extra part - 1

243 24 0
                                    

Siang itu Alana sedang bersantai di sofa ruang tengah sambil melihat-lihat media sosial di ponselnya. Papa yang baru saja mengambil minum di dapur beranjak menghampiri anak gadis kesayangannya itu.

"Gimana kantor, Kak?" tanya Papa yang tanpa Alana sadari sudah duduk di sisi kanannya.

"Lumayan sibuk, Pa... lagi musim lulus-lulusan jadi recruitment-nya lagi lumayan banyak...," jawab Alana. Ini sudah memasuki tahun kelimanya berkutat di dunia HR dan rekrutmen, sesuatu yang selalu menyenangkan baginya.

"Ooo begitu... kalau Genta, gimana?" tanya Papa lagi yang membuat Alana menegakkan badannya dan menaruh ponselnya di atas meja. Alana memutar tubuh menghadap Papa dan mengerutkan keningnya, "Genta... kenapa, Pa? Baik-baik aja kok dia...," mungkin Papa berpikir ada masalah dalam hubungan mereka karena hari ini Genta tidak terlihat batang hidungnya, batin Alana. Padahal, sang empunya raga sedang pulang ke Yogyakarta menemui orang tuanya.

Papa terkekeh pelan dan menepuk puncak kepala Alana, "Ya Papa tau Genta baik-baik aja... maksud Papa, apa kalian sudah berpikir untuk ke arah yang lebih serius?"

Alana terkejut dengan pertanyaan Papa. Selama ini, keluarganya tidak pernah menuntut apapun, mulai dari pilihan jurusan, karir, termasuk masalah ini. Menyadari perubahan ekspresi anaknya, Papa melanjutkan kembali ucapannya dengan tenang, "Bukannya Papa mau ngejar kamu untuk buru-buru menikah atau apa, Kakak tau Papa Mama nggak pernah begitu sama kamu ataupun sama Rama. Papa malah kepikiran Genta, dia lebih tua dari kamu kan? Bukan nggak mungkin orang tuanya punya harapan kalau anaknya segera berkeluarga. Mengingat kalian juga kenal bukan cuma sebulan dua bulan, dan Papa tau betul bagaimana anak itu sayang sekali sama putri sulung Papa, Papa cuma pengen tau... apa ada yang membuat kamu ragu? Siapa tau, Papa atau Mama bisa kasih pandangan sebagai yang sudah berpengalaman...,"

Alana termenung dengan pertanyaan papanya barusan. Apa iya ada yang membuat dirinya ragu dengan Genta? Bukankah Allah sudah menjawab doanya dan mempertemukan mereka kembali? Apa lagi yang Alana cari?

***

"Jadi Alana sudah kembali ke Indonesia, Mas?" tanya Ibu seraya menuangkan teh manis hangat ke dalam tiga cangkir yang ada di hadapannya. Kebetulan Rena sedang pergi bersama teman-temannya dan hanya ada Ayah, Ibu, dan Genta di rumah.

"Alhamdulillah sudah, Bu... baru aja bulan lalu dipindahkan ke kantor cabang di Jakarta," jawab Genta sambil menyesap tehnya. Nyaman sekali suasana kota Jogja di sore hari setelah turun hujan, untuk duduk bersantai di teras rumah bersama kedua orangtuanya.

"Jadi kalian sudah balikan lagi? Terus kapan dong dibawa ke sini, Mas... Bapak sama Ibu kan juga mau kenalan langsung... nggak cuma lewat video call aja...," pinta Bapak kemudian. Gerakan tangan Genta yang hendak menaruh kembali cangkir di atas meja terhenti sejenak mendengar permintaan Bapak barusan.

"Baru juga balikan, Pak... aku nggak mau buru-buru... Alana juga masih adaptasi ulang dengan kehidupannya di Jakarta... sabar dulu sebentar ya, Pak... Mas beneran serius kok sama Alana...," ujar Genta meyakinkan. Ia mengerti keraguan Bapak. Apalagi mereka sempat putus karena masalah LDR. Bapak dan Ibu tahu betul rupanya kalau anak sulungnya ini tidak berbakat dalam menjalani hubungan jarak jauh.

