last trip to Schipol

739 56 5
                                    

"Akhirnya selesai juga...," ujar Genta sesaat setelah menempelkan lakban pada kardus berwarna coklat berukuran sedang. Di sisinya, Alana memperhatikan dengan mata sembab setelah menangis semalaman. Dua minggu terakhir ini Genta menumpang di kamar Alana, karena kontrak housing-nya selesai di akhir bulan lalu. Ia juga sudah mengembalikan kunci ke pengelola apartemen. Namun, menyelesaikan urusan imigrasi, menutup rekening bank, dan hal-hal administratif lain di negara ini membutuhkan waktu. Genta juga enggan pulang dalam keadaan terburu-buru. Beruntung, barangnya tidak terlalu banyak dan kamar Alana cukup luas sehingga cukup untuk menampung barang-barang milik Genta.

"Hey...," ujar Genta membuyarkan lamunan Alana, "masih pagi, mau sarapan bareng dulu deket sini nggak? Atau beli croissant sama Chocomel di AH terus kita makan di taman belakang?"

Alana menggigit bibir bawahnya berusaha menahan agar tangis tidak lagi meluncur turun dari sudut matanya. Genta yang menyadari gestur itu menghela nafas panjang sebelum melingkarkan tangan di pundak Alana dan merengkuhnya erat, "Ini memang harus kita lalui, La... sama-sama kita jalanin bareng ya..., usahain sekuat yang kita bisa... aku percaya kalau takdirnya kita bareng-bareng, nggak akan ada yang bisa menghalangi itu, La... nggak jarak, nggak orang lain..., percaya yah... kita sama-sama kuat ya, La..., sekarang mending kita sarapan dulu yuk... sedih boleh... sakit jangan... aku yang pusing nanti mikirin kamu sakit di sini sendirian..., atau sengaja ya biar dirawat Rendra?"

Alana langsung menghujani Genta dengan cubitan di pinggang dan baru berhenti setelah yang bersangkutan mengaduh kesakitan dan memohon ampun. "Nggak lucu! Udah tinggal beberapa jam terakhir kok malah ngeselin sih?!" omel Alana sambil menyeka sisa-sisa air matanya.

Genta menepuk puncak kepala Alana lembut, mengacak rambutnya dan kembali memeluk wanita yang sangat disayanginya itu, "Cuma pengen bikin kamu senyum aja, La...,"

***

Setelah sarapan dan kemudian membeli kapsalon di stasiun untuk bekal, Alana dan Genta duduk berhadapan di kereta yang akan membawa mereka ke Schipol Airport. Alana nggak tau gimana dia bisa naik kereta pulang sendirian setelah berpisah dengan Genta nanti. Membayangkannya saja ia tidak bisa. Mungkin ia akan jadi perhatian orang karena air mata yang tidak berhenti mengalir selama ia menatap ke luar jendela. Bisa jadi ia turun di stasiun yang salah karena terlewat.

"La... mikirin apa?" tanya Genta lembut. Raut wajah Alana yang tak henti menatapnya menyiratkan berjuta pertanyaan di benaknya. Alana tersentak sesaat.

"Ta... kalau udah sampai di Indonesia nanti, kamu akan ngabarin aku nggak?" ucap Alana yang membuat Genta mendengus kesal.

"Ada pertanyaan yang lebih sulit dari itu? Aku udah pernah bilang kan kalau aku nggak tau gimana jadinya hari-hari aku tanpa ketemu kamu in person? Tentu aja aku akan ngabarin kamu, La... cuma nanti aku perlu cek-cek jam dulu sebelum ngabarin kamu supaya nggak ganggu tidur ka-...

"Please kabarin aku jam berapapun, Ta... anytime...," potong Alana singkat.

***

Alana melihat ponselnya dan heran melihat nama Kinan muncul di layar, "Halo, Nan... Hah? Ini baru selesai check in..., oh... iya... oke...," sambungan telepon dimatikan begitu saja dan tidak sampai lima menit kemudian terlihat Kinan tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Huft... untung belum telat...," ujar Kinan dengan nafas terengah-engah, disusul Agni, Raka, dan... Rendra.

"Kalian... kok... bisa di sini...?" tanya Alana terbata-bata. Ia menatap Genta dan teman-temannya bergantian. Genta tersenyum tipis dan menepuk pelan kepala Alana.

"Ikut aku dulu yuk...," ujar Genta sambil meraih tangan Alana, membawanya menjauh, "sebentar ya, guys...," pamit Genta kepada Kinan dan teman-temannya.

Setelah sampai di area yang lebih sepi tidak jauh dari counter check in, satu tangan Genta menggenggam tangan Alana sementara tangan lainnya menyelipkan rambut Alana ke belakang telinga. Ia menghela nafas sejenak, "Alana... aku tau kamu pasti nggak ngebayangin gimana pulang dari sini sendirian. Aku juga kepikiran. Aku nggak mau kamu nangis atau ngelamun sendirian di kereta. Semalam aku yang minta tolong Kinan untuk ke sini, biar paling nggak kamu ada temennya. Eh ternyata yang lain juga pada mau ikut. Aku udah titip pesen juga kalau bisa ada yang nginep nemenin kamu di apartemen malem ini. Atau... kamu yang mau nginep di Lei-...,"

Sebelum Genta menyelesaikan kalimatnya, Alana sudah menghambur memeluknya erat sambil terisak. Genta yang tidak siap sedikit terdorong ke belakang akibat gerakan Alana yang tiba-tiba. Ia tersenyum getir sesaat lalu mengusap-usap punggung Alana, dan mengecup puncak kepalanya lama, "Makasih, Ta..., makasih...," bisik Alana di pelukannya.

***

Sore itu, menjadi sore terpanjang kedua bagi Alana selama berada di Belanda. Yang pertama adalah di hari pertama ia menjejakkan kaki di kota Den Haag, dan harus beradaptasi dengan perbedaan zona waktu di Indonesia. Kedua adalah saat ini, di mana tidak ada lagi tetangga apartemen yang bisa ia datangi setiap saat ia merasa kesepian. Benar dugaan Genta, setelah membaca chat terakhir dari Genta yang mengabarkan dirinya sudah naik pesawat, tangis Alana kembali pecah, kali ini dengan Kinan dan ketiga sahabatnya yang lain berada di sisinya. Mereka mengantar Alana kembali ke apartemennya di Den Haag setelah sebelumnya makan malam di Fat Kee, restoran Chinese Food yang rasa makanannya sangat bisa mengobati kerinduan akan masakan Indonesia rumahan yang menghangatkan. Kinan akhirnya memutuskan untuk menginap semalam di apartemen Alana karena tidak tega melihat sahabatnya seperti orang yang sedang patah hati akut.

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang