia harus jeli dan memilah-milah, membeli kebutuhan apa di mana. Seperti misalnya, untuk perlengkapan mandi akan lebih murah kalau membelinya di Kruidvat dengan segala jenis promonya, lalu perlengkapan rumah bisa didapat dengan harga miring di Aldi, dan bahwa wangi croissant yang baru selesai dipanggqng sungguh menggoda iman jika berbelanja di Jumbo. Jujur, Alana mulai menyukai kehidupan barunya di sini, dengan segala kemudahan dan keteraturan mulai dari transportasi, berbelanja, dan bahkan urusan tempat tinggal. Alana yakin satu tahun ke depan hidupnya akan penuh warna, dan ini akan menjadi pengalaman yang paling tak terlupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Literatura FemininaBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...