"Ibu sama Bapak bukannya mau ngeburu-buru kamu, Mas... toh kalian sudah sama-sama dewasa, karirnya juga sudah mapan, sama-sama sudah lulus S2 juga... dan dengan kalian balikan, ya mungkin ini pertanda kalau kalian memang berjodoh. Kalau Ibu percaya, ketika kamu sudah melepaskan sesuatu, dan hal itu kembali lagi ke kamu, ya berarti memang untuk kamu, Mas... ya, Pak, ya?" ucap Ibu meminta persetujuan Bapak yang dijawab dengan anggukan.

***

"Pusing banget kayaknya Bapak Assistant Manager kita ini? Ada yang bisa gue bantu mungkin?" sebuah tepukan pelan di punggung diikuti pertanyaan barusan datang dari lelaki yang sudah dua tahun ini menjadi sahabatnya di kantor, Tama.

Genta terkekeh pelan. Ia menghela nafas sejenak dan menatap ke luar jendela, "Lo nggak ada meeting?

Tama menyenderkan punggungnya ke kursi hitam di hadapan Genta dan melipat kedua tangannya di depan dada, "Udahan, istirahat dulu bentar. Ngecek sahabat gue yang kayaknya uring-uringan abis weekend. Kenapa lo? Berantem sama Alana?" todong Tama kemudian.

Genta mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Tama lalu menggeleng, "Nggak...," ujarnya terdiam sejenak, "lo... dulu... gimana ceritanya sampai bisa mutusin ngelamar Sheila, Tam?"

Tama tersenyum lebar mendengar pertanyaan Genta barusan, "Alhamdulillah... dari awal gue tau cerita lo sama Alana, waktu kita masih sama-sama anak MT, akhirnya lo sampai ke tahap ini juga. Bangga gue,"

Genta memijit keningnya mendengar komentar Tama yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya barusan, "Kemaren bokap tiba-tiba nanyain pertanyaan sakral itu. Ditanya apa yang nahan gue. Gue bingung jawabnya...," tutur Genta lalu melempar bolpen ke arah Tama yang sedang tertawa puas, "bantuin kek... malah ngakak... temen macam apa lo...,"

Tama menahan tawa dan mengontrol raut wajahnya agar kembali terliuat serius, "Oke, oke sorry... selain urusan Alana, apa ada hal lain yang masih pengen lo kejar? Karir? Materi? Apa gitu?"

Pertanyaan Tama membuat Genta mengerutkan keningnya dan berpikir, "Pertanyaan lo ngingetin gue sama kata-kata bokap kemarin, S2 udah, karir udah, kemarin-kemarin ya gue nungguin Alana pulang, Tam...," ujarnya sambil meraih tumbler air mineral di hadapannya dan meneguknya. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering saat membahas topik ini, "tapi Alana baru juga sebulan pulang, Tam... biar dia napas dulu lah... anaknya kaget banget gitu ketemu gue di bandara... kayak... belum ada momen yang pas aja gitu...,"

Tama mengangguk-angguk paham, "Berarti lo butuh waktu aja... berapa lama kira-kira, Ta... nungguin momen boleh, tapi jangan kelamaan kalau menurut gue sih... nggak kepengen kayak gue apa, pulang kantor ada yang nemenin di apartemen?" tanya Tama yang masih saja menggoda Genta.

"Kunyuk! Ya masa nggak mau... bebas yang udah nikah mah bebaas...," rutuk Genta kesal dengan tanggapan sahabatnya itu.

"Becanda kali... serius amat... yaudah pertanyaan pamungkas deh, tapi lo udah yakin Alana orangnya?" tanya Tama pelan tapi menusuk.

"Dari hari pertama gue ketemu dia di Schipol, It's always been her, Tam..., always..."

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang