2 years later...
Alana melangkahkan kakinya menyusuri pusat kota Den Haag untuk terakhir kalinya. Tidak terasa genap tiga tahun sudah ia tinggal di kota ini. Sejak awal memulai studi masternya, hingga mendapatkan kesempatan magang yang membawanya sampai menjadi pegawai kontrak di sebuah perusahaan besar ternama di Belanda. Ia juga menjadi yang terakhir di antara Rendra, Kinan, Agni, dan Raka, yang masih bertahan di Belanda. Keempat sahabatnya sudah pulang lebih dulu, tidak lama setelah mereka menyelesaikan studinya.
Rendra menjadi yang terakhir menemani Alana di sana. Kebetulan, Rendra juga mendapatkan peluang internship yang lumayan selama 6 bulan, kemudian mendapatkan tawaran perpanjangan 6 bulan berikutnya. Selama itu, Rendra selalu berusaha hadir untuk Alana, kapanpun ia membutuhkannya. Alana juga sudah mencoba membuka hatinya untuk Rendra, tetapi sepertinya relung hati terdalam Alana masih dimiliki seseorang yang enggan beranjak dari sana. Rendra akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia, dan meninggalkan Alana menjalani satu tahun terakhirnya di Belanda sendirian.
Bukan gajinya tidak cukup untuk pulang, hanya saja pandemi membuat segalanya terasa lebih sulit dan terbatas. Alana juga khawatir, sekali ia kembali pulang ke Indonesia, langkahnya berat untuk kembali. Meninggalkan kehangatan keluarga dengan semua makanan khas Indonesia untuk berjuang menempuh dingin dan kerasnya angin di negeri van Oranje. Tidak terhitung berapa malam Alana habiskan dengan menangis dalam tidurnya. Melawan rasa rindu yang luar biasa sambil tetap menguatkan dirinya untuk bekerja keesokan harinya.
Sampai akhirnya, kesempatan terbaik itu datang. Perusahaannya yang juga punya banyak cabang di Indonesia, membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi di Jakarta. Alana berusaha sekuat tenaga mengikuti segala proses seleksi internal, agar ia bisa menjadi yang terpilih. Dan di sinilah ia akhirnya, menikmati hari terakhirnya di Belanda, sebelum akhirnya pulang ke tanah air.
Semua memori selama dua tahun ke belakang berkecamuk di kepalanya. Alana tidak akan pernah lupa bagaimana ia menangis seorang diri di apartemennya sepulang menyeret kantong belanjaan di tengah suhu -10 derajat Celcius dari minimarket yang hanya berjarak 500 meter dari apartemennya. Mengetahui bahwa ia pulang menemui dinding-dinding bisu, tanpa ada orang yang menyambutnya pulang, sekedar untuk memeluknya di tengah kedinginan itu, atau sekedar untuk menanyakan apa yang sedang diskon di supermarket. Berbeda ketika rutinitas itu ia jalani bersama Genta... ya... Genta. Apa kabar Genta sekarang?
***
Tentang Genta
""Hai, La... long time no see... gimana di sana?" tanya Genta saat wajah yang dirindukannya muncul di layar laptop. Mungkin ini kali pertama dalam dua bulan terakhir, Genta akhirnya berkomunikasi lagi dengan Alana. Kesibukannya menjadi management trainee di salah satu bank BUMN terbesar membuatnya sulit mendapatkan waktu yang sesuai dengan timezone Alana. Ya, sudah dua tahun terakhir ini Genta resmi menjadi perantau di Jakarta. Situasi pandemi membuatnya tidak bisa sering menjenguk keluarganya di Yogyakarta.
"Yaa... gitu deh, Ta... udah sepi jadi tambah sepi..., giliran ada matahari tapi nggak bisa lama-lama di luar, work from home all the time..., it makes homesick undeniable..., kamu gimana?" tanya Alana setelah menuturkan keluhannya tentang situasi corona yang entah kapan akan selesai ini.
"As you can tell from the news, La... it's scary as hell because we just not ready... dan nggak semua bisa di-wfh-in kayak di sana kan...," ujar Genta sambil tersenyum. Ada kerinduan terpancar nyata dari kedua matanya, berharap Alana ada di sisinya saat ini.
"Bener juga ya... tau nggak yang bikin paling homesick itu, nggak bisa sering-sering ngobrol pakai bahasa Indonesia sama temen-temen di sini, beda sama waktu kita kuliah dulu, banyak yang dikenal...," celoteh Alana lagi.
"Kontrak magang kamu di sana sampai kapan, La?" tanya Genta kemudian.
"Hmm... sampai akhir taun ini sih, Ta...," jawab Alana. Terdengar sedikit keraguan dari nada suaranya.
"Ada tapinya?" tanya Genta lagi.
"Mmm... aku dapat tawaran untuk jadi pegawai kontrak di sini, Ta... benefitnya lumayan banget, dan bagus juga untuk stepping stone karir aku di sini...," tutur Alana dengan kening berkerut. Ia tau, ini mungkin bukan berita yang ingin Genta dengar.
Hening sejenak di antara mereka, hanya saling menatap lewat layar monitor masing-masing.
"Ta...," ucap Alana lirih.
"Ya?"
"I miss you..."
"I miss you too... come home then... I'll be waiting...,"
Memori itu terekam jelas di benak Alana. Saat terakhir di mana ia dan Genta masih dapat berkomunikasi seperti biasa. Karena setelahnya, video call mereka dipenuhi dengan emosi yang meluap-luap dan air mata. Alana meminta Genta untuk meninggalkannya, karena Alana memutuskan untuk menerima tawaran kontrak dari tempatnya bekerja. Dengan dalih Alana mungkin akan menetap untuk jangka waktu yang cukup lama di Belanda, dan hubungan jarak jauh akan terasa begitu menyakitkan dan menyulitkan di tengah pandemi, Alana mengakhiri hubungan mereka.
Alana terus melangkahkan kaki memutari Centrum, dan menghentikan langkahnya di AH, untuk membeli beberapa cemilan, oleh-oleh untuk keluarganya. Tatapannya terhenti pada lorong coklat, dan teringat akan seseorang yang sangat menyukai hal itu. Seseorang yang sudah ia minta untuk pergi, namun sebenarnya tidak pernah benar-benar menghilang dari pikirannya, sama sekali.
***
Schipol sungguh terasa berbeda kali ini. Terakhir kali, Alana ke sini mengantarkan Rendra. Walaupun hatinya enggan berlabuh untuk Rendra, bagaimanapun lelaki ini tetap memiliki cerita tersendiri dalam petualangan Alana di sini. Partner diskusi tentang ilmu psikologi sudah pasti, partner traveling ke beberapa tempat bersama tiga sahabatnya yang lain, dan terakhir Rendra juga lah yang banyak membantu mengisi hari-hari sendunya sepeninggal Genta.
"Ndra... gue... mau minta maaf ya...," ucap Alana lambat-lambat. Counter check in belum dibuka, jadi mereka memilih untuk menghabiskan waktu sambil makan siang di Burger King Schipol.
Rendra yang sedang menggigit sepotong french fries menghentikan suapannya dan menatap Alana, "Minta maaf soal apa, La?"
"Soal... kita. Gue tau, setahun ke belakang ini lo selalu ada buat gue. Sejak Genta pergi, lo selalu berusaha memastikan gue nggak sendirian, selalu ada yang nemenin, apalagi di saat-saat gue homesick. I am thankful for that, seriously. Gue makasih banget, Ndra...," Alana menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "gue juga udah berusaha untuk buka hati gue buat lo... tapi maaf banget, Ndra... gue nggak bisa nganggep lo lebih dari temen... sorry...,"
Dan begitulah akhir cerita Rendra satu tahun yang lalu. Kali ini, karena farewellnya dengan teman-teman kantor sudah berlangsung kemarin, dan hari ini masih hari Jumat yang berarti weekdays, tidak ada yang mengantar Alana ke bandara. Alana memang sengaja memilih pulang di hari kerja, karena ia tidak mau mengulang adegan airport yang entah sudah berapa kali harus ia lalui selama perjalanan hidupnya di Belanda. Perasaan campur aduk antara sedih karena harus kehilangan teman yang mungkin akan sulit sekali ditemui ketika sudah di Indonesia karena terpisahkan jarak Sabang - Merauke, tetapi juga bahagia melihat mereka menyelesaikan perjuangannya dengan baik dan akan kembali pulang ke keluarga masing-masing. Alana ingin menikmati rasa itu sendiri kali ini. Ia memilih untuk berbekal kapsalon favoritnya dari stasiun Den Haag HS, dan mencari sudut-sudut kosong dekat counter check in untuk menikmati makan siang terakhirnya di Belanda.
***
Belasan jam sudah berlalu, pesawat yang ditumpangi Alana akhirnya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan mata yang masih agak perih karena entah kenapa Alana tidak bisa tidur di perjalanan. Mungkin karena excited akhirnya akan bertemu kembali dengan Mama, Papa, dan juga Rama. Setelah menunggu cukup lama sampai seluruh kopernya keluar, Alana mendorong trolinya ke arah pintu keluar. Ia mencari-cari keberadaan keluarganya namun tidak ada tanda-tanda. Sampai ia mendengar suara familiar yang memanggilnya dari arah kanan,
"Alana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Literatura FemininaBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...