coming home part 2

519 47 8
                                    

"Alana!"
 

Betapa terkejutnya Alana ketika mendengar suara itu dan menemukan sosok yang menjemputnya di bandara bukanlah keluarganya, tetapi justru sosok lelaki yang diam-diam ia rindukan, dan ia harapkan semesta masih mau berbaik hati mempertemukan mereka lagi. Alana tidak mempercayai pandangan matanya saat ini. Langkahnya terhenti seketika di depan pintu keluar pengambilan bagasi. Ia membiarkan orang lain lalu lalang melewatinya, dan sosok itu perlahan berjalan mendekat. Ia mengambil alih troli Alana dan membawanya menepi. 
 

"Hi, La... long time no see... gimana flight-nya? Capek?"
 

Yang Alana tidak pernah tau, setelah ia meminta Genta untuk pergi, Genta tidak pernah benar-benar pergi. Satu tahun terakhir ini Genta selalu ada setiap akhir minggu di rumahnya. Kadang hanya sekedar untuk menemani Papa dan Mama Alana sarapan, tapi kadang juga ikut mereka menghadiri acara keluarga. Ya, dalam diam Genta menjaga relasinya dengan orang-orang terdekat Alana, dan memastikan bahwa posisinya di sana tidak ada yang mencoba menggantikan. Genta menghormati pilihan Alana untuk fokus pada karirnya, tetapi diam-diam tetap mengikuti bayangnya dan menjaga dari sana. Asalkan Genta selalu mendapat update kabar Alana dari ring 1, itu sudah cukup bagi Genta. 
 

Begitu pula dengan kedatangan Alana saat ini, semua detail penerbangan sudah Genta dapatkan sejak minggu lalu. Bahkan Papa Alana yang mendorong Genta untuk menjemput Alana. Biar anak muda menyelesaikan urusannya dulu, begitu kata Papa Alana waktu itu. Jujur, perasaan Genta pun campur aduk. Tidak pernah sedikitpun rasa sayangnya berkurang kepada Alana. Namun ia tidak tau bagaimana perasaan Alana terhadapnya. Yang ada di otaknya, ia hanya ingin Alana tahu kalau dirinya tidak pernah benar-benar pergi.
 

"Genta...," ucap Alana lirih. Matanya berkaca-kaca, tidak mempercayai pandangan matanya saat itu, "kamu...,"
 

Genta tersenyum seraya mengacak rambut Alana, "Iya ini aku, La..., Genta... belum lupa sama aku kan?" 
 

Alana tidak dapat menahan air matanya yang mengalir begitu saja mendengar pertanyaan Genta barusan. Ada perasaan lega di dalam hatinya melihat bagaimana cara kerja takdir. Melihat Alana yang menangis, Genta refleks menariknya ke dalam pelukan. Genta mengecup puncak kepala Alana sambil terus menepuk-nepuk punggungnya. 
 

"Don't cry, La..., you're home, safe and sound now..., ada aku ya...," ujar Genta tulus menenangkan. Air mata Alana sudah cukup membuktikan kalau bukan hanya dirinya yang masih menyimpan perasaan itu selama dua tahun ini. Dan itu sudah cukup untuk saat ini. Sudah cukup.
 

***
 


 

"Welcome home, Kak! Seneng nggak, yang jemput bukan Papa, Mama, sama Rama?" sambut Papa Alana di depan pintu rumah yang terbuka lebar, saat melihat Alana turun dari mobil. Alana menghela nafas lalu tersenyum. Ia menoleh sesaat ke arah Genta, yang dijawab dengan anggukan, "Udah sana ketemu Papa Mama dulu, kopernya nanti aku yang turunin," ujarnya. 
 

Alana berlari ke arah rumah dan menghambur ke pelukan Papanya yang terakhir ia temui saat wisudanya dua tahun silam. Ya, Alana cukup beruntung wisudanya berlangsung sebelum pandemi, sehingga keluarganya berkesempatan hadir dan mereka sempat liburan keluarga sejenak setelahnya. 
 

"Alana kangen banget, Pa...," ujarnya dengan agak terisak. 
 

"Kangen bangetnya sama kami atau sama yang jemput, Kak?" terdengar suara Mama yang tiba-tiba sudah berada di sisi Papa. Alana menghapus tangis dari sudut matanya dan beralih ke pelukan Mamanya. 
 

"Mama apaan sih kok gitu nanyanya...," ujar Alana dengan nada merajuk. Mama dan Papanya tertawa. Papa Alana lalu beralih membantu Genta yang tampak kerepotan menurunkan koper besar milik Alana. 
 

"Walaupun Mama tau, kamu senang kerja di Belanda, Mama tetap bahagia sekali kamu pulang, Kak. Selamat untuk posisi barunya ya," ucap Mama sambil mengelus rambut putri semata wayangnya. 
 

"Eh Kakak udah datang... Kak Genta akan tetap jadi kakak ipar aku kan?" celetuk Rama yang tiba-tiba muncul dan langsung dihujani cubitan oleh Alana.
 

***
 


"Hei..., boleh aku temenin?" tanya Genta saat melihat Alana sedang termenung sendirian di teras belakang rumahnya. Setelah membongkar setengah koper yang berisi oleh-oleh dan memberikannya kepada semuanya, termasuk Genta, Alana menikmati kembali rumah yang sudah lama ia tinggalkan dengan secangkir coklat panas di tangannya. Alana menoleh ke arah datangnya suara dan mengangguk sambil tersenyum.

"Sini, Ta...," ujarnya dengan menepuk sisi bangku yang kosong di sebelahnya. Jujur ia masih tidak habis pikir mendengar cerita Genta di sepanjang perjalanan tadi, bagaimana ia berjuang dalam diam sambil menunggu Alana kembali, "Aku nggak tau harus bilang apalagi selain banyak terima kasih sama kamu, Ta... untuk apapun yang udah kamu lakuin buat keluarga aku selama aku nggak ada. Ngeliat kamu tadi pagi di bandara, aku nggak habis pikir apa yang udah aku lakuin sampai Tuhan baik banget sama aku, mempertemukan kita lagi di saat aku udah pesimis, nggak ngerti harus dengan keberuntungan apa supaya aku dan kamu bisa nggak sengaja dipertemukan lagi di kota dengan ribuan manusia ini. Aku pikir kamu bisa aja udah nggak di Jakarta lagi, lebih kecil kemungkinannya untuk jalan hidup kita berpotongan lagi," tutur Alana sambil menatap Genta dan menyesap minumannya.

Genta tersenyum dan mengelus lembut rambut Alana, "Kalau boleh jujur, ketika kita berantem dan berujung putus waktu itu, aku juga udah pasrah kalau harus kehilangan kamu. Tapi... karena berhari-hari aku nggak bisa ngilangin kamu dari pikiran aku, dan aku at least masih punya kontak keluarga kamu di handphone aku, aku rasa kita perlu diperjuangin, La...," ujar Genta.

Alana meletakkan gelasnya di meja yang ada di hadapannya, dan membiarkan Genta meraih tangannya ke dalam genggaman, "La..., aku nggak minta kita untuk mengulang semua yang terjadi waktu kita di Belanda dulu, karena aku tau dua tahun ini, kita pasti udah bukan kita yang dulu waktu terakhir kita bicara lewat Skype. Tapi kalau boleh, aku mau kita mulai lagi semua dari awal, saling mengenal lagi satu sama lain, dan kalau memang semesta berpihak sama kita, aku mau ngejalanin seumur hidup aku sama kamu, Alana...," Genta menghela nafas panjang, "apa kamu mau?"

Alana menitikkan air mata mendengar penuturan tulus Genta, mengangguk pelan dan menjawab lirih, "Aku mau, Ta...,"
 

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang