"One mint chocolate chip ice cream, please...," pinta Alana pada penjual es krim itu. Pria yang berdiri di sisinya menunjukkan senyum tertahan. Alana yang menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu mendelik.
"Kenapa? Ada yang aneh? Ini enak tau," tanya Alana bingung.
Pertanyaannya malah membuat Genta, pria itu, tertawa, "Ya kamu ini yang lucu, La... aku baru tau kalau pemilihan rasa es krim bisa menggambarkan kepribadian seseorang..."
"Hah gimana?" tanya Alana lagi, "Thank you," ucapnya pada penjual es krim itu seraya menyerahkan satu keping uang logam dan mengambil es krimnya. Ia dan Genta lalu berjalan berdampingan menyusuri jembatan.
"Mint chocolate chip, itu kamu banget, La. Coklatnya sih manis. Kayak kamu, kalau orang lihat kamu, pasti akan bilang kamu cantik. At least menarik lah, kalau menurut kamu cantik itu relatif. Yang kedua, udah es krim itu dingin, rasa mint pula. Kebayang nggak dinginnya kayak apa? Kayak kamu, kalau baru kenal, orang tuh takut mau ngajak ngobrol. Salah-salah nanti diketusin. Yah, namanya juga ice queen... dingin...," terang Genta yang langsung mendapat hadiah pukulan pelan di lengannya, "aduh... sakit, La...,"
"Kalo gitu rasa es krim favorit kamu pasti rasa sambel bawang ya? Pedes banget itu mulut," ujar Alana sambil tertawa.
"Pedes ya... sekarang coba aku balikin, kamu lebih suka dipedesin gini tapi jujur, apa digombalin tapi bohong?" tanya Genta sambil terkekeh.Setelah pengakuan di Den Haag waktu itu, Alana yang memang tidak bisa melihat waktu kosong lebih dari tiga hari tanpa ada kelas atau tugas yang harus dikumpulkan mengajak Genta untuk traveling. Kali ini Praha yang menjadi tujuannya. Ibukota dari negara Ceko yang terkenal dengan keromantisannya di Eropa Timur.
"Aku pikir aku akan suka banget sama Praha... karena kota ini salah satu bucket list aku...," ujar Alana sambil berjalan menyusuri Karlüv Most, atau Charles Bridge yang menjadi salah satu icon kota Praha.
"Hmm...? Jadi kamu nggak suka?" tanya Genta menghentikan langkahnya di sisi jembatan yang cukup lengang, menyandarkan tubuhnya lalu menikmati pemandangan menjelang matahari terbenam yang memanjakan mata.
Alana ikut berhenti lalu memandangi langit gradasi merah muda dan ungu dengan siluet Prague Castle di kejauhan, "I like the food though," ucapnya sambil terkekeh, "nggak susah ketemu nasi, banyak cemilan manis yang enak-enak buat sweet tooth kayak aku, cuacanya cukup hangat dibandingin Belanda yang kayak winter sepanjang tahun. But look around, Ta..., pengemis di sepanjang jembatan ini yang sampai harus membungkuk hampir tiarap demi mendapat belas kasihan turis, kasus penipuan di money changer yang banyak beritanya di internet, lalu ibu-ibu tadi yang berusaha ngajak kamu ngobrol tapi ujung-ujungnya minta uang... miris aja rasanya...," tutur Alana prihatin.
"Nggak seperti bayangan kamu setelah ngeliat feeds instagram travel blogger ya, La?" tanya Genta sambil mengacak rambut Alana pelan. Beberapa bulan terakhir ini mengenal Alana, Genta paham isi dunia perempuan di sebelahnya ini penuh dengan warna-warni dan keindahan. Angan-angannya untuk keliling dunia yang dibangun dari browsing informasi traveling di internet, kali ini seolah dibenturkan dengan realita yang ternyata jauh dari apa yang dilihatnya melalui gambar digital.
Alana mengangguk pelan sambil menghabiskan es krim di genggamannya, "Ternyata di benua yang dianggap sudah jauh lebih maju, masih ada juga kaum-kaum marginal yang tidak seberuntung itu...,"
"It's a reminder for us, La... melihat ke atas kadang memang indah, tapi kita juga perlu melihat apa yang terjadi di bawah...,"
***
Pagi harinya Alana dan Genta memutuskan untuk mengelilingi pusat kota Praha sekali lagi dengan berjalan kaki. Melihat situasi Praha, Alana tidak mau mengambil resiko untuk mengunjungi tempat yang jauh atau harus menggunakan transportasi umum. Kehilangan paspor dan barang-barang penting lainnya di negara orang adalah hal yang paling ditakuti Alana. Langkah kaki membawa mereka pada padang rumput yang cukup tinggi tidak jauh dari Prague Castle. Sayang sekali menara observasi untuk melihat kota Praha dari ketinggian hari itu sedang renovasi. Matahari yang bersinar terang dan hangat membuat Alana dan Genta memutuskan untuk merebahkan diri sejenak di bawah pepohonan rindang di padang rumput yang terhampar luas di depan mata mereka.
"By the way, Ta... sorry kalau aku terkesan dingin dan nggak ramah sama sekali di awal...," Alana membuka pembicaraan teringat komentar Genta kemarin, "karena aku ke sini pun sebenarnya pelarian...,"
Genta refleks setengah bangkit dari posisinya dan menatap Alana heran, "Gimana, La? Bisa diulang?"
"Iya, pelarian...," ulang Alana dengan polosnya.
"La, please lah... orang tuh pelarian clubbing, traveling, pelarian kamu S2? Produktif sekali, nak, ckckck...," Genta mendengus sambil menggelengkan kepalanya dan membuat Alana terbahak.
"Kan aku udah bilang niat utamanya keliling Eropa... gelar itu bonus...,"
"Whatever, Alana..., jadi... pelarian dari?" tanya Genta kemudian.
"Broken heart..., I guess...," ujar Alana sambil menghela nafas panjang, “sorry ya, aku kemarin belum siap jawab pertanyaan kamu tentang kapan terakhir kali aku punya pacar…,” Alana menoleh sesaat ke arah Genta yang berbaring di sisi kanannya, sebelum melanjutkan kembali ceritanya, “waktu itu… aku cuma masih ragu… aku takut kalau kita berdua, sama-sama belum move on dari masa lalu masing-masing, dan jadinya kayak dua hopeless people yang kebetulan aja ketemu, dan sama-sama butuh afeksi. Aku takut malah akan jadi toxic relationship nantinya…,”
Genta yang masih menatap langit biru berhiaskan awan putih yang terbentang luas di depan matanya menghela nafas pendek, “Otak perempuan ternyata bisa serumit ini ya…,” ujarnya yang membuat Alana terkekeh pelan.
"Before going to the Netherlands, actually I was at my lowest point, Ta... aku gagal ujian S2 profesi bahkan di almamater aku sendiri, kerjaan aku juga nggak sebagus temen-temen angkatan aku. Seolah itu belum cukup, aku nggak sadar kalau aku udah sayang sama sahabat aku sendiri, yang aku tau banget kalau dia cinta mati sama sahabat aku, dimana waktu itu kita sering banget main bareng. My life was so fucked up," celoteh Alana sambil menatap kosong ke depan.
"That... sounds complicated... the love quarell part...," komentar Genta hati-hati.
"It was. Udah kayak lingkaran setan. At some point aku tau, ini nggak akan bisa selesai selama kami masih terus ketemu di lingkungan yang sama. Dan aku merasa, aku yang paling punya peluang untuk pergi duluan, ya dengan cari S2 ke luar ini, walaupun aku akan kehilangan dua sahabat aku sekaligus. Makanya, aku ke sini sebenernya not in the state of starting any new serious relationship with anyone, eh ya kok malah ketemu kamu... dengan segala perhatian kamu... yang aku juga nggak tau kenapa semua terasa mengalir begitu aja. Itu juga kenapa keluarga aku agak-agak heboh waktu awal aku ngenalin kamu lewat video call...," tutur Alana memejamkan matanya sejenak dan tertawa geli, “mereka tau banget gimana berantakannya aku setelah nangis berhari-hari dan nggak keluar kamar…," Genta refleks melingkarkan tangannya ke bahu Alana dan menariknya ke dalam pelukan erat.
“Kamu nggak sendirian ya, La…”
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
ChickLitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...