chapter 13

596 72 1
                                    

Pagi ini Alana bangun dengan rasa sakit luar biasa menyerang perutnya. Tidak hanya itu, ia pun menggigil kedinginan padahal pemanas ruangan sudah disetel ke suhu maksimum dan ia sudah menggunakan selimut khusus musim dingin yang tebal. Alana memang sedang haid sejak semalam. Kadang Alana memang mengalami keram perut ketika haid, namun tidak pernah separah ini. Alana sudah mencoba minum painkiller yang dibawanya dari Indonesia, tetapi rasa sakitnya tetap tak kunjung mereda. Dengan susah payah Alana mencoba beranjak dari tempat tidurnya untuk membuat secangkir teh hangat.

Sambil meringkuk di dalam selimut dan memegang mug-nya di dekat perut, Alana memutuskan untuk menelepon ibunya.

"Halo, Kak... lho kamu kenapa?" Raut wajah Ibu Alana berubah khawatir saat melihat anak sulungnya pucat dan menggigil.

"Perut aku sakit banget, Ma, lagi halangan... terus kok sampe gemeteran gini ya biasanya nggak segini sakitnya...," ujar Alana dengan suara bergetar.

"Ya ampun kasian kamu, Nak... mungkin karena adaptasi ke musim dingin badannya... udah pakai kayu putih? Minum teh hangat ya...," nasehat ibunya masih dengan ekspresi khawatir.

"Iya, udah, Ma... yaudah aku coba tidur dulu aja ya...," ucap Alana lemah.

"Iya sudah, kalau nggak membaik nanti kamu ke rumah sakit aja, asuransinya udah aktif kan?" tanya ibunya lagi memastikan.

"Iya, Ma, assalamualaikum...," ucap Alana sambil mematikan sambungan Skype.

Untung saja Alana tidak ada kelas hari ini. Entah bagaimana jadinya kalau ini terjadi saat ia sedang di kelas. Alana mencoba untuk mengirimkan chat ke Mbak Adira, siapa tau Mbak Adira punya obat lain.

Alana:
Mbak Adira, aku lg halangan terus sakit perut banget, kamu ada obat nggak ya? Udah minum painkiller tp nggak nolong...

Mbak Adira:
Waduh, La, iya kalau cuaca dingin emang suka gitu... aku lagi di kampus tapi ini... coba bikin kantong air hangat terus ditempelin ke perut, La... maaf ya nggak bisa bantu sekarang...

Alana:
Oh iya, Mbak, nggak apa-apa. Makasih ya...

***
 

Alana yang masih bergelung di balik selimut dan mencoba untuk tidur kaget mendengar suara bel di pintunya. Alana mencoba mengintip dari peep hole dan terkejut melihat Genta sudah berdiri di sana.

"Ya Allah, La, kamu pucat banget...," ucap Genta begitu pintu unit Alana terbuka. Alana hanya mampu tersenyum tipis. Badannya masih menggigil dan Genta menyadari itu. Ia lalu meletakkan punggung tangannya di kening Alana, "Nggak demam kok... sakit banget perutnya ya? Coba pakai ini dulu, La...," ujar Genta sambil menyerahkan sesuatu yang Alana kenali sebagai penyelamatnya kala haid di Indonesia. Sebuah bantalan kecil berbentuk seperti pembalut yang bisa ditempelkan ke daerah perut dan akan menyalurkan panas untuk meredakan nyeri. Dengan wajah bingung Alana menerima benda itu dan bergegas ke kamar mandi untuk memakainya.

"Ta... kok... lo...-," ucap Alana terbata-bata setelah keluar dari kamar mandi.

"Gue tau lo sakit? Tadi Mbak Adira chat gue, dia minta tolong liatin lo karena dia lagi di kampus...," tutur Genta yang sedang memanaskan air di pantry.

"Ini...?" tanya Alana sambil mengangkat bungkusan MenstruHeat.

Genta yang bersandar di tembok tersenyum, "Kalo itu, adik gue kalau lagi halangan juga kayak lo gitu, dan biasanya suka titip beliin di apotik. Tadi gue lagi di Centrum waktu di chat Mbak Adira, jadi sekalian aja gue beliin... enakan nggak, La?"

Alana mengangguk takjub, "Thank you, Ta... you're so kind..., minta nomor rekening biar gue transfer ya...,"

"Santai, La... Nih, gue bikinin teh manis anget lagi... lo udah makan, La?" tanya Genta sambil duduk di sebelah Alana di meja makan.

Alana menyesap tehnya sambil menggeleng pelan. Boro-boro masak, sepagian ini ia pusing melawan tubuhnya sendiri. Genta mengusap puncak kepala Alana pelan dengan wajah khawatir, "Besok-besok kalau emergency kayak gini dan Mbak Adira nggak di rumah, kabarin aku ya... nggak papa kok, La, daripada tersiksa sendirian... ini aku tadi mampir beliin kapsalon, makan dulu ya...,"

Alana kembali tercengang. Bukan hanya karena semua yang Genta lakukan untuknya hari ini, tapi gestur dan cara Genta mengkhawatirkannya barusan. Dan... apa tadi katanya? Aku?

***
 

Genta melihat ponsel Alana menyala saat si empunya sedang terlelap. Rupanya ada video call dari ibu Alana. Genta terdiam sejenak, haruskah ia angkat? Toh keluarga Alana sudah tau keberadaannya sebagai teman Alana. Mungkin ibunya khawatir karena anak sulungnya sedang sakit, pikir Genta. Ia lalu menggeser tombol telepon warna hijau.

"Assalamualaikum, Tante..., maaf nih Genta yang angkat...,"

"Waalaikumsalam, Genta, Alananya ke mana?" tanya ibu Alana ramah.

"Alananya tidur, Tante... kebetulan Mbak Adira, teman kami di satu gedung ini sedang ada bimbingan thesis, jadi saya yang temenin Alana," jawab Genta sambil menekan tombol kamera belakang dan mengarahkan ke tempat tidur Alana.

"Ooh iya nggak apa-apa, Nak. Alana masih sakit ya perutnya?" tanya Ibu Alana terlihat cemas memikirkan keadaan anak sulungnya.

"Sudah mendingan, Tante... tadi sudah makan juga kok, Alananya...," ujar Genta menenangkan.

"Oh ya sudah kalau gitu, Nak, Tante titip Alana ya, maaf merepotkan... terima kasih banyak, Nak Genta..., Assalamualaikum," pamit Ibu Alana sebelum memutus sambungan telepon.

"Waalaikumsalam, Tante...," jawab Genta. Ia jadi teringat Ayah dan Ibunya di rumah, dan memutuskan untuk menelepon mereka. Kali ini Genta menggunakan headset supaya Alana tidak terlalu terganggu.

"Assalamualaikum, Bu, Yah...,"

"Waalaikumsalam, Mas... kamu apa kabarnya? Thesismu sudah sampai di mana?" tanya Ibu Genta.

"Alhamdulillah baik, Bu... thesis-nya dikerjain pelan-pelan, susah ini...," tutur Genta sambil meringis.

"Yo dikerjain satu-satu..., uang beasiswamu masih cukup?" tanya Ayah Genta.

"Masih, Yah, yang kemarin-kemarin kan Mas tabung juga... lumayan buat jalan-jalan... mosok belajar terus?" ujar Genta sambil tertawa. Ia memang bisa berkuliah di Belanda berkat beasiswa StuNed. Beruntungnya, nominal yang diberikan untuk hidup setiap bulannya lebih dari cukup. Genta masih bisa punya tabungan untuk pergi keliling Eropa dari uang beasiswa tersebut.

"Pokoknya kalau butuh apa-apa kabari Ayah Ibu ya, Mas... eh... ini kayak bukan kamar kamu, Mas... kamu pindah apartemen lagi?" Ibunya memang punya pictorial memory yang sangat baik. Beliau hafal sekali kamar Genta yang polos tanpa aksesoris. Berbeda dengan dinding kamar Alana yang dihiasi foto-foto. Genta menghela nafas panjang, "Iya, Bu, lagi di kamar teman, nemani yang lagi sakit...," lalu mengalirlah pertanyaan dari Ayah dan Ibu yang mau tidak mau Genta jawab dengan apa adanya. Seperti kata Alana, toh mereka tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama maupun budaya timur.

The GentAlana Story (REVISED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang