Hari Senin pagi Alana bergegas menuju stasiun kereta untuk kembali masuk kelas setelah weekend getaway singkatnya kemarin. Dengan menggunakan coat berwarna biru donker dan membawa tas ransel di pundaknya, Alana melangkah riang di stasiun menunggu kereta yang akan membawanya ke Leiden.
Lima menit kemudian keretanya datang, dan Alana bergiliran masuk ke dalam kereta bersama penumpang lainnya. Ia duduk di kursi dekat jendela dan menikmati pemandangan yang dilewatinya. Hamparan padang rumput hijau dengan beberapa hewan ternak seperti sapi atau domba menjadi lukisan alam yang sehari-hari dapat dinikmati Alana selama sepuluh menit perjalanan.
Sesampainya di Leiden Centraal, dengan langkah cepat Alana menuruni tangga peron 5 dan berbelok ke arah kiri. Seusai melakukan tap kartu di pintu keluar, Alana menyeberang jalan untuk menuju ke gedung kampusnya. Cuaca yang masih cukup dingin membuat Alana harus menyembunyikan tangannya di saku.
"Hai, La... baru dateng juga? Ciye... yang abis dari Milan," sapa Rendra ketika mereka berpapasan di pintu masuk gedung PDLC.
"Halo, Ndra... iya nih baru dateng...," jawab Alana sambil tersenyum, "kelas yuk?" Rendra mengangguk dan ikut berjalan di sisi Alana.
"Udah sempet baca-baca jurnalnya, La?" tanya Rendra ketika mereka sedang menaiki tangga menuju lantai 1.
"Udah sih, Ndra, sepintas aja. Kalo lo tanya isinya apa sekarang juga gue udah lupa...," jawab Alana sambil terkekeh.
Mereka lalu memilih duduk di barisan tengah. Kelas sudah mulai ramai, Alana dan Rendra menyempatkan diri untuk membuka obrolan singkat dengan teman-teman sekelas mereka. Satu hal yang kembali Alana kagumi dari orang-orang Belanda adalah ketepatan waktu mereka. Jika kelas dimulai jam 10.00, maka maksimal lima menit sebelumnya, dosen pengajar sudah ada di dalam kelas dan menyiapkan materi. Namun, tetap membiarkan mahasiswanya untuk mengobrol atau melakukan kegiatannya masing-masing. Ketika waktu sudah menunjukkan tepat pukul 10.00, barulah mereka membuka kelas dan memulai pelajaran.
"So anyone has questions from the reading materials?" tipikal kalimat pembuka kelas yang membuat Alana cemas di hari-hari pertama kuliah. Di sini, membaca materi sebelum kuliah dimulai adalah harga mati, kalau nggak mau kelihatan bodoh. Alana membuka buku catatannya yang memperlihatkan tulisan kecil dan rapi tentang inti-inti jurnal yang sudah ia baca.
"Ini mah bukan baca sepintas namanya, Laa...," keluh Rendra yang duduk di sebelahnya sambil memijat keningnya.
***
"Langsung balik, Ndra?" tanya Alana seusai kelas pagi ini.
"Hmm... ada latihan drama buat Kunst Avond, La, sama anak-anak PPI..., ngomong-ngomong lo nanti datang kan?" Rendra ganti bertanya.
Kunst Avond adalah salah satu acara tahunan dari PPI Leiden berupa malam seni dan budaya. Tidak hanya mengundang pelajar atau warga negara Indonesia di Leiden, tetapi juga masyarakat Leiden yang tertarik dengan budaya Indonesia. Kalau sudah jauh dari tanah air begini, baru terasa Indonesia itu negara yang sangat kaya akan budaya, batin Alana.
"Waah... bakalan ada drama ya... Eh itu kapan sih acaranya, Ndra?" tanya Alana sambil menggendong tas ranselnya dan melangkah perlahan ke luar kelas.
"Weekend dua minggu lagi, La..., oh iya kemarin Karen bilang masih ada slot buat pengisi acara, lo sama Mbak Adira atau kalau ada anak Den Haag yang lain nggak mau ngisi apa gitu? Atau mau gabung drama nggak? Kita masih kurang orang juga kebetulan...," tawar Rendra sambil tersenyum simpul.
"Waduuh... gue nggak jago akting, Ndra... sorry nih...," tolak Alana sambil menggeleng, "tapi nanti coba gue tanya Genta atau Mbak Adira ya... siapa tau mereka mau...,"
"Hmm... okay...," ucap Rendra datar. Genta lagi, Genta lagi. Ada apa sih antara Alana sama Genta? Mengganggu pergerakan gue aja, batin Rendra. Mereka menuruni anak tangga perlahan dan berjalan ke luar gedung PDLC.
"La... ngomong-ngomong lo sama Genta emang udah kenal lama ya?" tanya Rendra hati-hati.
"Hah? Enggak kok, Ndra... baru kenal di sini, kebetulan aja satu flat jadi sering ketemu..., kenapa kok random banget nanyanya?" tanya Alana dengan mengernyitkan keningnya heran.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang saat Alana dan Rendra keluar dari gedung kampus sampai-sampai tubuh Alana terdorong. Rendra refleks berpegangan pada tiang terdekat dengan satu tangan, sementara satu tangan lainnya merengkuh Alana ke dalam pelukannya.
"La... lo nggak papa?" tanya Rendra. Nada suaranya terdengar khawatir.
"Eh... nggak papa, Ndra, thank you...," ucap Alana rikuh melepaskan diri dari pelukan Rendra dan ikut berpegangan pada tiang, "anginnya heboh juga ya...,"
"Gue anterin sampe stasiun deh yuk, daripada lo nanti kebawa angin lagi...," ucap Rendra sambil melangkah menuju arah stasiun.
"Eh, nggak usah, Ndra, tadi katanya lo mau latihan kan... I'll be careful kok...," tolak Alana halus.
"Latihannya masih nanti sore kok, La..., nganterin lo ke Den Haag aja masih keburu...," ujar Rendra lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, "eh, gue ikut aja deh ke Den Haag, La, sekalian biar tau tempat lo...,"
"Eh? Ndra, jadi nggak enak deh gue, ngerepotin..., gue nggak papa kok beneran...," ucap Alana ketika mereka sudah sampai di depan Leiden Centraal.
"Jadi gue nggak boleh main ke tempat lo, nih..., waktu itu katanyaa... ditunggu di Den Haag," Rendra masih bersikukuh mencoba mendapatkan persetujuan Alana.
"Kalau mau main ya boleeh..., yaudah deh yuk, keretanya bentar lagi tuh...," ujar Alana akhirnya menyerah.
***
Lima belas menit kemudian mereka akhirnya sampai di depan pintu unit Alana di lantai 7. Alana merogoh kantongnya dan mengeluarkan kunci pintu.
"La...? Udah pulang...?" tiba-tiba terdengar suara yang cukup familiar dari belakang Alana. Ia dan Rendra refleks menoleh ke sumber suara.
"Eh, baru mau berangkat, Ta? Iya nih baru pulang dianter Rendra..., pengen tau housing di Den Haag...," jawab Alana sambil tersenyum. Rendra yang berdiri di sebelahnya mengangguk pelan.
"Wah, padahal lo bisa bareng Genta ke Leiden lagi lho, Ndra, daripada sendirian nanti," ujar Alana lagi.
"Oooh gitu... Iya, ada kelas siang, La..., mau bareng, Ndra?" tanya Genta menawarkan.
"Lo buru-buru nggak, Ta? Gue perlu numpang ke toilet dulu nih sebentar... boleh nggak, La?" tanya Rendra mencari alasan untuk mengulur waktu bersama Alana.
"Sok aja..., gue masih ada waktu kok...," jawab Genta santai.
"Oh ya boleh, Ndra, bentar," ucap Alana cepat sambil membuka pintu dan mempersilakan Rendra dan Genta untuk mampir.
"Kelas sampai jam berapa, Ta?" tanya Alana sementara Rendra sedang di toilet.
"Jam empat, La... oh iya, masak nasi nggak, La, buat makan malam?" tanya Genta sambil meringis.
"Ini mau masak nasi, kok, nanti kalo pulang kuliah udah laper ke sini aja...," jawab Alana ganti membalas dengan senyum manisnya.
Rendra yang mendengar percakapan ini dari dalam toilet termenung sesaat. Alana sama Genta udah sedeket ini ternyata? Makan bareng? Bahkan Alana masakin buat Genta? Ternyata pesaing yang ini tidak bisa dianggap remeh, batin Rendra.

KAMU SEDANG MEMBACA
The GentAlana Story (REVISED)
Literatura FemininaBerawal dari iseng-iseng mengajukan aplikasi beasiswa, Alana (25) memulai petualangan barunya di negeri Belanda. Ia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam satu tahun ke depan. Terlebih setelah semesta mempertemukannya dengan Gent...