Hal pertama yang menjadi rutinitas baru Alana setelah bangun tidur di akhir minggu adalah video call dengan papa, mama, dan adiknya. Hanya saja hari ini, setelah tiga puluh menit mengobrol dengan mereka, Alana justru merasa sedih. Ada ruang hampa di dada yang membuatnya sesak. Teknologi memang bisa mendekatkan yang jauh, tapi saat ini yang Alana inginkan adalah memeluk mereka satu per satu. Sayangnya teknologi belum mengijinkan itu. Alana termenung menatap keluar jendela dan tanpa ia sadari air matanya menetes dengan sendirinya.
Entah sudah berapa lama ia menangis, Alana disadarkan dengan suara ketukan di pintu kamarnya. Ia buru-buru menghapus sisa air matanya dan melihat dari peep hole.
"La, lagi di kamar nggak?" sayup-sayup terdengar suara Genta dari luar. Alana terdiam sejenak mengatur nafasnya sebelum akhirnya membukakan pintu untuk Genta.
Genta yang tengah berjalan kembali ke kamarnya ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia kembali berjalan mendekat ke Alana.
"Eh, kirain masih tidur atau udah keluar, La...," ucap Genta sambil tersenyum.
Alana mengangkat kepalanya sekilas, "Masuk, Ta," ujarnya cepat dan langsung berbalik badan, tidak mau Genta melihat matanya yang sembab.
Genta yang menyadari perubahan sikap ini menahan lengan Alana dan membalikkan badan Alana menghadapnya, "La... are you okay?"
Alana tidak sanggup menahan emosinya dan air matanya kembali mengalir deras tanpa suara. Dengan tetap menghadap ke Alana, Genta menutup pintu yang ada di belakangnya dengan tangannya yang bebas. Ia lalu merengkuh tubuh mungil Alana dan membiarkannya menangis di pelukannya.
"Sorry ya, Ta...," ucap Alana saat tangisnya sudah mereda. Ia dan Genta kini duduk di atas karpet dan bersandar pada tembok kamar Alana, "nggak tau tadi abis video call sama orang rumah, tau-tau malah nangis..., I just... miss them so much, I guess...,"
Genta tersenyum mendengarnya, "What you feel right now is called homesick, La... and that's totally normal..., semua mahasiswa rantau di sini pasti pernah mengalami itu at least once...,"
Alana mengangguk pelan sambil masih memegang tisu di tangannya. Sesekali ia menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya.
"Mau telepon mereka lagi nggak?" tanya Genta lembut.
Kali ini Alana menggeleng, "Nanti mereka malah kepikiran, Ta... jangan...,"
"Okay... mau aku ajak berpikir realistis nggak?" Kening Alana berkerut mendengar tawaran Genta.
"Gini, kamu kangen orang rumah, video call udah, tapi masih sedih. Mau pulang ke Indonesia, bisa nggak?" Alana menggeleng pelan.
"Nah, kalau udah kayak gitu, kita harus cari kegiatan yang bisa bikin kamu feel less miserable...," ujar Genta sambil tersenyum, "ikut aku ke taman, yuk? Terus kita makan es krim...,"
Alana masih menatap Genta dengan kening berkerut, "Di luar dingin lho, Ta, masih di seputaran 10 derajat terus kamu ngajak makan es krim? Are you kidding me?"
Genta terkekeh melihat ekspresi Alana, "Untuk kali ini, percaya sama aku ya? Oh iya, kamu udah makan?" Alana kembali menggeleng pelan.
"Yaudah, nanti kita mampir beli kapsalon aja dulu di stasiun, abis itu balik lagi ke sini, naik tram dari halte dekat sini... Kamu siap-siap dulu deh, kalau udah nanti whatsapp aja ya, aku ke kamar dulu...," ujar Genta sambil mengacak rambut Alana pelan.
"Ta...," panggil Alana ketika Genta sudah beranjak dari duduknya.
"Hmm?" gumam Genta seraya menoleh ke belakang.
"Aku... ngerepotin kamu lagi... nanti tugas kuliah sama thesis kamu jadi nggak selesai-selesai karena nemenin aku yang cengeng ini...," ujar Alana lambat-lambat.
