Alana terbangun pagi ini dengan semangat luar biasa. Hari ini akan menjadi perjalanan pertamanya keluar dari Belanda setelah kurang lebih dua bulan berada di Eropa. Ia mengecek ponselnya sesaat dan termenung melihat notifikasi chat teratas. Kok tumben, batinnya.
Rendra:
Have fun di Milan ya, La, take care...Alana adalah orang yang paling jago urusan menabung atau hidup irit demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Begitu dia sudah punya niat untuk jalan-jalan keliling Eropa, penghasilannya selama bekerja menjadi salah satu staff recruitment di perusahaan migas selama dua tahun setengah ia tabung sedikit demi sedikit, termasuk uang bonus dan THR-nya. Maka di sinilah ia siang ini, di Schiphol Airport bersama Genta, travel partner barunya.
"Ngomong-ngomong kita pulangnya Nggak kurang pagi nih, La...?" tanya Genta sambil terkekeh. Bayangkan saja, hari Senin nanti pesawat yang akan membawa mereka kembali pulang ke Belanda take off jam 7 pagi. Sementara kalau lagi winter begini jam 7 juga masih gelap. Entah gimana saat mereka keluar hotel jam lima pagi nanti. Rasanya kayak maling habis pulang kerja, batin Genta.
"Ya sorry, Ta, ini yang paling murah... di pesawat kan bisa tidur...," ujar Alana sambil tersenyum. Mengingat waktu yang sempit, Alana memilih untuk menggunakan moda transportasi pesawat untuk menghemat waktu. Toh ada low cost carrier seperti Easy Jet, Transavia atau Ryan Air, semacam Lion Air versi Indonesia gitu deh. Untuk tiket PP ke Milan ini Alana berhasil mendapatkan tiket seharga satu jutaan.
"Hebat ya, tiket PP antar negara di Eropa bisa lebih murah daripada tiket one way Jakarta - Balikpapan," ucap Genta sambil geleng-geleng kepala.
"Iya, Ta, padahal Papa nyaranin lebih murah naik kereta. Tapi kok kalau gue liat-liat, tiket kereta di sini mahal banget...,"
"Murah kalau perginya long trip, La, yang nonstop seminggu atau dua minggu gitu, itungannya murah dan bisa dapat banyak negara...," Genta memberi jeda sejenak, 'karena kita bisa ngirit biaya penginapan dengan tidur di kereta, ambil jadwal kereta malam, oh dan sampai umur 27 masih pakai harga youth, La, jadi ada diskon, kapan-kapan kita coba yuk?" jelas Genta.
"Oh gitu... wah boleh sih, Ta, kayaknya ada Easter Break seminggu deh bulan April...," ujar Alana sambil tersenyum lebar. Genta kembali memutar matanya.
"La... inget kuliah, La...,"
***
Sesampainya di Milan, mereka memutuskan untuk check in dulu ke hostel. Perjalanan ini semua Alana yang mengatur. Ia memilih untuk menginap di hostel seharga tiga ratus ribu per malam ketimbang harus menginap di hotel dengan rate satu juta rupiah per malam. Jujur Genta kagum dengan pilihan Alana. Hostelnya nyaman, bahkan punya dapur kecil untuk memasak. Kamar mandinya pun bersih. Satu kamar ini berisi empat tempat tidur bertingkat. Kebetulan yang terisi hanya empat tempat tidur di bagian bawah termasuk tempat tidur Alana dan Genta, jadi tidak terlalu ramai.
Setelah meletakkan barang-barang di loker dan menguncinya, Alana dan Genta berjalan ke luar hostel dan naik metro ke Duomo Milano, gereja besar dengan dominasi warna putih di luar, salah satu icon kota Milan. Puas berfoto bersama ratusan burung merpati di depan Duomo, Alana dan Genta berjalan menyusuri pusat perbelanjaan terkenal di Milan yang menjual barang-barang branded seperti Gucci, Prada, dan Chanel. Ya, selain dikenal karena sepakbolanya, Milan juga dikenal sebagai salah satu kiblat fashion di Eropa. Makanya sejak tadi, orang-orang yang mereka temui terlihat begitu stylish walaupun mengenakan pakaian dengan warna dominan hitam. Lelah menjelajahi pusat kota Milan, Alana dan Genta memutuskan untuk mengisi perut mereka dengan pizza, makanan khas negara ini, lalu kembali ke hostel.
Dari perjalanan ini, Genta mengetahui bahwa Alana adalah perempuan yang sangat mandiri. Genta yakin, tanpa ia temani pun, Alana tidak akan tersesat jika harus mengeksplor Milan sendirian. Alana juga tidak terlalu ribet seperti perempuan lain dalam hal menginap. Buktinya, Alana cukup nyaman tinggal di hostel dengan kamar mandi umum, tentu saja khusus perempuan, tapi berada di luar kamar tidur. Barang bawaan Alana pun hanya satu ransel untuk tiga hari. Kalau Genta belum kenal Alana, mungkin ia sudah mengira kalau Alana adalah laki-laki. Somehow, keadaan ini justru membuat Genta ingin melindungi Alana, seperti ia menjaga adik perempuannya di rumah.
***
Keesokan harinya, setelah sarapan Alana dan Genta bergegas ke stasiun metro terdekat dan menuju Como Lago. Daerah Como ini lebih sepi dibandingkan kota Milan sendiri. Lebih banyak terlihat kakek nenek ketimbang anak muda. Mungkin tempat ini dijadikan tempat tinggal atau liburan ketika sudah memasuki masa pensiun. Rasanya damai sekali.
"Ta... pernah nggak sih ngerasa, hidup kok kayaknya gini-gini aja ya? Nyaman sih, tapi kayak ada yang kurang gitu...," ucap Alana saat ia dan Genta sedang menikmati pemandangan di tepi danau Como dengan dua gelas coklat panas.
"That feeling when you're entering the comfort zone, you mean? You aren't talking about the present, aren't you?" tanya Genta sambil mengerutkan kening.
"Kok sinis gitu siih... kan cuma nanya...," jawab Alana sambil tertawa.
"Ya abis random banget, bagian mana dari: lagi sekolah S2 di Belanda dan bisa jalan-jalan keliling Eropa yang masuk kategori 'hidup kok kayaknya gini-gini aja', Alana?" tanya Genta lagi sambil mendengus.
"Come on, orang Indonesia yang sekolah di luar negeri itu banyak, yang pake beasiswa juga banyak. Nggak sespesial itu ah," tutur Alana sebelum meneguk coklat panasnya, "sebelum ke sini, rasanya hidup aku sih kayak gitu, kerjaan enak, mau apa juga bisa, tapi kayak ada yang nggak pas, belum lagi tau temen-temen udah banyak yang jadi orang...," lanjutnya.
"La, nggak usah sibuk sama pencapaian orang lain... dengan semua yang udah atau lagi lo jalanin saat ini, pertanyaanku cuma satu... lonya sendiri udah bahagia belum?"
Alana termenung mendengar ucapan Genta. Pria ini selalu berhasil membuatnya berpikir. Kalimatnya seringkali sederhana, tetapi begitu mengena di hati Alana.
"Bengong aja, jadi mau ke San Siro nggak? Nanti kesiangan lho, tour nya cuma buka sampai jam lima, La, kalau lagi musim dingin gini...," ujar Genta membuyarkan lamunan Alana.
"Yaudah, yuk, jalan lagi...,"
***
Perjalanan Genta dan Alana di Milan ditutup dengan mengunjungi stadion San Siro yang menjadi markas besar klub sepakbola AC Milan dan Inter Milan. Mereka ternyata menyukai klub yang berbeda dan besok adalah waktunya pertandingan bagi klub Inter Milan. Genta lah yang bahagia karena dekorasi stadion dipenuhi dengan warna biru dan hitam, sementara Alana harus puas dengan menikmati ruang ganti pemain AC Milan saja yang didominasi warna merah dan hitam. Beruntungnya harga tiket stadium tour Milan hanya sekitar 17 Euro, jadi Alana tidak terlalu merasa menyesal mengeluarkan uangnya.
Puas mengabadikan momen dengan menggunakan kamera DSLR milik Alana, mereka mampir ke sebuah kafe kecil di dekat hostel untuk menikmati segelas minuman hangat dan sepotong kue tiramisu yang juga salah satu makanan khas dari Italia.
"Makasih ya, La... apparently I need this impulsive trip," ucap Genta tulis setelah menyesap kopinya.
Alana yang sedang menunduk melihat-lihat hasil foto di kameranya refleks mengangkat pandangannya dan tersenyum, "You're most welcome, Bapak Genta. Terima kasih juga ya udah ditemenin di trip pertama keluar dari Belanda. Maaf kalau pilihan hostelnya kurang nyaman atau itinerary-nya kurang seru ya."
Genta mendengus pelan, "Apaan sih? Udah kayak travel agent aja ngomongnya. Aman kok, La... udah lama juga nggak ke luar Belanda,"
Mereka melanjutkan percakapan sampai langit berubah gelap sebelum bergegas kembali ke hostel mengingat jadwal penerbangan yang cukup pagi esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
ChickLitBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...