Menjelang waktu makan siang, rombongan Alana dan teman-teman kembali ke Brussels Central untuk menuju destinasi selanjutnya: Brugge. Kota kecil yang tidak seterkenal destinasi lainnya di Belgia karena mungkin letaknya yang cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan. Alana yang memilih tempat duduk dekat jendela, termenung mengingat kembali pembicaraannya dengan Kinan tadi.
"Gimana maksudnya, Kin?" Tanya Alana sambil tersenyum tipis. Pikirannya sibuk memikirkan kata-kata agar tidak keceplosan hal-hal yang tidak seharusnya ia ceritakan.
Ganti Kinan yang tertawa pelan, "Keliatan kok, La... Rendra sih nggak cerita apa-apa, nggak tau sih ya kalau dia cerita ke Raka... tapi gue, sama Agni, we just know...,"
Alana hanya menoleh ke arah Kinan, tetap enggan berkomentar sepatah kata pun. "Kalau dari terawangan sotoy gue sih kayaknya Genta ya, La?" tembak Kinan tanpa tedeng aling-aling.
"Gue nggak ngomong apa-apa ya, Kin. Lo yang ngoceh sendiri dari tadi," pungkas Alana sambil berlalu dari hadapan Kinan yang tersenyum penuh arti.
"Woy, bengong aja, Neng, ntar kesambet lho...," seru Raka yang duduk di hadapan Alana. Setengah perjalanan dilalui Alana dengan menikmati pemandangan, sampai-sampai ia tidak memperhatikan obrolan teman-temannya.
"Ngelamunin yang ga ikut jalan-jalan ya, La?" tuduh Kinan asal lalu tertawa.
"Iya, kan seru kalau bisa jalan-jalan kayak gini rame-rame sama keluarga," jawab Alana lempeng. Untung wifi otak gue kenceng, langsung bisa nyamber jawab tanpa salting, batin Alana. Sudut matanya memperhatikan Rendra yang duduk di lajur kursi berbeda berhadapan dengan Agni. Syukurlah Rendra terlihat biasa-biasa saja.
Setibanya di Brugge, Alana dan kawan-kawan menyeberang dari depan gerbang stasiun dan memilih untuk melalui jalan setapak sebelah kanan. Mereka dibuat terkagum-kagum oleh danau di Minnewater Park yang airnya sangat jernih sampai refleksi bangunan dan pepohonan dapat terlihat jelas di permukaan air.
"Damai banget ya rasanya di sini...," komentar Raka sambil mengambil beberapa gambar dengan kameranya, "eh tapi emang pada nggak laper? Udah siang lho ini," ucapnya lagi sambil melihat jam tangan di pergelangan kirinya.Agni seketika sibuk menggeser-geser peta di ponselnya, mencari opsi makan siang terdekat dan tercepat agar mereka masih punya banyak waktu untuk mengeksplor Brugge. "Junk food gapapa ga? Ada Mc D kok deket sini, murah meriah," usul Agni kemudian.
Mereka lalu memutuskan untuk take away Mc Donalds dan bergerak menuju Brugge Markt, semacam alun-alun yang dikelilingi oleh bangunan dengan bentuk khas seperti yang seringkali ditemukan di magnet lemari es.
"Genta nggak ikut, La?" kali ini giliran Agni yang berbisik-bisik di telinga Alana, mumpung mereka berdua sedang duduk di sisi kursi yang agak jauh dari Rendra dan yang lainnya. Kebetulan juga selama perjalanan ini, Rendra tidak terlalu "nempel" dengan Alana seperti biasanya. Mungkin karena ada Raka."Hhhh... tadi Kinan, sekarang lo... mau gue kasih nomor hp-nya aja nggak nih biar kalian berdua tanya sendiri?" jawab Alana ketus lalu melanjutkan mengunyah cheeseburger Mc D favoritnya.
"Jangan sensi gitu dong, Laaaaa... iya deh iya gue nggak tanya-tanya..., nggak akan gue rebut juga kok, Gentanya, bukan tipe gue," ujar Agni usil yang sontak membuat Alana mencubit gemas pinggangnya. Mereka berdua lalu tertawa riang bersama.
Ya, mungkin Alana saja yang enggan mengakui itu di depan teman-temannya. Namun, hatinya sebenarnya tau pasti, siapa yang sudah mengisi ruang di sudut yang kosong itu. Seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada tanpa diminta, dan tanpa tuntutan apa-apa. Berbeda dengan Rendra, yang entah mengapa kehadirannya selalu membuat Alana merasa harus memenuhi tuntutan tersirat yang ada di sana. Membuat Alana merasa kurang lepas untuk menjadi dirinya sendiri, semacam ada ketakutan tidak dapat memenuhi ekspektasi.
Setelah menyelesaikan makan siang, rombongan pun melanjutkan walking tour mereka di kota Brugge yang kecil dan cantik ini. Rumah-rumah berjajar rapi, dengan keunikan desain masing-masing pada tampak luar pintu, jendela, ataupun nomor rumah. Setelah puas berfoto-foto ria, mereka tidak lupa mampir sejenak ke salah satu kedai yang mereka lewati, untuk membeli segelas coklat panas dan beberapa buah coklat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Belanda.
"Enak coklatnya, La?" tanya Rendra sambil menyejajari langkah Alana yang baru saja keluar dari kedai coklat. Akhirnya Alana sendirian juga, batin Rendra yang sudah seharian ini menunggu kesempatan untuk bisa mengobrol dengan Alana, sayangnya Raka tidak berhenti mengoceh sepanjang perjalanan sehingga ia selalu keduluan Agni atau Kinan. Apalagi hari ini tidak ada Genta, praktis tidak ada saingan.
"Enak banget, Ndra... akhirnya ya bisa ngerasain coklat Belgia di tempat aslinya. Bukan sebatas ngerasain dari narasi iklan-iklan di Indonesia aja," celoteh Alana sambil tertawa. Rendra tidak mampu mengalihkan pandangannya dari tawa Alana yang terdengar begitu renyah, "By the way, thank you ya, Ndra, udah ngide jalan-jalan ke sini. Padahal Belgia tuh bukan top destination gue, tapi ternyata gue suka banget... apalagi di sini..., cantik aja gitu kotanya...,"
"Anytime, La... padahal gue ngide ke sini juga karena diskonan aja ya awalnya. Sampai ujung Belanda-nya kan weekend vrij, nah kok ya kemaren gue liat kalau di Belgia itu setiap weekend kalau beli tiket kereta pulang pergi itu diskon 50%, lumayan banget kan buat liburan tipis-tipis...," tutur Rendra mengingat hasil temuannya waktu itu.
Alana tersenyum mendengar cerita Rendra. Untuk urusan jalan-jalan, Alana merasa beruntung sekali dipertemukan dengan Rendra, Genta, serta teman-teman yang lain yang tipe liburannya cenderung backpacker, mencari yang murah meriah. Lumayan kan kalau bisa irit transportasi dan akomodasi, uangnya bisa ditabung untuk jalan-jalan ke tempat lain, atau membeli sedikit oleh-oleh khas dari masing-masing daerah, seperti berbagai macam coklat yang baru saja Alana beli tadi.
"Lo emang suka banget coklat ya, La... sampai ngeborong gitu...," komentar Rendra sambil melirik kantong kertas yang dijinjing oleh Alana.
"Oh ini... iya, sekalian bawa oleh-oleh buat Genta juga...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Chick-LitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...