"I'll bring my laptop if that makes you feel better, sekali-sekali belajar di taman kan nggak papa... udah, sana siap-siap...,"
***
"Di sini beda ya... rasanya kayak lagi nggak di Belanda...," ujar Alana saat mereka sedang menyusuri taman yang dimaksud Genta.
"Kayak lagi di Jepang, maksud kamu? Ya namanya juga Japanese Tuin, Alanaa... taman Jepang... ya iya kayak di Jepang...," gerutu Genta sambil mengacak rambut Alana. Genta tidak sadar kalau gestur kecil ini membuat perut Alana terasa seperti sedang naik rollercoaster.
"Pagi-pagi kok udah ngegas aja, sih, Ta... Belom sarapan ya?" tanya Alana sambil terkekeh, "seneng ya, di sini kalau lagi suntuk, tinggal cari taman aja, tau-tau mood membaik sendiri...,"
"Pasti bakal dikangenin banget kalau udah balik nanti ya, La? Kalau lagi tanggal tua, tinggal bawa bekal dari rumah, terus duduk-duduk aja nongkrong di taman, jalan-jalan liat pohon-pohon, bunga, danau... peaceful banget...," tutur Genta sambil menatap daun-daun merah khas musim semi di hadapannya. Taman ini terletak di kompleks taman kota Clingendael. Namun, khusus bagian Japanese Garden ini hanya dibuka dua kali setahun, di musim semi dan musim gugur, ketika bunga dan dedaunan sedang cantik-cantiknya.
"Setuju, Ta...," Alana mengangguk pelan, "dengan catatan cuacanya juga lagi cerah dan nggak terlalu berangin kayak gini yaa... kalau nggak yang ada orang tropis kayak kita mah bakal masuk angin...,"
"Kita? Kamu aja kali, aku sih nggak yaaaa...," tukas Genta yang langsung membuatnya dihadiahi pukulan pelan di lengan dari Alana."Thank you, ya, Ta...," ucap Alana tulus.
"My pleasure, La...," obrolan mereka terhenti karena tiba-tiba ada bunyi panggilan video dari laptop Genta, "La, aku video call-an dulu sama orang rumah ya...,"
Alana yang duduk di sisi Genta mengangguk, dan kembali fokus dengan jurnal di laptopnya.
"Assalamualaikum, Mas... eh, kamu lagi di mana?" suara ibunya lebih dulu terdengar sebelum layar memunculkan wajah ayah, ibu, dan Rena, adik semata wayang Genta.
"Waalaikumsalam, Bu... lagi belajar di taman Jepang nih... yang di Clingendael itu dulu aku pernah cerita, Ayah, Ibu, adek sehat kan?" tanya Genta sambil tersenyum.
"Alhamdulillah sehat, Mas. Emang udah nggak dingin ya belajar di luar?" ganti Ayah yang berbicara.
Genta lalu memutar laptopnya, supaya keluarganya juga bisa menikmati pemandangan taman ini, "Cari suasana baru, Yah, bosen di kamar terus, mumpung taman Jepangnya buka...,"
"Mas, itu bukan tas kamu kan? Hayooo belajarnya sama siapaaa? Pasti cewek...," celoteh Rena tiba-tiba, menyadari ada tas serut berwarna broken white di hadapan Genta ketika ia memutar laptopnya.
Genta refleks menoleh ke Alana sambil menghadapkan laptopnya kembali kepadanya. Alana menahan tawa melihat Genta salah tingkah, "Heh anak kecil kepo deh...," ucap Genta sambil meringis.
"Ini temanmu yang kemarin lagi sakit itu bukan? Kenalin dong, Mas, temennya sama Ibu...," goda ibunya. Genta sekali lagi menoleh ke Alana dengan wajah khawatir. Ia takut Alana merasa keberatan, apalagi dari nada bicara ibunya, Genta tau mereka penasaran dengan sosok Alana, apalagi setelah video call terakhir mereka saat Genta sedang menjaga Alana yang sakit minggu lalu. Di luar prediksi Genta, Alana justru dengan senang hati memunculkan wajahnya di layar laptop Genta sambil tersenyum.
"Assalamualaikum Om, Tante, adek, saya Alana, temannya Genta...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
ChickLitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...